Omnibus Law Jadi Solusi Atasi Handycap hingga Hadirkan Kepastian Hukum
Tidak hanya untuk memudahkan investasi, tapi juga perlu dilihat aspek lainnya, sehingga penataan hukum berjalan simultan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Upaya mengamandemen beberapa undang-undang menjadi satu UU baru dinilai jangan hanya menyangkut beberapa aspek saja, melainkan harus diterapkan secara menyeluruh.
Tidak hanya untuk memudahkan investasi, tapi juga perlu dilihat aspek lainnya, sehingga penataan hukum berjalan simultan.
Hal ini diungkaokan Prof Jimly Asshiddiqie Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam Diskusi Umum bertema Omnibus Law Sebagai Solusi/Penyederhanaan Tumpang Tindih Permasalahan Hukum Indonesia yang diadakan oleh Yayasan Komunitas Cendikiawan Hukum Indonesia (YKCHI) dan Yayasan Phakar dalam rangka Perayaan ulangtahun Ikatan Alumni Notariat (Ikanot) Universitas Diponegoro (Undip) ke-7, di Jakarta, Sabtu (18/1/2020).
"Sejatinya pembentukan omnibus law diarahkan kepada hal yang lebih luas sebagai upaya menyeluruh dan terpadu dalam rangka penataan sistem hukum dan pembentukan perundang-undangan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945," kata Jimly.
Pasalnya, seringkali antar-UU dan produk hukum lain (di bawahnya) mengatur materi muatan yang serupa/sama (tumpang tindih pengaturan).
Menurutnya, hal ini menyebabkan ketidakpaduan yang ujungnya menyulitkan penerapan di lapangan.
Sementara itu, Otty H.C. Ubayani Ketua Umum Ikanot Undip dan Ketua Umum YKCHI menambahkan, omnibus law dibutuhkan untuk mengatasi kendala/handycap, dalam memperbaiki regulasi guna kepentingan kemudahan berbisnis.
Dicontohkan, di bidang pertanahan, ketika RUU Pertanahan, khususnya Konsep Sistem Pendaftaran Tanah berasal dari Sistem Publikasi Negatif juga mengandung Unsur Positif dianggap menghambat proses kemudahan berusaha, sehingga perlu diubah menjadi Sistem Positif Murni atau Sistem Torens, maka perubahan ini akan mencabut beberapa pasal Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Demikian pula untuk merevisi UU dibidang Kehutanan, maka yang harus direvisi ternyata tidak hanya UU No. 41/1999 tentang Kehutanan saja, karena UU yang bersangkutan memiliki keterkaitan atau terganjal dengan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan/atau bahkan berdampak pada UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Otty meyakini, dengan adanya kesepakatan akan memberlakukan Satu UU, maka terjadi pembenahan yang sangat fundamental untuk beberapa aspek perundang-undangan dan sekaligus dapat memperbaiki sekian banyak UU yang selama ini dianggap tumpang tindih dan terkesan menghambat proses kemudahan berusaha (Omnibus Law).
Pada kesempatan itu, Prof. Dr. H. R. Benny Riyanto, S.H., M.Hum., C.N., Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM mengharapkan penerapan omnibus law akan melahirkan kepastian hukum dalam berbagai bidang.
