Sisi Lain Metropolitan
Kisah Harianto, Jadi Tukang Sampah di Pancoran Untuk Antarkan Cucu Ke Pesantren: Ibunya Sakit Ginjal
Di tengah lalu lintas yang ramai di Jalan Duren Tiga Raya, Pancoran, Jakarta Selatan, Harianto sibuk menarik gerobak sampah.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Suharno
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina
TRIBUNJAKARTA.COM, PANCORAN - Beralih profesi jadi tukang sampah, Harianto (65) berjuang rawat dua cucunya.
Di tengah lalu lintas yang ramai di Jalan Duren Tiga Raya, Pancoran, Jakarta Selatan, Harianto sibuk menarik gerobak sampah.
Dibantu satu cucunya, Fahri (10) ia menarik beban lebih dari 10 kilogram dengan tubuh senjanya.
Keringat tampak mengucur dari wajah dan mengalir hingga ke lehernya.
"Dari tahun 2015 aja, bapak jadi tukang sampah begini," katanya kepada TribunJakarta.com, Rabu (11/3/2020).
Terhitung sejak tahun 1985, Harianto bekerja sebagai tukang sapu jalanan dengan upah sekira Rp 600 ribu perbulannya.
"Saya kalau nyapu sampai ke Grogol sana aja pernah. Puluhan tahun saya jadi tukang sapu dulu sebelum menjadi tukang sampah. Dulu ma gajinya Rp 600 ribu, kalau sekarang kan sudah UMR," lanjutnya.
Selanjutnya, ia sempat menyebut sempat bekerja sebagai pasukan oren namun diberhentikan karena faktor usia.
"Dapat dua kali ngerasin gaji UMR saya diberhentikan katanya karena faktor umur yang sudah tua. Akhirnya saya cari kerjaan lain untuk makan karena istri sudah meninggal, sementara 2 anak saya sudah menikah," jelasnya.
Merasa tenaganya masih sangat kuat, ia akhirnya ditawari untuk mengangkut sampah di sebuah perusahaan.
Dengan upah Rp 400 ribu, ia menjalani hari-harinya hingga saat ini sebagai tukang sampah.
"Saya ambil sampah buangnya di daerah Kalibata dekat stasiun," jelasnya.
Nanun, sejak empat bulan terakhir, Harianto berupaya mencari penghasilan tambahan.
Hal ini lantaran satu diantara anaknya yang bernama Daryanti menitipkan dua anaknya, karena sedang dalam fase pengobatan.
"Kalau anak saya yang Daryanto tinggal di samping kontrakan. Kalau Daryanti di Tangerang. Karena dia lagi sakit ginjal dan hubungannya sama suami lagi konflik jadi anaknya di titip di saya. Berhubung si Rian sudah besar, jadi Fahri aja yang ikut saya kerja," ungkapnya.
Untuk menutupi biaya kontrakan sebesar Rp 1 juta dan biaya makan serta kehidupan dua cucunya, ia menawarkan diri untuk mengangkut sampah di sejumlah rumah maupun toko warga sekitaran.
"Kalau ngandelin uang sampah dari PT aja enggak cukup. Ini kebetulan ada yang nitip buang tiap bulan bayar Rp 100 ribu. Lumayan buat tambahan," katanya.
Saat ini, jumlah penghasilan perbulan Harianto berkisar Rp 700 ribu.
Percaya rezeki
Jika dipikir secara logika, penghasilan Harianto tentulah tak pernah cukup untuk membiayai hidupnya.
Jangankan membeli makan, membayar kontrakan setiap bulannya saja tak cukup.
Namun, ia selalu percaya bahwa Yang Maha Kuasa memiliki caranya sendiri untuk mencukupkan rezeki Harianto tiap harinya.
"Tenaga saya masih banyak. Saya masih kuat. Pantang buat ngemis. Mau hidup susah seperti apapun, saya masih sanggup kerja. Di situ saya percaya Allah masih kasih saya rezeki lain," jelasnya.
"Alhamdulillah sering ada yang ngasih seperti makanan buat saya sama Fahri. Kadang ada yang kasih uang. Tapi itu benar saya enggak minta. Dari situlah saya kumpulkan uang untuk bayar kontrakan tiap bulan," lanjutnya.
Ke depannya, Harianto berharap bisa memasukan Fahri ke pesantren. Sebab, semenjak tinggal bersamanya Fahri tak lagi bersekolah.
Jarak sekolah yang terletak di Tangerang, tak memungkinkan untuk Harianto tempuh setiap harinya.
"Saya cuma berdoa supaya di lain waktu ada rezeki lebih buat masukim Fahri ke pesantren. Sebab, dia kalau diajarin ngaji juga bisa," tandasnya.