Keliling Dagang Bale Bambu dari Cibinong hingga Bekasi, Rahmat: Lelahnya Keganti Sama Senyum Anak
Keuntungan ratusan ribu jadi alasan Rahmat (45) betah jadi penjual bale bambu. Jalan kaki dari Cibinong hingga Bekasi. Baru pulang jika laku.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Rr Dewi Kartika H
Meskipun lelah seharian menopang beban berat di pundaknya, Rahmat memilih untuk memendam itu semua.
"Kalau saya pulang anak tuh senang. Ya mungkin mereka juga khawatir kalau saya kerja begini kan jauh bisa sampai mana aja selakunya bale. Lelahnya keganti sama senyum mereka di rumah lah," ungkapnya.
Baginya, waktu bersama keluarga lebih berharga dari apapun.
Sehingga begitu melangkahkan kakinya, ia selalu berdoa agar balenya lekas laku.
"Saya selalu berdoa supaya balenya cepat laku. Bukan karena beratnya ini bale jadi kepengin cepat laku. Tapi lebih ke waktu buat keluarga aja," jelasnya.
Untuk satu balenya, ia hargai berkisar Rp 400 ribu-450 ribu dari harga asli sekitar Rp 200 ribu.
"Ya jadi kalau ada yang berhentiin saya buat beli dia nawar Rp 400 ribu saya lepas. Karena kan saya beli dari sananya (Cibinong) murah cuma Rp 200 ribu. Tapi kan harga segitu perhitungkan jarak sama biaya transport dan uang makan juga," jelasnya.
Sistem Setor
Diakui Rahmat keuntungan ratusan ribu pasti didapatnya dari berjualan bale.
Akan tetapi, keuntungan tersebut sebenernya tak seperti yang dipikirkan ketika berbicara untung bersih.
Rahmat menjelaskan, untuk satu kali perjalanan ia membutuhkan transport sekitar Rp 40 ribu dan biaya makan Rp 20 ribu.
Sehingga keuntungan bersihnya hanya sekitar Rp 140 ribu.
"Tapi saya tetap alhamdulillah. Angka segitu lumayanlah buat saya dan keluarga. Lelahnya saya kan terbayar sama kebahagiaan mereka," katanya.
Selain keuntungan, alasan lain Rahmat bertahan terletak pada sistem setor.
Sistem ini dirasanya meringkan beban untuk keluarganya.