Sisi Lain Metropolitan

Kisah Rustam, Pria Asal Purbalingga Tetap Bekerja di Jakarta Usai Pembuluh Darahnya Retak

Pembuluh darah retak, Rustam (56) lanjutkan hidup sebagai pedagang asongan. Pria asal Purbalingga ini pernah bekerja di Sekretariat Jenderal Kemenkeu.

Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Suharno
TRIBUNJAKARTA.COM/NUR INDAH FARRAH AUDINA
Rustam, pedagang asongan di FO Pasar Rebo, Jakarta Timur, Selasa (31/12/2019). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina

TRIBUNJAKARTA.COM, PASAR REBO - Tak peduli dengan pembuluh darahnya retak, Rustam (56) tetap melanjutkan hidup sebagai pedagang asongan.

Pria asal Purbalingga, Jawa Tengah, sejak puluhan tahun lalu sudah merantau ke ibu kota.

Kondisi fisik yang saat itu sehat dan bugar, dimanfaatkan Rustam untuk bekerja giat setibanya di Jakarta sekitar tahun 1980-an.

Ia mengawali karier pertamanya sebagai office boy (OB) di kawasan Jakarta Pusat.

Selama dua tahun Rustam bekerja sebagai petugas kebersihan di Sekertariat Jenderal Kementerian Keuangan Republik Indonesia (RI).

Tutupi Jasad Ibu Membusuk 7 Hari, Sang Anak Ngamuk Diprotes Warga yang Terusik

"Saat itu gajinya masih Rp 29 ribu per bulan. Saya masih ingat betul karena ijazah saya juga cuma sampai SMP saja," cerita Rustam di Jakarta Timur, Selasa (31/12/2019).

Tepat di tahun kedua, Rustam terpaksa mengundurkan diri akibat tak memiliki biaya.

"Berhentinya saya itu karena pada saat itu saya enggak punya biaya sevesar Rp 60 ribu."

"Jadi waktu itu ada kegiatan. Intinya saya enggak ikut lah. Akhirnya mengundurkan diri," sambungnya.

Setelah mengundurkan diri, Rustam tak memiliki uang sama sekali.

Ia pun memutuskan untuk mengabarkan ibunya di kampung.

"Assalamu'alaikum mak, aku enggak punya duit dan sudah berhenti kerja. Jemput aku mak, uangku sudah habis," ucap Rustam melalu telegram ke ibunya.

Esoknya, orangtua Rustam datang menjemput dan mereka kembali ke Purbalingga pada 1985.

Tol Cipali Km 135 Dikepung Banjir di Akhir Tahun 2019, Pengendara Dihimbau Hati-hati, Ini Videonya

"Naik bus saya pulangnya bayar Rp 6 ribu per orang. Ibu saya enggak mau naik kereta padahal biayanya cuma Rp 2 ribu saat itu," ungkap Rustam.

Tak sampai satu tahun, Rustam kembali merantau ke Jakarta.

Bosan menjadi alasan utamanya merantau dan bekerja serabutan di Jakarta.

"Di kampung cuma bertani aja. Pas sampai sini saya ikut saudara aja jadi kuli bangunan," katanya.

Akhirnya sejak tahun 1985-2011 ia menjadi kuli bangunan di Jakarta dengan bayaran tak menentu.

"Penghasilannya ya enggak tentu. Kalau upah kuli per tahunnya ada kenaikan maka semakin bayaran ke sayanya juga meningkat."

"Soalnya awal jadi kuli bangunan itu perharinya cuma dibayar Rp 1.800," jelasnya.

Jadi pedagang asongan

Saat bayarannya sudah mengalami peningkatan dan banyak yang memakai jasanya, cobaan tiba-tiba saja datang kepadanya.

Di saat mampu menafkahi istri dan 4 anaknya, tiba-tiba saja kejadian tak terduga harus dihadapi Rustam.

Persija Jakarta Pulangkan Fachrudin ke Madura United, Bagaimana Nasib Lini Belakang Macan Kemayoran?

Saat itu Rustam sedang bekerja sebagai kuli bangunan di daerah Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

Lantaran sudah lama tak pulang kampung, Rustam meminta izin pamit kepada bosnya Deni untuk pulang kampung sementara waktu.

"Pas saya telepon bos, Deni, katanya suruh tunggu. Saya yang enggak tahan kepengin pulang akhirnya pinjam sama adiknya Deni itu."

"Dikasih Rp 1,5 juta lalu saya ke Purbalingga," katanya.

Pulang dengan kondisi sehat dan bugar, saat tiba di pertengahan jalan tiba-tiba saja tubuh Rustam terasa lemas dan tak bisa digerakkan.

"Ini awal mula saya jadi begini. Di bus itu saya keluar keringat dingin banyak banget terus langsung lemas," ungkapnya.

Merasa panik, dengan sekuat tenaga ia menggerakkan tangannya untuk membangunkan penumpang di sampingnya.

"Saya panik kan, saat itu cuma bisa ngomong aja. Mau gerakin badan ini sakitnya bukan main."

"Saya akhirnya ajak komunikasi penumpang di samping saya. Padahal saya enggak kenal." 

"Mas tolong ya nanti anterin saya ke rumah. Untuk masalah bayarannya minta ke rumah saya aja," ucap Rustam memelas.

Terkuak, Faktor Ekonomi Hingga Cemburu Jadi Motif Pria di Bojonggede Nekat Gantung Diri

"Kenapa pak?" sahut penumpang yang tak diketahui namanya itu dengan wajah yang panik.

"Gak tahu nih kenapa," balas Rustam menahan sakit.

Setibanya di terminal, keluarga Rustam sudah menyambut kedatangannya.

Melalui handphone yang dikantonginya, penumpang di bus menghubungi keluarga Rustam dan memintanya untuk menjemput.

"Yang saya ingat pokoknya di terminal sudah ada keluarga saya. Saya digotong turun dari bus. Lalu dilarikan ke Rumah Sakit di Purbalingga," jelasnya.

Mengetahui, kuli bangunannya yang sakit, Deni segera mengcover semua biaya pengobatan Rustam.

Sehingga, keluarga Rustam merasa sangat terbantu sekali dan berterima kasih kepada Deni.

"Di situ saya rawat inap 12 hari. Kemudian dilanjut rawat jalan 3 bulan karena belum ada perubahan karena pembuluh darah saya retak."

"Untuk biaya obatnya aja yang saya ingat mencapai Rp 1,5 juta. Alhamdulillah dibantuin sama Pak Deni," katanya.

Usai melewati fase 3 bulan pertama, Rustam memaksakan dirinya untuk bergerak.

Prabowo Jelaskan Makna Mendalam di Unggahan Foto Bareng Presiden Jokowi di Akhir Tahun 2019

Tak jarang ia pergi ke sawah untuk melakukan kegiatan dan tak memanjakan penyakitnya.

"Saya cuma mikir mau sampai kapan Pak Deni biayai saya seperti ini."

"Setelah dia tak kirimkan uang akhirnya saya merantau lagi ke Jakarta usai kondisi saya membaik," katanya.

Sambil mengenakan tongkat dan berjalan tertatih, saat ini Rustam memilih menjadi pedagang asongan di sekitaran Flyover Pasar Rebo, Jakarta Timur.

"Sekalipun enggak menentu, tapi saya sudah mandiri. Ya paling sehari pendapatan saya Rp 80-100 ribu dan itu belum dikurangi biaya makan."

"Kan kalau tidur di mushala dekat sini. Tapi jauh lebih baik seperti ini. Setidaknya saya beranikan diri untuk berusaha mandiri," tandasnya.

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved