Metode hingga Pengawasan yang Digunakan Militer Jika Dilibatkan Berantas Terorisme Dipertanyakan
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Ali Safa’at, S.H., M.H mempertanyakan pendekatan yang akan dilakukan TNI jika ikut memberantas teroris
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Ali Safa’at, S.H., M.H mempertanyakan metode pendekatan yang akan dilakukan militer jika dilibatkan memberantas teroris.
Hal ini terkait dengan Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) pelibatan TNI dalam memberantas terorisme yang dikirim pemerintah ke DPR.
“Karena militer dilatih dan dipersiapkan untuk perang. Apakah penanganan teroris jika Perpres disahkan, metodenya akan menggunakan metode perang? Pengungkapan jaringan terorisme dan pembuktian pelaku menjadi problem tersendiri,” ujar Safa’at dalam Diskusi Nasional secara virtual dengan tema "Kupas Tuntas Kontroversi Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Terorisme", Jumat (5/6/2020).
Safa’at menegaskan, secara perspektif konstitusi telah jelas diatur bahwa TNI memegang peran pertahanan, sementara Polri bertanggungjawab atas keamanan.
"Jelas TNI bertanggungjawab dalam pertahananan, ancaman perang, kedaulatan, biasanya berhadapan dengan pemberontakan dan invansi negara lain menggunakan metode perang. Sedangkan aspek keamanan diantaranya meliputi ketertiban dan penegakan hukum," ujarnya.
Dalam konteks terorisme, perspektifnya ditegaskan Safa’at sebagai tindak pidana.
Aturan itu jelas dalam UU disebutkan pemberantasan terorisme merupakan tindak pidana.
“Jelas (terorisme) bukan ancaman perang,” tegasnya.
Jika akhirnya tetap disahkan, dia khawatir RPerpres ini berpotensi memunculkan berbagai persoalan.
Hal lain yang tak kalah krusial adalah dalam RPerpres itu tak adanya kontrol penindakan dalam penanganan terorisme.
"Penindakan dilakukan TNI secara langsung ketika ada perintah presiden. Pengerahan TNI sendiri dalam UU TNI harus ada persetujuan DPR," katanya.
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam yang juga menjadi narasumber dalam diskusi ini menambahkan, dinamika ingin terlibatnya TNI dalam pemberantasan terorisme sebenarnya sejak lama.
Bahkan menurutnya, RPerpres yang telah diserahkan ke DPR sejak awal Mei 2020 ternyata drafnya sama dengan yang sebelumnya diajukan beberapa tahun lalu.
Dia menyarankan DPR dalam pertimbangannya untuk menolak Perpres tersebut.
Choirul mewanti-wanti, kontrol ketat dari parlemen.
“Polisi sendiri ketika melakukan penyadapan harus seizin pengadilan. Di Perpres ini sendiri tidak ada, belum jelas pengawasannya. Itu sangat berbahaya,” imbuhnya.
Selain Ali Safa'at dan Choirul Anam, sosok lain yang turut menjadi narasumber dalam diskusi virtual ini adalah Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia/ (PBHI) Julius Ibrani.