Soroti Fenomena Kerajaan Palsu, Dedi Mulyadi Sebut Sudjiwo Tedjo Jadi Penyebab: Kurang Produktif

Mantan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyani sebut Sudjiwo Tedjo jadi satu di anatara penyebab munculnya kerajaan-kerajaan fiktif di tanah air.

Penulis: Muji Lestari | Editor: Rr Dewi Kartika H
Tangkapan Layar YouTube/Indonesia Lawyer Club
Sudjiwo Tedjo dan Dedi Mulyadi dalam program acara ILC tvOne. 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Muji Lestari

TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Mantan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyani sebut Sudjiwo Tedjo jadi satu di anatara penyebab munculnya kerajaan-kerajaan fiktif di tanah air.

Hal itu disampaikan Dedi Mulyadi dalam program acara Indonesa Lawyer Club (ILC), Selasa (21/1/2020).

Melansir tayangan YouTueb ILC TvOne, saat itu Dedi Mulyadi dan Sudjiwo Tedjo hadir dan membaha terkait fenomena munculnya kerajaan-kerajaan baru di Indonesia.

Soroti Kerajaan Sunda Empire hingga Keraton Agung Sejagat, Dedi Mulyadi: Kenapa Tidak Meniru Mereka?

Menurut Dedi Muyadi, penyebab munculnya kerjaan-kerajaan fiktif tersebut lantaran Sudjiwo Tedjo sebagai seniman dianggap kurang produktif.

Menurutnya, Sudjiwo Tedjo tampak jarang sekali membuat seni pertunjukan untuk disaksikan oleh masyarakat.

Sehingga masyarakat kehilangan pertunjukan-pertunjukan yang menarik.

"Ini kan karena Mas Sudjiwo Tedjo agak kurang produktif," ujar Dedi Mulyadi.

Mendengar itu sontak orang yang ada di studio ILC terbahak.

"Jadi jarangsekali membuat pertunjukan teater yang menarik, drama yang menarik" lanjutnya.

Dedi juga mengatakan, sekarang masyarakat sudah kehilangan tontonan yang menarik dan berkualitas.

Dirinya Disebut Tak Mengenal Sejarah oleh Petinggi Sunda Empire, Roy Suryo Sontak Terbahak: Halu Ini

"Masyarakat kita sudah kehabisan tontonan yang menarik dan berkualitas," ujarnya.

Hal tersebut menjadikan munculnya kerajaan-kerajaan fiktif yang pada akhirnya dielu-elukan oleh masyarakat.

Di antaranya Kerajaan Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire.

"Jadi munculah tontonan yang ada di Jawa Tengah di Purworejo dan di Jawa Barat di Bandung," terang Dedi.

Lebih lanjut, Dedi mengatakan siapa pun sebenarnya berhak mendeklarasikan diri sebagai raja.

Namun harus ada syarat-syarat yang dipenuhi terlebih dahulu.

"Tinggal yang menjadi persoalan adalah kalau ingin jadi raja, menurut saya siapa pun berhak mendeklarasikan diri menjadi raja," ujar Dedi.

Menurutnya salah satu syarat menjadi raja adalah memiliki kekayaan yang cukup, sehingga bisa memakmurkan rakyatnya bukan malah menarik iuran dari anggotanya.

"Asal punya syarat untuk menjadi seorang raja, dia itu punya kekayaan yang cukup, punya pengetahuan yang luas, sehingga deklarasinya memakmurkan rakyat membagi hartanya, bukan memungut iuran," terang Dedi.

"Karna rakyat udah bosen dengan iuran dalam setiap bulan," lanjutnya.

Gara-gara Utang Rp 4.500, Mariadi Nekat Tusuk Tetangganya: Sakit Hati dengar Ucapan Ibu Korban

Tanggapan Sudjiwo Tedjo

Menanggapi dirinya yang disebut kurang produktif oleh Dedi Muyadi, Sudjiwo Tedjo menyebut jiwa seni orang-orang di negeri rendah sekali.

"Jiwa seni orang-orang di republik ini rata-rata rendah sekali," ujar Sudjiwo Tedjo.

Lebih lanjut Sudjiwo Tedjo membeberkan sikap para pejabat jika sedang menonton pertunjukan kesenian.

Menurutnya, para pejabat yang menonton pentas kesenian malah sibuk bermain handphone ketimbang menyaksikan pertunjukan.

"Para pejabat kalau nonton kesenian pasti main hp, enggak ada nilainya," kata Sudjiwo Tedjo.

"Disuruh pentas-pentas kesenian, gimana mau pentas kesenian, baca puisi kayak Rendra, wong pejabat duduk lansung nonton hp, main hp," beber Sudjiwo Tedjo lantang.

Melihat itu, Sudjiwo Tedjo tampak prihatin.

"Artinya dia memperjuangkan negeri ini tidak didasarkan pada faktor artistik, gimana tujuannya bisa indah," pungkasnya.

SIMAK VIDEONYA:

Dedi Mulyadi Berharap Para Anggota Birokrasi Tiru Kreativitas Kerajaan Palsu

 Munculnya sejumlah kerajaan baru di beberapa daerah di tanah air sontak menjadi perhatian publik.

Bahkan mantan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi ikut menyoroti fenomena munculnya kerajaan-kerajaan baru tersebut.

Terlebih setelah kerajaan bernama Sunda Empire di daerah Bandung muncul.

Dirinya Disebut Tak Mengenal Sejarah oleh Petinggi Sunda Empire, Roy Suryo Sontak Terbahak: Halu Ini

Menanggapi fenomena munculnya kerajaan baru di Indonesia, Dedi Mulyadi justru mengatakan para birokrat harusnya mengambil pelajaran dari fenomena tersebut.

Bahkan Dedy berharap para anggota birokrasi bisa meniru apa yang dilakukan oleh para anggota kerajaan tersebut.

Hal itu disampaikan Dedi Mulyadi saat hadir di program acara Indonesia Lawyes Club (ILC), Selasa (21/1/2020).

Menurutnya, kalangan birokrasi sebaiknya mengambil pembelajaran dari fenomena yang sedang terjadi.

"Dalam perspektif ini saya melihat bahwa justru kita kalangan birokrasi harus mengambil pembelajaran," ujar Dedy.

Dedy mengaku sejak fenomena kerajaan-kerajaan baru mulai bermunculan, ia mencoba berdiskusi dan melihat dari sudut pandang nilai seninya.

"Saya Diskusi dengan teman-teman soal tata nilai seninya,"

"Misalnya rombongan atau helaran pawainya itu cukup menarik, pakaiannya cukup menarik, penataan upacaranya relatif apik, sampai ajudan rajanya juga hebat, pakaian rajanya juga bagus," terang Dedy.

Gara-gara Utang Rp 4.500, Mariadi Nekat Tusuk Tetangganya: Sakit Hati dengar Ucapan Ibu Korban

Menurutnya para anggota birokrasi harusnya tidak boleh kalah bersaing dengan kerajaan-kerajaan tersebut.

Dedy mengungkapkan para anggota dari kalangan birokrasi seharusnya bisa tampil lebih menarik daripada kerajaan-kerajaan fiktif tersebut.

"Artinya apa yang harus diambil pelajaran, bahwa birokrasi harus mencoba jangan kalah sama mereka."

Mendengar itu orang yang ada di studio tersebut sontak tertawa.

"Yang digajinya besar, kemudian bajunya tidak menarik, itu birokrat dari Senin sampai Jumat baju itu (saja)," ujar Dedy.

"Upacaranya tidak menarik, tidak menjadi tontonan," kata Dedy.

Menurut Dedy, salah satu pemicu tatanan birokrasi menjadi tidak menarik karena hilangnya ruh kebangsaan dari anggotanya.

Sebab aturan dalam birokrasi saat ini dipotong menjadi tatanan normatif yang kaku.

"Kenapa? Karena dalam birokrasi kita ada yang hilang yaitu ruh kebangsaan,"

"Kenapa ruh kebangsaanya hilang? Karena tatanya menjadi tata yang normatif yang kaku," jelas Dedy.

Menurutnya, tatanan yang kaku pada birokrasi tersebut justru melahirkan anggota-anggota yang tidak kreatif dan memengaruhi kinerja.

Gara-gara Bentuk Alisnya, Siswi SMA di Sumsel Dihina hingga Ditendang Guru: Saya Dikatain Anak Jin

"Tata aturan yang kaku itu melahirkan ketidak kreatifan, sehingga tunjangan kinerja daerah setiap tahun tidak mempengaruhi kinerja,"

"Karena ruhnya hilang, karena nilai-nilai sejarah masa kini dengan masa lalunya dihapus," jelas Dedy tegas.

Dedy menjelaskan dihapusnya nilai-nilai sejarah dalam tatanan birokrasi menjadi arah pengabdian anggotanya tidak jelas.

"Arah pengabdiannya menjadi tidak jelas," ungkap Dedy.

Dedi Mulyadi kemudian membandingkan masyarakat yang tampak antusias saat melihat raja meski pun raja tersebut adalah palsu.

Menurutnya kehadiran seorang raja dengan iring-iringannya yang unik jauh lebih menarik bagi masyarakat dibandingkan dengan para birokrat.

Berkaca dari hal tersebut, Dedy menyarankan agar para birokrat meniru gaya anggota kerajaan tersebut.

Dedy menyarankan agar para birokrat mengeluarkan kreativitas mereka dan diaplikasikan dalam tatanan birokrasi.

"Sedangkan misalnya seorang raja walau pun palsu, bisa membuat histeria para pengikutnya,"

"Apa yang harus dilakukan birokrat kita, kenapa tidak meniru kecerdasan mereka?"

"Kenapa tidak sekreatif mereka?" ujar Dedy.

Dedy pun coba menjadikan surat pemerintahan sebagai contoh.

Menurutnya akan lebih menarik bila isi surat birokrasi dirubah menjadi kalimat pujangga atau kalimat sastra.

Hal itu dinilainya akan menjadi lebih menarik sehingga surat akan dibaca secara utuh dengan baik.

"Menciptakan birokrasi menjadi seorang sastrawan, jadi suratnya menjadi menarik,"

"Kalimatnya menjadi kalimat pujangga, jadi ketika seorang bupati, seorang gubernur mengirim surat kepada masyarakat suratnya dibaca dengan baik,"

"Kalau surat sekarang birokrasi, pasti dimulai dengan kalimat, disampaikan dengan hormat, semuanya rata," terangnya.

SIMAK VIDEONYA:

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved