Bukan Takut Kalah Saing dengan Youtuber dan Selebgram, Penjelasan RCTI Uji Materi UU Penyiaran ke MK

permohonan uji materi UU Penyiaran yang dilayangkan RCTI dan iNews ke Mahkamah Konstitusi

Editor: Wahyu Aji
(KOMPAS.com/FACHRI FACHRUDIN)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat. Gambari diambil pada Selasa (10/10/2017). 

TRIBUNJAKARTA.COM - Corporate Legal Director MNC Group Christophorus Taufik mengatakan permohonan uji materi UU Penyiaran yang dilayangkan RCTI dan Inews TV ke Mahkamah Konstitusi (MK) lantaran peraturan tersebut dianggap sudah jadul, alias ketinggalan zaman.

Dijelaskan Chris, tujuan permohonan uji materi UU Penyiaran dimaksudkan agar aturan tersebut mampu bersinergi dengan peraturan yang lain.

Sebagai contoh, UU Telekomunikasi sudah mengatur tentang infrastruktur, UU ITE juga telah mengatur soal internet.

Ancam Kebebasan Siaran Live di Medsos, Pahami Dampak Gugatan RCTI dan INews TV Terhadap UU Penyiaran

Uji materi terhadap UU Penyiaran diharapkan bisa lebih mengatur konten dan perlindungan bagi insan kreatif bangsa.

"Kami mendorong agar UU Penyiaran yang sudah jadul itu untuk bersinergi dengan UU yang lain, seperti UU Telekomunikasi yang sudah mengatur soal infrastruktur, UU ITE yang sudah mengatur soal Internet, dan UU Penyiaran sebagai UU yang mengatur konten dan perlindungan kepada insan kreatif bangsa memang tertinggal perkembangannya. Hal ini yang ingin kami dorong," ujar Chris dalam keterangan tertulisnya, Jumat (28/8/2020).

Pihak MNC Group menampik jika uji materi UU Penyiaran akan berimbas pada dilarangnya masyarakat melakukan siaran langsung atau live streaming di media sosial.

Kata Chris, jika dicerimati dalam isi permohonan uji materi, tidak terbesit, tersirat maupun tersurat untuk melarang atau memberangus kreativitas YouTuber maupun selebgram.

Uji materi UU Penyiaran ditujukan guna mengusung kesetaraan dan tanggung jawab moral bangsa.

"Itu tidak benar. Permohonan uji materi RCTI dan iNews tersebut justru dilatarbelakangi keinginan untuk melahirkan perlakuan dan perlindungan yang setara antara anak-anak bangsa dengan sahabat-sahabat youtuber dan selebgram dari berbagai belahan dunia dan mendorong mereka untuk tumbuh, meningkatkan kesejahteraan mereka dan berkembang dalam tataran kekinian," ucapnya.

Diberitakan sebelumnya, PT Visi Citra Mitra Mulia ( iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia ( RCTI) menggugat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam gugatan itu, RCTI dan iNews TV menggugat UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 lantaran tidak mengatur Youtube dan Netflix

Saat ini, gugatan ini tengah di sidangkan di MK. 

Jika nantinya gugatan dikabulkan, pengguna media sosial terancam tidak bisa melakukan live atau siaran langsung jika tidak memiliki izin. 

Berikut ini fakta tentang gugatan RCTI dan iNews TV ke MK:

1. Mulai Disidangkan di MK pada Bulan Juni lalu

Gugatan RCTI dan Inews TV diajukan ke MK pada bulan Juni lalu.

Dikutip dari laman MK, mkri.id, Kamis (27/8/2020), gugatan diregsitrasi oleh MK pada 9 Juni 2020 lalu dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020.

Gugatan itu diajukan oleh PT Visi Citra Mulia (lebih dikenal dengana nama Inews TV) yang diwakili oleh David Fernando Audy sebagai Direktur Utama) dan Rafael Utomo sebagai Direktur.

Sementara RCTI diwakili oleh Jarod Suwahjo sebagai Direktur dan Dini Ariyanti Putri sebagai Direktur.

Gugatan ini tengah berproses di MK. 

Sidang pendahuluan digelar pada 22 Juni lalu. 

Selengkapnya registrasi gugatan RCTI dan INews bisa anda lihat di sini

2. Isi Gugatan

Masih berdasar laman MK, dalam gugatan itu, Inews TV dan RCTI meminta Pasal 1 angka 2 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali jika mengatur penyiaran melalui internet.

Berikut isi gugatan Inews TV dan RCTI sebagaimana dikutip dari berkas permohonan mereka: 

- Menyatakan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempuntyai kekuatan hukum mengikat bersyarat sepanjang tidak dimaknai "dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/ atau kebutuhan dengan perangkat siaran", sehingga Pasal 1 angka 2 UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran selengkapnya berbunyi: "Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui saraan pemancaran dan/atau saran transmisi di darat, di laut atau di antaraiksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/ atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran dan/atau kegiatan menyebarluasan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat siaran":

Selengkapnya permohonan gugatan RCTI dan iNews TV bisa anda akses di sini

4. Konsekuseni Jika Gugatan Dikabulkan

Jika gugatan RCTI dan iNews TV ini nantinya dikabulkan, pengguna media sosial terancam tidak bisa menggunakan fitur siaran live di platfrom manapun sepanjang pemilik perusahaan penyedia platform tidak mengantongi izin penyiaran. 

Dikutip dari Kompas.com, pengetatan aturan siaran live ini bakal diterapkan apabila gugatan uji materi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dikabulkan.

Uji materi itu membahas soal layanan video over the top (OTT) atau layanan yang berjalan di atas internet untuk dimasukkan dalam klasifikasi penyiaran.

Konsekuensinya, jika siaran live di media sosial dikategorikan sebagai penyiaran, maka individu, badan usaha, ataupun badan hukum harus memiliki izin menjadi lembaga penyiaran.

Seperti diketahui, layanan live, seperti Instagram Live, Facebook Live, dan YouTube Live sangat populer di Indonesia. Selain itu, ada juga layanan live gaming, seperti Twitch dan Nimo TV.

Penggunaan layanan-layanan ini justru sangat meningkat pada masa pandemi ini.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengatakan, usulan tersebut akan mengubah tatanan industri penyiaran dan mengubah keseluruhan UU Penyiaran.

"Perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, Youtube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin," ujar Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli secara virtual dalam sidang lanjutan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (26/8/2020), seperti dihimpun KompasTekno.

"Artinya, kami harus menutup mereka (Google, Facebook, dkk) kalau mereka tidak mengajukan izin," imbuh Ramli.

Itu artinya, perorangan atau badan usaha yang tidak memenuhi persyaratan perizinan penyiaran akan menjadi pelaku penyiaran ilegal dan harus ditertibkan oleh aparat penegak hukum karena melakukan penyiaran tanpa izin.

Ramli mengatakan, layanan OTT beragam dan luas, sehingga aturannya cukup kompleks dan tidak hanya dalam satu aturan.

Termasuk para pembuat konten siaran lintas batas negara yang tidak mungkin terjangkau dengan hukum Indonesia.

"Mengatur layanan OTT secara ketat juga akan menghadapi tantangan hukum dalam penegakannya karena mayoritas penyedia layanan OTT saat ini berasal dari yurisdiksi di luar Indonesia," ujar Ramli.

Lebih lanjut, Ramli mengatakan bahwa kemajuan teknologi memang menyebabkan terjadinya konvergensi antara telekomunikasi dan media penyiaran.

Ramli juga mengatakan, layanan OTT di Indonesia terus berkembang dan akan menghambat laju ekonomi kreatif dan ekonomi digital apabila gugatan dikabulkan.

5. Pemerintah meminta MK menolak gugatan tersebut.

Sebab, jika dikabulkan, layanan over the top (OTT) yang menggunakan internet akan disamakan dengan layanan penyiaran.

Sehingga, tayangan audio visual akan diklasifikasikan sebagai kegiatan penyiaran yang harus memiliki izin siar.

"Definisi perluasan penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram live, Facebook live YouTube live dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial akan diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin," kata Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemenkominfo Ahmad M Ramli dalam persidangan di MK, Rabu (26/8/2020), seperti dipantau Kompas.com melalui YouTube MK RI, Kamis (27/8/2020).

"Artinya kita harus menutup mereka kalau mereka tidak mengajukan izin," tutur Ramli.

Ramli mengatakan, apabila kegiatan-kegiatan tersebut dikategorikan sebagai penyiaran, maka lembaga negara, lembaga pendidikan, konten kreator baik badan usaha ataupun badan hukum yang menggunakan platform OTT harus memiliki izin sebagai lembaga penyiaran.

Jika tak mengantongi izin, mereka dapat dinyatakan melakukan penyiaran ilegal.

Mereka yang melakukan penyiaran ilegal pun terancam sanksi pidana.

Menurut Ramli, mengingat penyedia layanan audio-visual umumnya melintasi batas negara, maka mustahil untuk menerapkan hukum Indonesia di luar wilayah yuridiksi dalam negeri.

"(Jika gugatan diterima) akan mengubah tatanan industri penyiaran dan mengubah secara keseluruhan UU Penyiaran serta peraturan terkait di bawahnya," ujar dia.

Ramli menyebut, terdapat perbedaan yang jelas antara penyiaran yang dilakukan lembaga penyiaran dengan layanan audio visual OTT. (Kompas.com/Wahyunanda Kusuma Pertiwi)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Instagram TV hingga YouTube Live Harus Miliki Izin Siar jika Gugatan terhadap UU Penyiaran Dikabulkan"

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Duduk Perkara Gugatan RCTI yang Ancam Kebebasan Siaran Live di Medsos" 

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved