Erdogan Dinilai Berpotensi Sebagai Ancaman Kawasan Eropa, Pengamat Beberkan Analisanya
Pemimpin Eropa harus menyadari bahwa masalah Erdogan tidak dapat diabaikan, dihindari, atau diremehkan tanpa batas waktu
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Banyak keresahan yang muncul dalam beberapa hari terakhir atas "kediktatoran elektif" yang dilakukan Presiden Belarusia Alexander Lukashenko dan upayanya yang curang untuk mengamankan masa jabatan keenam sebagai presiden.
"Kami mengecam dan menolak hasil Pemilu di Belarusia Minggu lalu karena tidak bebas atau adil," kata Josep Borrell, kepala urusan luar negeri Uni Eropa.
Namun kemarahan Eropa dan ancaman sanksi tampaknya kurang didengarkan. Tidak ada yang benar-benar mengharapkan Lukashenko bersikap adil. Reformasi demokrasi di Belarus, negara yang dipengaruhi oleh Rusia, bukanlah prioritas UE. Tidak ada minat yang jelas untuk jenis intervensi yang kuat yang mungkin benar-benar membuat perbedaan.
Menurut laman The Guardian, Minggu (16/8/2020) kritik keras Eropa terhadap Lukashenko sangat kontras dengan keengganan mereka secara terbuka mengecam intrik agresif terbaru di kawasan Mediterania timur dan kediktatoran elektif lainnya, yang dilakukan oleh pemimpin Turki, Recep Tayyip Erdoğan.
Turki adalah anggota NATO, mitra dagang utama UE, penjaga gerbang perbatasan, dan aktor berpengaruh di Suriah dan Timur Tengah. Tidak seperti Belarusia, ia memiliki kepentingan strategis yang nyata. Mungkin itu menjelaskan keheningan dari banyak pemerintah, termasuk Inggris.
Namun demikian, ada satu kesamaan yang terlihat dari kebijakan Uni Eropa terhadap Belarusia: hanya ada sedikit tanda-tanda tindakan bersama untuk mengekang ekses Erdoğan.
Siapapun yang meragukan tag "diktator" tidak perlu melihat lebih jauh dari undang-undang media sosial baru yang represif dari Turki, yang mereplikasi pengusirannya terhadap media independen tradisional.
"Undang-undang tersebut akan meningkatkan penyensoran online. Otokrasi sedang dibangun dengan membungkam semua suara kritis," kata Tom Porteous dari Human Rights Watch.
Dalam pendekatannya ke Turki, seperti dalam hal lain, Emmanuel Macron merupakan pengecualian dari aturan Eropa.
Presiden Prancis itu pada bulan Juni marah ketika kapal perang Turki, yang mengawal sebuah kapal yang dicurigai menyelundupkan senjata ke Libya, yang kemudian dicegat oleh fregat Prancis dan memaksa kapal perang tersebut untuk mundur.
Prancis juga geram dengan operasi eksplorasi minyak dan gas Turki yang meluas di perairan teritorial Yunani. Macron kemudian mengirim bala bantuan angkatan laut ke Mediterania timur minggu lalu dan meminta Erdogan untuk mundur.
Baik Yunani dan Turki telah memobilisasi angkatan laut dan udara mereka. Turki mengklaim hukum internasional saat ini yang mengatur simpanan energi landas kontinen secara tidak adil. Sementara Yunani mengatakan wilayahnya sedang diserang.
Meski keduanya mengaku lebih memilih dialog daripada konfrontasi militer. Tetapi pada hari Kamis, saat Ankara bersumpah untuk mempertahankan "hak dan kepentingan" dan Athena memperingatkan tentang meningkatnya bahaya "insiden" militer, dua kapal milik Yunani dan Turki bertabrakan.
Krisis yang meningkat, yang juga menyentuh Siprus, Israel dan Mesir, memprovokasi kesibukan kegiatan diplomatik yang dinilai telat minggu lalu.
Dewan urusan luar negeri Uni Eropa bertemu dalam sesi luar biasa. Kanselir Jerman, Angela Merkel, menghubungi Erdogan seperti yang dia lakukan di krisis sebelumnya, mencoba untuk membujuknya. Sedangkan Athena berupaya mencari dukungan ke AS.