Sisi Lain Metropolitan
Melihat Lebih Dekat Panti Sosial Bina Laras, Berkenalan dengan Novi dan Saritem, ODGJ yang Ramah
Saritem, yang nama aslinya Nur Komalasari, mengaku sudah berusia 36 tahun. Ia setidaknya masih bisa saya ajak berbicara.
Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas
TRIBUNJAKARTA.COM, CIPAYUNG - Menjelang Lebaran, Media Tribunnews bekerjasama dengan kitabisa.com menyalurkan donasi berupa obat-obatan kepada sejumlah panti sosial di Ibu Kota.
Wartawan TribunJakarta, saya dan Pebby Adhe Liana mendapatkan tugas untuk membantu memberikan bantuan tersebut.
Bersama wartawan senior Yulis Setyawan dan Yogi Gustaman, kami menyambangi Panti Sosial Bina Laras 2 (PSBL) yang berada di kawasan Cipayung, Jakarta Timur.
Begitu pintu gerbang terbuka, seorang pria langsung menyapa saya.
"Selamat Lebaran bapak," ujarnya ramah sambil tersenyum.

Saya agak kikuk dengan ucapan tersebut. Sebab, lebaran masih menyisakan dua hari lagi. Sementara dia berbicara tanpa ragu.
Setelah memasuki kantor pelayanan sambil membawa obat-obatan, saya pun baru tersadar bahwa sejak dari awal masuk saya sudah bertemu dengan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang ramah.
Kepala Satuan Pelaksana Pembinaan panti, Riyanto mengatakan mereka yang berada di panti ini merupakan orang yang masuk dalam kategori ODGJ.
Mereka ditemukan hidup menggelandang tanpa keluarga.
ODGJ yang dibawa pertama kali akan dimasukkan ke PSBL 1 untuk dibina.
Ketika emosinya sudah stabil dan mudah untuk diatur, mereka baru dipindahkan ke sini.
Kami pun diajak Riyanto berkeliling ke dalam panti. Saat itu, kebetulan mereka tengah berkumpul di lobi. Petugas sedang memberikan makanan tambahan bagi mereka.
Saat berkeliling, beberapa ODGJ menebar senyum ke arah kami. Mereka pun mengucapkan salam ramah.
"Halo kakak, halo ibu apa kabaaar?" teriak salah satu ODGJ, yang namanya kami tahu kemudian, Novi, dari kejauhan.
Perempuan berkepala plontos itu pun lagi-lagi bertanya ramah dan menjawab sendiri.
"Ibu dari manaa? baiiik, iyaa," jawabnya.
Beberapa dari mereka ada juga yang melambaikan tangan berkali-kali ke arah kami. Namun, raut wajah mereka datar.
Ada juga yang tak peduli dengan kehadiran kami. Wajah mereka memang dewasa akan tetapi pikirannya masih seperti anak-anak. Suasana di ruangan itu tak berisik meski dipadati para penghuni panti.
Seperti Balita
Para penghuni panti tersebut mengenakan seragam yang berbeda-beda setiap harinya. Ada kelompok yang mengenakan seragam biru, sebagian lagi ada yang merah dan ungu.
Kami bertemu dengan Kepala Satuan Pelayanan Panti, Didi Ponedi di ruang itu.
Dia menjelaskan, seragam mereka berbeda-beda agar memudahkan petugas dalam mengatur kelompok.
"Karena kita ada empat lokal dua perempuan dan dua laki-laki. Mereka diberikan seragam agar memudahkan petugas ketika nanti mereka salah masuk kamar. Oh ini kamar mereka bukan di sini karena bajunya beda," bebernya.
Selain itu untuk memudahkan petugas dalam mengkoordinir mereka untuk dibina agar lebih tertib.
Sebab, pada dasarnya pikiran mereka kembali seperti anak-anak. Padahal usia mereka kini sudah dibilang produktif.
"Karena prinsipnya mereka anak kecil, meskipun fisiknya dewasa isinya mereka balita. Jadi kita harus bimbing mereka, tak terkecuali dalam hal seragam," bebernya.
Bertemu dengan Saritem dan Novi

Novi yang menyapa kami di awal kemudian datang lagi menghampiri kami.
Wajahnya kelihatan dewasa, akan tetapi nada bicaranya seolah ia masih anak-anak.
Saat ditanya berapa usianya, ia lantas menjawab dengan polos.
"Usianya, usianya aku 12 tahun, kalau udah sehat Novi mau pulang dijemput keluarga," katanya
Saritem pun kemudian juga datang. Saritem dan Novi berebutan bicara mencari perhatian kepada kami. Ketika mereka dulu-duluan bicara saya jadi tidak paham.
Saritem, yang nama aslinya Nur Komalasari, mengaku sudah berusia 36 tahun. Ia setidaknya masih bisa saya ajak berbicara.
"Aku dapat upah di sini ngurusin kucing ngasih makan kucing," ucapnya.
Saat hendak pulang, Saritem dan Novi terus menemani kami hingga pintu gerbang.
Mau tak mau kami hanya mengangguk-anggukan kepala setiap mereka berbicara.
Novi pun selalu menagih uang ke arah saya minta dibelikan kerupuk sementara Saritem terus meminta untuk diantarkan pergi naik motor.
Bahkan saat saya dan Pebby sudah meninggalkan gerbang sekolah, mereka dari kejauhan terus memanggil-manggil.
"Jangan lupa jemput ya, Jangan lupa main lagi ke sini ya. Dadah-dadah," teriak mereka riang.