Kontroversi Anggaran DKI Jakarta

Bahas Polemik RAPBD Jakarta, Ridwan Saidi Singgung Slogan Anies 'Maju Kotanya, Bahagia Warganya'

Baginya hal sangat penting terkait dai Maju Kotanya, Maju Waganya adalah kebahagiaan warga

Editor: Muhammad Zulfikar
Tangkapan layar YouTube TV One
Budayawan Ridwan Saidi di ILC TV One 

TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Politisi dan Budayawan Betawi Ridwan Saidi hadir sebagai narasumber di acara yang dipandu Karni Ilyas, Indonesia Lawyer Club (ILC), Selasa (12/11/2019).

Acara ILC Selasa malam mengusung tema pembahasan 'Anies Tak Putus Dirundung Tuduhan'.

Budayawan Betawi tersebut menyampaikan argumennya terkait polemik Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta.

Dilansir dari YouTube ILC, Ridwan Saidi menyoroti kisruh anggaran DKI dengan mengkritik sistem acara ILC yang sudah berubah.

"Malam ini ILC mengubah sistem dari one man one vote, menjadi one man many vote. Sekian tahun saya mengikuti ILC, malam ini sistem ILC berubah. Alhamdulilah saya sempat mengalami," katanya.

Ridwan Saidi kembali menyoroti polemik anggaran melalui kekeliruan penggunaan istilah dummy.

Menurutnya, dummy tidak mewakili hakikat dari anggaran.

"Sebenarnya masalah yang dibahas dan kekeliruan bahasan itu pada penggunaan istilah dummy. Padalah dummy itu tidak mewakili subtense dari mata anggaran," terangnya.

Semestinya, penggunaan istilah harus dipikirkan kembali, agar dapat mewakili biaya anggaran.

Tujuannya adalah menghindari kesalahpahaman dalam mengartikan isitilah.

"Jadi mestinya dipikirkan istilah lain. Yang betul - betul mewakili cost anggaran itu. Seolah - olah dengan RP 8,2 miliar itu yang mau dibeli aibon, padahal tidak," tuturnya.

Karena wacananya, anggaran tersebut merupakan anggaran yang akan dioperasionalkan untuk sekolah.

"Itu adalah bantuan operasional sekolah
yang banyak sekali itemnya. Ini kekeliruan yang mesti kita perbaiki," tegasnya.

Ridwan lantas menyampaikan analogi terkait polemik anggaran ini dengan konsep dari Konghucu.

Konsep yang dikutip dari Konghucu tersebut menerangkan untuk membereskan persoalan istilah - istilah terlebih dahulu sebelum mengerjakan suatu hal.

Saya juga penggemar Konghucu, karena Konghucu berkata 'Kalau mau mengerjakan lebih dulu bereskanlah istilah'. Jadi istialah - istilah yang digunakan supaya beres. Baru kita, tidak menimbulkan salah paham.

Menurutnya, hal yang terjadi sekarang ini adalah kesalahpahaman karena tidak segera membereskan istilah - istilah yang ada, sehingga menimpulkan prasangka.

"Yang seperti ini seolah - olah asal - asalan. Pemda DKI menyiapan pra-rancangan APBD, seolah - olah begitu, padahal tidak
tidak masuk diakallah membeli bolpoin sampai juta - jutaan itu," ungkapnya.

Ridwan kemudian masuk ditema pembahasan yang Karni Ilyas suguhkan, yaitu terkait Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta.

"Sebenarnya, kalau kita melihat tema yang diajukan ilc 'Anies Baswedan Tak Putus Dirundung Tuduhan'. Tuduhannya macam - macam," katanya.

Tuduhan yang ditujukan kepada Anies Baswedan lantas dianalogikan oleh Anggota DPR RI pada 1977-1987 tersebut.

Analoginya yang disampaikan Ridwan adalah penebangan pohon Angsana.

"Termasuk tebang pohon angsana sembarang, padahal pohon angsana itu mempunyai urat - urat yang bagus kalau dibikin meja," tuturnya.

Dia menambahkan, pohon angsana merupakan pohon yang memilik banyak fungsi, namun dianggap kurang istimewa.

"Angsana itu berguna luar biasa. Pohon kayu yang gampang lapuk, kalau di dalam rumah dipakai untuk penglari yang berada di atas tiang tembokan untuk menghubungkan kuda - kuda (kusen)," ujarnya.

Menurut Ridwan angsana adalah kayu yang tidak istimewa, namun berguna juga untuk obat.

"Mungkin pengkritik tersebut adalah penggemar babakan angsana, karena babakan angsana kalau diseduh airnya bisa menyembuhkan bengkak - bengkak di tenggorokan," tuturnya.

Dari analogi tersebut, Ridwan kemudian menyampaikan kritikan yang muncul ketika angsana ditebak artinya ada beberapa orang yang membutuhkan angsana.

"Mungkin si pengkritik mengalami gangguan semacam itu. Sehingga dia akan kesulitan kalau angsana itu ditebang," tegasnya.

Ridwan mengatakan dia setuju dengan argumen dari Taufiqurrahman agar amanah Musyawaran Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) diperhatikan untuk kemudian dijadikan rujukan terkait polemik - polemik yang menjadi perbincangan publik.

"Setuju dengan saudara Taufiq, agar amanah Musrenbang itu dihiraukan, diperhatikan dan dijadikan rujukan. Karena sejauh yang saya ikuti Musrenbang itu dia banyak berbicara soal kebudayan, soal peradaban," jelasnya.

Meski Ridwan kurang memahami sejauh apa hakikat yang didapat dari Musrenbang.

Ridwan Saidi kembali memberikan analogi terkait bangunan kebudayaan.

Dia menyebutkan beberapa bangunan yang menjadi ikon kota.

Di antaranya, di Kota Cianjur memiliki dua bangunan purbakala berarsitektur Armenia.

Terletak di Pacet, dan Kota Cianjur.

Pasuruan juga memiliki satu ikon.

Di Jakarta, ada Kota Tua.

Namun, Betawi tidak memiliki seperti Istana Pagar Ruyung.

"Istana Pagar Ruyung kita tidak ada," katanya.

3 Saran PSI Untuk Gubernur Anies Hindari Defisit Anggaran Rp 10,7 Triliun

PSI Tuding Pemprov DKI Pangkas Anggaran Renovasi Sekolah Demi Gelar Formula E

Pelaku Bom Bunuh Diri di Mapolrestabes Medan, Driver Ojol yang Sikapnya Berubah Semenjak Menikah

Dia mengutip slogan 'Maju Kotanya, Maju Warganya' yang merupakan slogan Anies Baswedan waktu kampanye pilihan kepala daerah DKI Jakarta.

Lalu 'Maju Kotanya, Maju Warganya', kita tidak ada. Belum ada satu rumah adat atau rumah lama yang dipugar atau menjadi cagar Pemda DKI," ujarnya.

Menurutnya, tidak ada satu bangunan di DKI Jakarta yang mewakili peradaban Betawi.

"Yang di Srengseng Sawah itu bohong - bohongan. Itu rumah bikinan kemarin sore, jadi itu tidak mewakili kalau kita bilang rumah bohonh - bohongan. Kalau kita bilang dia tidak mewakili peradaban Betawi," katanya.

Srengseng Sawah adalah sebuah kelurahan di Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Ridwan kemudian bertanya kepada hadirin di acara ILC, mengenai keberadaan rumah yang berusia 1 abad di Jakarta yang dapat mewakili peradaban Betawi.

"Apakah ada, masih ada rumah yang berusia 1 abad di Jakarta yang mewakili peradaban Betawi? Yang materialnya masih asli? Ada. Saya bisa tunjukkan," tegasnya.

Baginya hal sangat penting terkait dai Maju Kotanya, Maju Waganya adalah kebahagiaan warga.

Bahagia tersebut diukur dari keberadaan rumah yang menjadi ikon suatu masyrakat, yang mampu menampung sejarah masyarakat itu sendiri.

"Kenapa tidak dipikirkan ini? Hal yang sangat penting bahwa kami ini kan, 'Maju kotanya, bahagia warganya'. Sebagai orang Betawi saya belum bahagia," katanya.

Ridwan meminta agar pemerintah bersedia mengusahakan yang terbaik demi kebahagiaan masyarakatnya, dan tidak melupakan jati dirinya sebagai kota yang memiliki sejarah.

"Tolonglah diusahakan Pemda DKI untuk mencari rumah itu. Rumah yang masih berusia 1 abad. Dan itu tembokan, bukan dari gedek. Oke punya," tuturnya yang kental dengan logat Betawi.

(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Polemik APBD Jakarta dalam Analogi Ridwan Saidi: Ibarat Pohon Angsana hingga Bangunan Budaya

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved