Virus Corona di Indonesia

Dilema Pemijat Tunanetra, Takut Tertular Covid-19 Tapi Harus Kerja

Gaung new normal yang membuat warga beraktivitas kembali tak sepenuhnya dinikmati tunanetra yang berprofesi jadi Tukang Pijat.

TRIBUNJAKARTA.COM/BIMA PUTRA
Anggota Pertuni Jakarta Timur, Yogi Madsoni saat memberi keterangan di Jatinegara, Minggu (21/6/2020). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Bima Putra

TRIBUNJAKARTA.COM, JATINEGARA - Gaung new normal yang membuat warga beraktivitas kembali tak sepenuhnya dinikmati tunanetra yang berprofesi jadi Tukang Pijat.

Profesi mereka tak memungkinkan bila harus menerapkan jaga jarak sesuai protokol kesehatan, sementara Memijat jadi mata pencaharian.

Hal ini yang diungkapkan Yogi Madsoni, anggota Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Jakarta Timur yang berprofesi jadi tukang pijat.

"Kekhawatiran tentunya ada, khawatir apa mereka (pelanggan) yang menulari kita Covid-19. Dilema sebenarnya saat new normal seperti ini," kata Yogi di Jatinegara, Jakarta Timur, Minggu (21/6/2020).

Di lingkup Pertuni Jakarta Timur yang mayoritas anggotanya berprofesi tukang pijat sudah berupaya menerapkan protokol kesehatan.

Ketika menerima pelanggan mereka menerapkan melakukan apa yang dilakukan dokter, yakni menanyakan kondisi medis.

Spanduk griya pijat di kediaman Yogi Madsoni sekaligus Sekretariat Pertuni Jakarta Timur di Jatinegara, Minggu (21/6/2020).
Spanduk griya pijat di kediaman Yogi Madsoni sekaligus Sekretariat Pertuni Jakarta Timur di Jatinegara, Minggu (21/6/2020). (TRIBUNJAKARTA.COM/BIMA PUTRA)

"Kalau pelanggan batuk, bersin, demam atau habis berpergian dari zona merah kita sarankan untuk jangan diterima. Kita juga rutin cuci tangan, memakainya masker," ujarnya.

Namun upaya pencegahan itu tidak sepenuhnya maksimal, Soni menuturkan mereka sadar langganan yang datang merupakan orang sakit.

Hanya segelintir orang yang datang ke tukang pijat bila keluhannya sedikit pegal, mayoritas sudah memiliki masalah kesehatan.

"Pencegahan dengan cara itu pun tidak sepenuhnya bisa mencegah penularan. Ini mata pencaharian, sementara kebutuhan hidup terus berjalan," tuturnya.

Yogi sebenarnya memiliki penghasilan tambahan dari menjadikannya guru mengopersionalkan komputer untuk tunanetra.

Mengajar cara baca huruf braille, tapi di masa pandemi Covid-19 sekarang nyaris tak ada panggilan pijat dan mengajar untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Nasib teman-temannya sesama pemijat tunanetra pun tak lebih baik, mereka diburu membayar biaya kontrakan, uang sekolah, dan lainnya.

"Akhirnya balik lagi ke pribadi masing-masing, apakah menerima pelanggan yang sakit atau menolak. Karena walaupun ada bantuan tapi belum mencukupi," lanjut Yogi.

Sebelum pandemi Covid-19 Yogi mengatakan banyak dari pemijat tunanetra yang penghasilannya berkurang karena kalah saing.

Sehingga saat pemasukan mereka berkurang 80 persen, bahkan nyaris 100 karena pandemi persen sulit menolak pelanggan yang datang.

Dia mencontohkan satu temannya yang nekat memijat pelanggan dengan keluhan serupa terjangkit Covid-19 karena terpaksa.

"Ya bagaimana, itu risiko yang harus kita tempuh. Salah satu harus dikorbankan, kalau memang kita berani ya pijat. Karena butuh uang ya mau enggak mau mijat," sambung dia.

Banting Setir, Ini Pekerjaan Pemangkas Rambut Asgar di Kampung Halaman Selama Pandemi Covid-19

Kronologi Keributan di Perumahan Cipondoh: Driver Ojol Tertembak di Jempol, Sekuriti Ditodong Pistol

Mencari kerja lain juga nyaris tak mungkin, mereka harus berhadapan dengan stigma penyandang disabilitas berkemampuan minim.

Stigma tersebut yang akhirnya membuat tunanetra lebih dikenal karena keahlian pijat, mereka tak dapat kesempatan belajar keahlian lain.

"Kalau tukang ojek enggak narik kasarnya bisa jadi kuli. Kalau tunanetra jadi kuli ya enggak mungkin, bisa nabrak sana-sini. Paling terdampak karena pandemi ya disabilitas," kata Yogi.

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved