Virus Corona di Indonesia
Ketika Wartawan Ikut Tes Usap Covid-19, Deg-degan Bak Menunggu Pengumuman UN
Mengikuti tes usap bagi saya bak menanti pengumuman Ujian Nasional, bikin deg-degan!
Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Mengikuti tes usap bagi saya bak menanti pengumuman Ujian Nasional, bikin deg-degan!
Sejujurnya, menanti-nanti sesuatu hal yang belum pasti sungguh membuat diri tidak tenang.
Tes usap memang penting apalagi sebagai pewarta yang sehari-hari bergelut di jalan berdebu saat pandemi Covid-19. Itu saya akui.
Namun, yang jadi soal, bila saya harus diisolasi mandiri, semoga tidak, sungguh membuat hati nelangsa karena harus jauh dengan orang-orang terkasih.
Atau malah, mereka harus ikut melakukan tes usap karena saya.
Semua itu bermula dari perbincangan saya bersama rekan-rekan sesama wartawan di Jakarta Selatan.
Berhubung ada satu orang wartawan yang positif Covid-19, rekan-rekan wartawan yang lain pun ikut tidak tenang.

Apalagi yang pernah bersinggungan dengan wartawan itu. Jadi serba salah.
Mereka memutuskan berbondong-bondong mengikuti tes usap di salah satu rumah sakit.
Namun, sebagian wartawan belum mengikuti tes itu. Termasuk saya.
Selepas mengikuti konferensi pers pengungkapan penyelundupan kasus narkoba di Mapolres Jakarta Selatan, saya pun ditawarkan untuk ikut tes susulan yang diadakan di KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat.
Awalnya nyali saya agak menyusut juga tatkala rekan wartawan yang sudah ikut menceritakan sakitnya kala hidung atau mulut dites usap.

• Ruben Onsu Beri Uang Dapur Rp 40 Juta per Bulan untuk Sarwendah, Luna Maya Tercengang Dengar Ini
Dia bilang antara hidung atau mulut yang bakal dites.
Benak saya dilanda cemas seharian suntuk seusai mengikuti konferensi pers.
Selama di rumah, pikiran negatif pun seakan menghantui saya sepanjang malam tepatnya sebelum jatuh terlelap.
Namun, untungnya istri mendukung penuh agar saya menjalani tes di sana.
Dukungan itu membuat mental saya menguat.
Jalani Tes

Besoknya, pagi-pagi saya pun mendatangi tempat tes usap sesuai jadwal yang dikirim via whatsapp dari teman saya.
Di sana sudah banyak rekan-rekan wartawan yang menunggu akan dites.
"Dari mana mas?" tanya salah satu petugas berseragam hazmat.
"Saya dari wartawan," jawab saya.
"Oh ya silahkan registrasi dulu di sana," katanya sembari mencatat nama dan media saya.
Memang saat itu dibagi dua tempat, bagian media dan bagian pegawai KPU.
Itu merupakan percakapan pertama saya ketika baru sampai lokasi.
• Ruben Onsu Beri Uang Dapur Rp 40 Juta per Bulan untuk Sarwendah, Luna Maya Tercengang Dengar Ini
Sejauh mata memandang, semua petugas berseragam hazmat putih dengan alat pelindung diri (apd) lengkap. Ada juga beberapa petugas yang memakai warna lain.
Usai mencuci tangan, saya diarahkan menuju meja pendaftaran.
Saya menyerahkan KTP. Lalu, petugas sempat bertanya seputar adalah riwayat penyakit dan gejala mencurigakan. Untungnya saya belakangan merasa baik-baik saja.
Di meja pendaftaran saya beberapa kali menunggu.
Selepas dari meja pertama, saya menunggu untuk ke meja pendaftaran kedua.
Selepas dipanggil, saya diberikan kartu registrasi Tes Covid-19.
Tiba-tiba rekan wartawan menceletuk
"Kayak kartu suara pilkada aja bentuknya."
Saya spontan tertawa meski hati kecut juga menunggu di bagian pendaftaran.
Di dalam kartu tertera informasi umum seputar diri saya.
Di sebelah bagian informasi umum, ada tabel dengan beberapa kolom di antaranya bertuliskan jenis metode yang diambil untuk mendeteksi positif atau negatif, hasil tes dan stempel.
Selepas menunggu, saya dipanggil kembali ke meja pendaftaran tiga sebelum menuju tempat tes.
Di sini saya mendapatkan lembar formulir penyelidikan epidemiologi suspek Novel Coronavirus.
Nama pewawancara saya bernama dr Firman.
Dia menanyai saya sejumlah pertanyaan yang tidak jauh berbeda dengan di meja pendaftaran pertama.
Namun, ada satu pertanyaan yang membuat dia terdiam sejenak.
Kira-kira begini pertanyaannya, "Pernah kontak dengan orang yang terpapar Covid-19?" Jawab saya tidak.
"Kenapa mau ikut tes?"tanyanya lagi.
Memang, meski saya lebih banyak berada di lapangan akan tetapi saya jarang bergelut dengan pasien Covid-19.
Terakhir di hari raya Lebaran saat meliput jenazah yang dimakamkan sesuai protap Covid-19 ke TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur.
Kabarnya, sampai berita ini ditulis jenazah masih terus berdatangan ke makam itu.
Saya jawab saja ke petugas itu "Untuk memastikan diri saya aman atau tidak."
Soalnya, selama di lapangan saya tidak ingat bersinggungan dengan siapa saja.
Selain itu, DKI Jakarta itu sudah zona merah.
Ditambah, banyak orang positif tanpa gejala.
Saya diarahkan ke tenda tes usap selepas dari meja pendaftaran.
Di sana ada tiga tenda. Dua tenda yang digunakan untuk tes usap.
Satu tenda untuk pegawai KPU satu lagi untuk para wartawan.
Keluar Air Mata
Ketika masuk ke dalam tenda, petugas akan melakukan tes di dua organ, mulut dan hidung.
Wah, saya kira hanya salah satunya. Ternyata cobaan itu berlipat ganda.
Petugas meminta saya membuka mulut ketika hidung saya akan dites.
Mulut harus terbuka lebar agar ketika alat tes sejenis cotton bud berukuran panjang masuk, hidung tidak mengalami penyempitan.
Ketika alat itu masuk, seketika air mata saya mengalir lantaran terasa perih sedikit.
Bukan hanya satu lobang saja yang dites. Lobang hidung lainnya ikut dimasukkan sehingga air mata kembali mengalir.
Setelah tes hidung baru selesai, tes kedua sudah kembali datang dan bikin cemas.
Dengan jantung berdegup kencang, saya harus membuka mulut sambil teriak seperti huruf A.
Alat tes itu masuk ke bagian dalam mulut sebentar kemudian keluar.
Pikir saya dalam hati "Wah, baru kali ini saya menjalani tes seperti sedang menangis."
Hasil akan dikabarkan paling lambat tiga hari lagi.
Pihak kantor juga akan dikirimkan hasilnya.
Bila positif Covid-19 akan dijemput petugas.
Setelah bercucuran air mata dari dalam tenda, saya harus menunggu kabar baik atau buruk.
Menanti ketidakpastian apakah dinyatakan lulus tes atau tidak. Mengingatkan saya akan momen menunggu hasil UN di kala remaja. Deg-deg Ser!