Jakob Oetama Meninggal Dunia
Cerita Wamendes Budi Arie Terima Telepon Jakob Oetama Saat Jadi Jurnalis
Wamendes PDTT Budi Arie Setiadi menyampaikan duka cita mendalam atas kepergian Pendiri Kompas Gramedia Group Jakob Oetama.
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Wamendes PDTT) Budi Arie Setiadi menyampaikan duka cita mendalam atas kepergian Pendiri Kompas Gramedia Group Jakob Oetama.
Wamen Budi pun mengungkapkan pengalaman yang sangat berkesan dengan Jakob Oetama.
"Beliau Pemimpin Grup Kompas Gramedia, dan saya waktu itu bekerja sebagai jurnalis di Tabloid Kontan. Sebuah media yang baru saja terbit di medio 1996. Saya bergabung di Kontan dalam kondisi media tersebut belum ada alias masih konsep," kata Budi Arie dalam keterangannya kepada Tribunnews.com, Kamis (10/9/2020).
Saat itu, kata Budi, senior- senior yang berkerja yakni, mantan Wartawan Tempo yang dibredel tahun 1994 banyak membimbing seperti Margiono, Yopi Hidayat , Budi Kusumah, Adrian Taufik Gesuri, Bambang Aji, Mobanoe Mura , Dwi Setyo Arianto, Andi Reza Rohadian dan yang lainnya.
Karier menjadi jurnalis di tabloid anak usaha dari Kompas Gramedia itu selama sekitar lima tahun sejak 1996 hingga 2001.
Di masa rezim Presiden Soeharto, tentu masyarakat mengetahui bagaimana perlawanan rakyat, termasuk mahasiswa, terhadap rezim orde baru sampai tumbang pada Mei 1998.
Dalam gejolak melawan ketidakadilan itulah, Wamen Budi menjadi jurnalis di Kontan, yang diisi dan dipimpin oleh jurnalis-jurnalis muda yang progresif.
"Bisa dipastikan bagaimana angle-angle, headline, dan cover story Tabloid Kontan waktu itu. Melawan rezim Soeharto waktu itu menjadi 'kewajiban' dan tanggungjawab bersama," tutur Budi Arie.
Dalam masa-masa menegangkan mengkritik kebijakan orde baru, komunikasi Kontan, termasuk dirinya sebagai jurnalis, dengan Jakob tergolong intens.

Hampir tiap minggu, kata Budi, Jakob selalu menelpon redaksi dan memberikan nasihat kepada redaksi agar Kontan sebagai media bisnis harus pro bisnis dan jangan terlalu keras kepada pengusaha.
"Beliau memberikan arahan dan masukan agar melakukan kritik dengan santun dan bijak. Tentu waktu itu kami kurang happy. Maklum, darah muda," ucap Budi.
"Yang lucu dan sampai sekarang masih saya ingat adalah seharusnya Pak Jakob menelepon Kang Budi Kusumah. Tapi operator menghubungkannya ke saya sehingga saya yang menerima langsung petuah dari Pak Jakob," tambahnya.
Terlepas dari pro-kontra Jakob dengan awak Kontan ketika itu, Budi menilai Jakob Oetama adalah sosok ayah.
"Pemimpin dalam keluarga. Tentu tidak semua hal sependapat, tapi bisa dipahami kekhawatiran beliau," jelasnya.
Budi Arie pun menyampaikan ucapan duka atas atas kepergian tokoh pers nasional itu.
"Saya sebagai pribadi dan Wakil Menteri PDDT berduka sangat mendalam atas wafatnya Bapak Jakob Oetama. Beliau adalah tokoh pers yang sangat legendaris. Saya yakin sekali dan berharap, Tuhan mengampuni beliau dan menempatkannya di surga," ucapnya.
Sebagaimana diketahui, Pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama diketahui telah tutup usia.
Jakob Oetama meninggal dunia Rabu, 9 September 2020, pada usia 88 tahun di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta.

Profil Jakob Oetama
Jakob Oetama lahir di sebuah desa bernama Desa Jowahan, 500 meter sebelah timur Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, 27 September 1931.
Jakob merupakan putra pertama dari 13 bersaudara.
Ayahnya bernama Raymundus Josef Sandiyo Brotosoesiswo seorang pensiunan guru Sekolah Rakyat di Sleman, Yogyakarta dan ibunya bernama Margaretha Kartonah.
Cita-cita awal Jakob adalah menjadi pastor. Namun pekerjaan ayahnya sebagai guru membuat Jakob untuk tidak melanjutkan cita-cita awalnya.
Saat ini Jakob Oetama dikenal sebagai salah satu pendiri Kompas Gramedia Group Bersama dengan Petrus Kanisius (PK) Ojong.
Info Pribadi
Nama : Jakob Oetama
Nama Kecil : Raden Bagus To
Tempat, Tanggal Lahir: Magelang, 27 September 1931
Ayah : Raymundus Josef Sandiyo Brotosoesiswo
Ibu : Margaretha Kartonah
Saudara : Hendroatmodjo, Soenarko, Prayogo
Anak : Lilik Oetama, Irwan Oetama
Cucu : Geraldine Oetama
Perjalanan Karier
Jakob Oetama memulai kariernya setelah keluar dari Seminari di Yogyakarta.
Jakob ingin menjadi guru seperti ayahnya.
Ayahnya kemudian meminta Jakob untuk pergi ke Jakarta menemui kerabat bernama Yohanes Yosep Supatmo.
Supatmo sendiri bukanlah seorang guru namun memiliki Yayasan Pendidikan Budaya yang mengelola sekolah-sekolah budaya.
Pekerjaan pertama Jakob bukanlah sebagai guru di Yayasan milik Supatmo melainkan sebagai guru di SMP Mardiyuwana Cipanas, Jawa Barat pada 1952 sampai 1953.
Kemudian Jakob pindah ke Sekolah Guru Bagian B di Lenteng Agung, Jakarta pada 1953-1954 dan pindah lagi ke SMP Van Lith di Gunung Sahari pada 1954-1956.
Sekolah-sekolah tersebut di bawah asuhan para pastor Kongregasi Ordo Fratrum Minorum (OFM) atau disebut Fransiskan.
Saat itu Jakob tinggal di kompleks Sekolah Vincentius di Kramat Raya, Jakarta Pusat atau sekarang menjadi kompleks Panti Asuhan VIncentius Putra.
Sambil mengajar SMP Jakob kemudian melanjutkan studinya pada tingkat tinggi.
Jakob memilih kuliah B-1 Ilmu Sejarah. Setelah lulus melanjutkan di Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Publisistik di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Minat menulis Jakob tumbuh seiring dengan belajar sejarah.
Kecintaannya dengan dunia jurnalistik tumbuh ketika mendapat pekerjaan sebagai sekretaris redaksi mingguan Penabur di Jakarta dan memutuskan berhenti mengajar pada 1956.
Tugas utamanya di Penabur adalah menjalankan peran sebagai pemimpin direksi.
Jakob sempat direkomendasikan mendapatkan beasiswa di University of Columbia, Amerika Serikat oleh salah satu guru sejarahnya ketika bersekolah di B-1 Sejarah yang juga seorang pastor Belanda, Van den Berg, SJ.
Jakob akan memperoleh gelar PhD dan akan menjadi sejarawan atau dosen sejarah.
Jakob juga sempat diterima sebagai dosen di Universitas Parahyangan (Unpar), Bandung, dan disiapkan rumah dinas bagi keluarganya.
Unpar juga sudah menyiapkan rekomendasi PhD di Universitas Leuven, Belgia setelah Jakob beberapa tahun mengajar di sana.
Jakob merasa bimbang apakah ingin menjadi wartawan profesional ataukah guru profesional.
Kemudian Jakob menemui Pastor JW Oudejans OFM, pemimpin umum di mingguan Penabur.
Oudejans, Pastor tersebut menasihatinya bahwa guru sudah banyak namun wartawan tidak.
Saat itulah yang menjadikan titik balik Jakob untuk fokus menggeluti dunia jurnalistik.
Pada awal 1960-an Jakob aktif menjadi pengurus Ikatan Sarjana Katolik Indonesia bersama Petrus Kanisiun (PK) Ojong.
Persahabatan Jakob dan Ojong berasal dari kesamaan pandangan politik dan nilai kemanusiaan yang dianut.
Pada April 1961, PK Ojong mengajak Jakob untuk mendirikan sebuah majalah.
• Jakob Oetama Dimakamkan di TMP Kalibata Siang Ini, Sejumlah Pelayat Mulai Berdatangan
• Anies Baswedan Tarik Rem Darurat Terapkan PSBB Ketat, Ini Dasar Pertimbangannya
Majalah tersebut diberi nama Intisari mengenai perkembangan dunia ilmu pengetahuan.
Majalah Intisari yang didirikan oleh Jakob Oetama dan PK Ojong Bersama J. Adisubrata dan Irawati SH pertama kali terbit pada 17 Agustus 1963.
Majalah ini bertujuan untuk memberi bacaan bermutu dan membuka cakrawala masyarakat Indonesia.
Intisari juga dibuat sebagai pandangan politik Jakob dan Ojong yang menolak belenggu terhadap masuknya informasi dari luar.
Dalam penerbitannya, Intisari juga melibatkan banyak ahli di antaranya adalah ahli ekonomi Prof. Widjojo Nitisastro, penulis masalah-masalah ekonomi terkenal seperti Drs. Sanjoto Sasstromohardjo, dan sejarawan muda Nugroho Notosusanto.
Berkat pergaulan PK Ojong yang sangat luaslah Intisari berhasil terbit.
Saat itu Intisari terbit dengan tampilan hitam putih dan tanpa sampul.
Intisari mendapat respon yang baik dari para pembaca dan beroplah 11.000 eksemplar.
Dilansir oleh TribunnewsWiki dari Kompas.com pada (14/5/2019), kehadiran Intisari dianggap belum cukup.
Di tahun 1965 Jakob Bersama PK Ojong mendirikan Surat Kabar Kompas.
Saat itu Indonesia sedang berada pada masa pemberontakan PKI.
Kemudian didirikanlah Surat Kabar Kompas yang dimaksudkan untuk menjadi pilihan alternatif dari banyaknya media partisan yang terbentuk dari kondisi politik Indonesia pasca Pemilu 1995.
Nama Kompas sendiri merupakan pemberian dari Presiden Soekarno yang berarti penunjuk arah.
Sebelumnya, nama yang akan dipilih adalah ‘Bentara Rakyat’ yang berarti koran itu ditujukan untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat rakyat.
Moto yang dipilih pun “Amanat Penderitaan Rakyat”.
Namun Presiden Soekarno saat itu kurang setuju dan mengusulkan nama “Kompas”.
Kemudian dari perkembangan Kompas inilah berdiri kelompok usaha Kompas Gramedia.
Mengutip dari Kompas.com, dalam perjalanan membesarkan Intisari dan Kompas, Jakob Oetama dan PK Ojong berbagi tugas.
Jakob bertanggung jawab atas editorial sedangkan Ojong bertanggung jawab atas bisnis.
Jakob dan Ojong selalu menanamkan pentingnya nilai kemanusiaan dan etika jurnalistik yang tinggi dalam setiap laporan yang ditulis Kompas.
Pengembangan bisnis harus sejalan dengan kepercayaan pembaca.
Maka dari itu Kompas selalu mengedepankan rasa kepercayaan dari masyarakat.
Pada 1980, setelah 15 tahun Bersama PK Ojong mengembangkan Kompas, Ojong meninggal dalam tidurnya.
Hal ini membuat Jakob yang awalnya hanya berfokus pada editorial harus mengurus Kompas dalam aspek bisnis juga.
Dengan sifat penuh kerendahan hati, akhirnya Jakob berhasil mengembangkan Kompas Gramedia Group dalam berbagai sektor bisnis.
Jakob juga aktif dalam berbagai organisasi dalam maupun luar negeri.
Beliau pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Anggota DPR Utusan Golongan Pers, Pendiri dan Anggota Dewan Kantor Berita Nasional Indonesia, Anggota Dewan Penasehat PWI, Anggota Dewan Federation Internationale Des Editeurs De Journax (FIEJ), Anggota Asosiasi Internasional Alumni Pusat Timur Barat Honolulu, Hawai.
(TRIBUNJAKARTA/KOMPAS)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Wamen Budi Arie Cerita Kedekatannya dengan Jakob Oetama: Sosok Ayah, Pemimpin Keluarga,.