Sisi Lain Metropolitan

Demi Bantu Orang Tua & Makan, Bocah Kakak Beradik di Jakarta Timur Jadi Pedagang Peyek Keliling

Dua kakak beradik bernama Muhammad Sidiq Mulyadi (10) dan Indra Julian Pasyah (7) menjadi pedagang peyek keliling.

Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Wahyu Aji
TRIBUNJAKARTA.COM/NUR INDAH FARRAH AUDINA
Sidiq (baju abu-abu) dan Julian (baju garis-garis), kakak beradik penjual peyek dan opak di kawasan Cipayung, Jakatta Timur, Selasa (28/7/2020) 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina

TRIBUNJAKARTA.COM, CIPAYUNG - 'Peyek...peyek...opak', suara itu terdengar nyaring di antara bisingnya suara kendaraan yang melintas.

Suara yang sekiranya membuat hati terenyuh ketika melihat siapa sosok penjualnya.

Rupanya suara itu berasal dari dua kakak beradik bernama Muhammad Sidiq Mulyadi (10) dan Indra Julian Pasyah (7).

Imbas pandemi Covid-19, keduanya harus membantu orang tua mereka.

Sidiq (baju abu-abu) dan Julian (baju garis-garis), kakak beradik penjual peyek dan opak di kawasan Cipayung, Jakatta Timur, Selasa (28/7/2020)
Sidiq (baju abu-abu) dan Julian (baju garis-garis), kakak beradik penjual peyek dan opak di kawasan Cipayung, Jakatta Timur, Selasa (28/7/2020) (TRIBUNJAKARTA.COM/NUR INDAH FARRAH AUDINA)

Menurut sang ibunda, Yuliana Novitasari (28), Sidiq dan Julian merupakan anak pertama dan kedua dari suami pertamanya.

Sekitar enam tahun lalu, dirinya bercerai dengan suatu alasan yang tak bisa disebutkan.

Sidiq ikut dengan ayahnya ke Sukabumi, sementara Julian ikut dengan Yuli.

Selanjutnya, dua tahun berselang tepatnya di tahun 2016, ia menikah kembali dan memiliki seorang putra bernama Vijar Amri (1).

Awalnya, kehidupan keluarganya baik-baik saja.

Meski suami Yuli hanya bekerja sebagai makelar dengan penghasilan tak menentu.

Namun, uang tersebut selalu mampu memenuhi kebutuhan keluarga mereka.

Sampai klimaksnya, tepat diawal mencuatnya pemberitaan virus corona, pekerjaan suaminya meredup.

Perlahan suaminya tak memiliki pemasukan sama sekali.

"Suami saya makelar apa aja. Paling banyak banget kalau dapat uang Rp 500 ribu. Setelahnya pun bisa kosong (enggak ada pekerjaan) sampai 3 minggu. Jadi bukan makelar yang uangnya banyak seperti yang dibayangkan," ujar Yuli kepada TribunJakarta.com, Selasa (28/7/2020).

Alhasil, keluarga Yuli mengalami kesulitan secara finansial.

Ditambah, mantan suaminya turut menitipkan Sidiq kepadanya selama mencari kerja di Jakarta.

"Memang kondisi ini sulit banget. Mantan suami saya juga enggak ada kerjaan. Jadi dari Sukabumi ke Jakarta mau cari kerja. Makanya Sidiq sama saya dari awal Covid-19," lanjutnya.

Apapun ia upayakan agar ke-3 anaknya bisa makan walaupun sehari sekali.

Semua barang yang dijualnya sudah habis ia jual untuk menyambung hidup.

Sampai kompor gas menjadi barang terakhir yang ia jual untuk membeli makanan untuk ke-3 anaknya.

"Kita jualin barang-barang aja yuk bang biar anak-anak bisa makan," saran Yuli kepada suaminya.

"Alhamdulillah si Ayah mau. Apa aja sudah saya jual, jam tangan, galon sampai terakhir kompor gas satu tungku saya jual. Kebetulan saya punya dua, jadi saya jual," ungkapnya dengan mata berlinang.

Sayangnya, uang tersebut tak bertahan lama.

Tak ada satu bulan uang tersebut habis dan suaminya tak kunjung mendapatkan pekerjaan.

"Suami saya rajin, tiap hari berangkat. Tapi kondisinya memang seperti ini saya juga ngertiin kan," ujarnya.

Ditawari berdagang

Sampai suatu hari satu diantara temannya menawari ia untuk menjual peyek.

"Jualan peyek mau enggak? Dari saya Rp 4 ribu. Terserah kamu mau jual berapa," tanya temannya.

"Mau," jawab Yuli cepat.

Kala itu ia hanya berpikir untuk tetap menghasilkan uang.

Sidiq (baju abu-abu) dan Julian (baju garis-garis), kakak beradik penjual peyek dan opak di kawasan Cipayung, Jakatta Timur, Selasa (28/7/2020)
Sidiq (baju abu-abu) dan Julian (baju garis-garis), kakak beradik penjual peyek dan opak di kawasan Cipayung, Jakatta Timur, Selasa (28/7/2020) (TRIBUNJAKARTA.COM/NUR INDAH FARRAH AUDINA)

Baginya keuntungan sedikit tak mengapa asalkan anak-anaknya bisa makan dan tak menahan lapar.

"Untung seribu dua ribu enggak apa-apalah. Apalagi waktu itu buat makan saya sampai dikasih sama tetangga. Karena sama sekali enggak punya uang," jelasnya.

Mengingat ketiga anaknya masih belia, ia pun menceritakan niatnya berdagang kepada Sidiq dan Julian.

"Sidiq kan sekolah di kampung (Sukabumi), saya cuma bilang mau jualan. Mereka jawabnya mau ikut. Jadi saya keliling bawa 3 anak," jelasnya berlinang air mata.

Sambil membawa tiga anak dan belasan peyek di dalam kantong plastik besar, Yuli berteriak senada seperti anak-anaknya kini.

Peyek dan opak menjadi kata-kata yang ia keluarkan selama berdagang sampai jualannya habis.

"Saya berangkat pagi. Dulu tuh rutenya Munjul-Cilangkap sampai Jalan Bina Marga. Sehabisnya jualan aja. Kadang sampai sore, tergantung gimana rezekinya aja," ungkapnya.

Mirisnya, beberapa bulan kemudian kondisi si bungsu memburuk.

Imbas sering terkena angin jalanan, si bungsu Amri mudah terserang penyakit dan kerap demam.

Hingga akhirnya Yuli memutuskan untuk berhenti berdagang.

Sembari menjelaskan kondisi itu, Sidiq dan Julian menawarkan diri membantu orang tuanya.

Layaknya orang dewasa, mereka pasang dada dan melindungi adik kecilnya.

Keduanya rela berkeliling sendiri tanpa kehadiran Yuli.

"Abang, adek.. mama enggak bisa jualan. Kasian adiknya. Abang sama adik mau ngga bantu mama?," tanya Yuli.

"Rupanya mereka mau. Jadi seperti dewasa karena keadaan ya. Sebab mereka tahu kalau enggak jualan enggak bisa makan seperti awal Covid-19. Akhirnya sudah beberapa bulan Sidiq sama Julian jualan sendiri," katanya.

Kendati begitu, Yuli tetap tak tega hati. Dalam kesendirian ia kerap menangis dan berbagi cerita kepada suaminya.

Serupa, suaminya pun sedih bukan main ketika melihat dua anaknya terpaksa membantu mereka.

"Saya sama Ayahnya suka ngobrol, kasian sama anak-anak. Makanya kalau mereka enggak mau jualan kita biarin aja. InsyaAllah ada uang buat beli sayuran,"

"Alhamdulillah mantan suami saya enggak apa-apa karena ngerti kondisi lagi begini. Makanya saya coba buat opak, kerupuk sendiri biar ada untung lebih banyak. Jadi kalau mereka besok enggak jualan, masih ada uang yang dipakai untuk makan esoknya," jelasnya.

Meski begitu, Yuli selalu mengingatkan sang anak untuk tetap berjualan ke lokasi yang mereka tahu saja.

Habis atau tidak, Yuli selalu berpesan agar anaknya pulang sebelum waktu magrib tiba.

"Khawatir ya pasti, makanya saya banyak nasihati mereka. Alhamdulillah mereka ngerti. Kalau pagi jualanpasti siang mereka sudah pulang. Nah kalau sore, sebelum magrib biasanya sudah pulang juga. Jadi jualannya pagi sama sore aja. Kalau mereka mau ya jalan, kalau enggak ya sudah," jelasnya.

Saat ini penghasilan Sidiq dan Julian tak menentu.

Bila dagangan mereka habis, mereka bisa mendapatkan sekitar Rp 50 ribu persekali jualan.

"Yang dibawa kebetulan enggak banyak. Sekitar 10-17 bungkus aja. Semuanya serba Rp 5 ribu dan untung saya cuma Rp 1 ribu. Kalau habis semua untungnya paling Rp 17 ribu,"

"Jadi kalau lebih berarti ada yang enggak mau dikembaliin. Nah uang itu saya kasih mereka buat disimpan. Jadi benar-benar enggak saya ambil. Itu saya kasih buat mereka jajan," jelas Yuli.

Baik Sidiq maupun Julian mengaku senang bisa membantu orang tuanya.

Keleluasaan yang diberikan orang tuanya tak pernah membuat mereka kehilangan waktu bermainnya.

"Kalau main ya kita main aja kak. Aku juga sering enggak mau jualan karena mau main dan sama mama enggak apa-apa. Sebab waktu itu mama bukan nyuruh tapi nawarin. Kebetulan akunya mau karena kasian sama mama. Aku sama Julian senang bisa bantuin mama. Kita berdua ikhlas bantuin mama sama ayah," ujar Sidiq.

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved