Sisi Lain Metropolitan
Jadi Pengajar di Sekolah Bertaraf Internasional, Cerita Frida Hadapi Siswa dari Mancanegara
Frida, sapaannya merupakan kepala sekolah di Sampoerna Academy, Sentul.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Erik Sinaga
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Puluhan tahun jadi pengajar di sekolah bertaraf Internasional, Frida Dwiyanti (46) ungkap tantangan hadapi siswa dari berbagai negara.
Frida, sapaannya merupakan kepala sekolah di Sampoerna Academy, Sentul.
Memiliki segudang pengalaman dan prestasi hingga ke mancanegara mengantarkannya bekerja di Sampoerna Academy.
Ibu satu anak ini mengatakan memang tertarik pada dunia pendidikan sedari dulu.
Ketika usianya masih belia, ia kerap berbincang dengan satu diantara keluarganya yang merupakan seorang dosen.
Merasa akrab dan menikmati tiap perbincangan yang ada, membuatnya semakin tertarik menyelami dunia pendidikan.
Akhirnya, sewaktu kuliah ia menerima tawaran dari salah satu rekan ibunya untuk mengajar atau les privat.
"Mau ngga itu ngajarin anaknya teman mama?," tanya orang tuanya saat itu.
"Akhirnya saya coba untuk mengajar. Kebetulan waktu itu sedang kuliah juga," jelasnya kepada TribunJakarta.com, Kamis (3/9/2020).
Sebagai batu loncatan, selepas lulus kuliah ia mengajar di taman kanak-kanak di Kota Surabaya.
Selanjutnya pada tahun 2007 dirinya pindah ke Jakarta dan meniti karir dari satu sekolah ke sekolah lain.
"Kalau berkecimpung di sekolah atau dunia pendidikan sudah dari tahun 1997. Sampai sekarang masih berkecimpung di dunia pendidikan juga," sambungnya.
Selanjutnya, di tahun 2012 ia sempat mewakili Indonesia dalam IB Primary Years Programme (PYP) Cordinator.
Akhirnya pengalamannya itu membawa sepak terjangnya semakin melejit di dunia pendidikan.
Hingga mengantarkannya di Sampoerna Academy.
Tantangan
Selama mengajar di sekolah bertaraf Internasional ia memiliki pengalaman yang bisa dibagikan.
Pengalaman yang menjadi tantangan tersendiri ketika menghadapi banyak siswa dari berbagi negara.
Tantangan pertama ialah perihal pemahaman.
Karena memiliki bahasa dan budaya yang berbeda, tentunya pemahaman antar siswa berbeda-beda.
Baik siswa maupun guru harus saling memahami dengan penerapan komunikasi yang jelas.
Sehingga kita mengetahui maksud tiap individu dan bukan berasumsi.
"Untuk masalah bahasa kita sediakan kelas. Intinya mereka kami ajarkan untuk menghargai perbedaan dan budaya yang ada."
"Misalnya terbiasa kidal, namun di Indonesia sopannya pakai tangan kanan. Jadi ketika menerima sesuatu mereka akan tetap menerima dengan tangan kanan," jelasnya.
Kendati begitu ia menikmati apa yang ada dan apa yang dijalaninya.
Pengalaman yang ia dapatkan dari luar negeri karena pendidikan pun ia terapkan kepada para siswa dan di tempatnya bertugas.
Apalagi, teknologi saat ini sudah canggih dan siswa bisa belajar dengan nyaman.
Mengajar di tengah pandemi
Memiliki siswa dari berbagai negara membuatnya harus lebih memahami apa yang ada.
Termasuk mengetahui trik untuk menyampaikan isi pernyataan agar semua siswa saling memahami.
Apalagi mengingat kondisi saat ini di mana pandemi Covid-19 tengah melanda dan para siswa belajar via daring atau online.
"Kami melihat virtual school tidak sebagai penghalang. Misalnya siswa kurang memahami akan diberikan waktu tambahan."
• Sembilan dari 22 Karyawan Pabrik Brigestone Bekasi Positif Covid-19 Dinyatakan Sembuh
• PSSI Kebut Pembenahan Venue Piala Dunia U-20, FIFA Belum Tentukan Waktu ke Indonesia
• Bayar Rp 150 Ribu, Peserta Pesta Seks Gay di Apartemen Jaksel Mainkan Berbagai Perlombaan
"Selanjutnya bila ingin bertanya maka siswa diberikan kesempatan bertanya dengan melambaikan tangan."
"Jadi di sini untuk sekolah bertaraf Internasional, guru harus kreatif sehingga kelas tetap berjalan dengan berbagai cara," jelasnya.
Sementara itu, Frida berharap pembelajaran terutama di dunia pendidikan bisa jauh baik dengan teknologi.
Sehingga konsepnya bisa learning how to learn bagi tiap siswa.