Penangkapan Aktivis KAMI
Tak Diizinkan Jenguk Aktivis KAMI yang Ditahan Mabes Polri, Gatot Nurmantyo Akhirnya Pulang
Sejumlah Presidium, Komite Eksekutif, dan deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menyambangi Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (15)
Penulis: Annas Furqon Hakim | Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Annas Furqon Hakim
TRIBUNJAKARTA.COM, KEBAYORAN BARU - Sejumlah Presidium, Komite Eksekutif, dan deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menyambangi Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (15/10/2020) siang.
Beberapa di antaranya yang hadir adalah mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, Din Syamsuddin, Ahmad Yani, dan Rocky Gerung.
Kedatangan mereka adalah untuk menjenguk sejumlah aktivis KAMI yang ditangkap dan ditahan terkait kasus kerusuhan demo menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Namun, mereka tidak diizinkan menjenguk aktivis KAMI yang ditahan.
Gatot Nurmantyo dkk sudah menunggu selama sekitar satu jam.
Mereka juga memberikan pernyataan resmi terkait penangkapan dan penahanan aktivis KAMI kepada awak media.
Sempat terjadi perdebatan antara para petinggi KAMI dengan petugas kepolisian.
Pada akhirnya, mereka tetap tidak mendapat izin untuk menjenguk aktivis KAMI yang ditahan.
"Kami ini kan bertamu meminta izin untuk menengok. Ini Presidium, Eksekutif, dan lainnya lagi. Kami menunggu, tidak ada jawaban, ya sudah terima kasih. Tidak ada masalah kan," kata Gatot di Mabes Polri.
Gatot mengaku tidak mengetahui alasan polisi tidak memberikan izin untuk menjenguk.
"Ya nggak tahu, pokoknya nggak dapat izin, kami kembali saja nggak ada masalah," ujar dia.
5 anggota KAMI jadi tersangka
Polisi menetapkan lima anggota Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) sebagai tersangka kerusahan yang terjadi saat unjuk rasa tolak UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu.
Lima orang tersebut merupakan bagian dari delapan anggota KAMI yang diamankan polisi di Medan dan Jakarta.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setyono mengatakan, pihaknya telah melakukan penahanan terhadap lima orang tersebut.
Kelimanya ialah Ketua KAMI Medan Kahiri Amri dam tiga anggotanya, yaitu Juliana, Devi, dan Wahyu Rasari Putri.
Sedangkan, satu orang lainnya ialah Kingkin Anida dari KAMI Jakarta.
Baca juga: Tersandung Kasus UU ITE, Syahganda Petinggi KAMI Sempat Sindir Prabowo Sebelum DItanggap
"Yang sudah 1x24 jam (pemeriksaan, Red) sudah jadi tersangka. Tapi yang masih belum, masih proses pemeriksaan hari ini," kata Brigjen Awi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (13/10/2020).
Lalu bagaimana dengan tiga petinggi KAMI?
Sampai saat ini tiga orang petinggi KAMI, yaitu Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana masih berstatus terperiksa.
Bareskrim Polri pun masih terus mendalami keterlibatkan tiga orang tersebut dalam kericuhan yang terjadi saat aksi demo tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja Kamis (8/10/2020) lalu.
"Yang dalam pemeriksaan 1 x 24 jam ini tentunya Polri akan melakukan pemeriksaan intensif sembari juga menunggu yang beberapa belum ada pengacaranya kita tunggu, tentunya nanti akan ditindaklanjuti terkait dengan penyidikannya," jelasnya.
Lebih lanjut, Awi mengatakan kelima tersangka dijerat dengan pasal ujaran kebencian ataupun permusuhan terkait aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Hal itu termaktub dalam 45 A ayat 2 UU RI nomor 19 tahun 2014 tentang ITE dan atau pasal 160 KUHP.
Dalam beleid pasal tersebut, seluruh tersangka terancam kurungan penjara 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Baca juga: Terungkap Alasan 8 Pentolan KAMI Ditangkap, Isi Percakapan Bisa Menyulut Masyarakat yang Tak Paham
"Mereka dipersangkakan setiap orang yang sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu ataupun kelompok tertentu didasarkan atas SARA dan atau penghasutan," ungkapnya.
Dalam kasus ini, pihak kepolisian masih enggan merinci secara detail peran masing-masing tersangka dalam kasus tersebut.
Termasuk dengan barang bukti yang didapatkan polri terkait kasus ini.
Nantinya, pihaknya berjanji akan mengungkap kasus tersebut setelah penyidik melakukan pemeriksaan secara intensif kepada seluruh tersangka.
Seperti diketahui, Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri menangkap delapan petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) terkait demo menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Delapan petinggi KAMI yang diamankan adalah Juliana, Devi, Khairi Amri, Wahyu Rasari Putri, Anton Permana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Kingkin Anida.
"Bareskrim Polri maupun tim siber Polda Sumatera Utara Telah melakukan penangkapan terkait dengan demo Omnibus Law," kata Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono, Selasa (13/10/2020).
Awi pun menjelaskan kronologi penangkapan satu per satu petinggi KAMI tersebut.
Dikatakan Awi, orang pertama yang ditangkap adalah Ketua KAMI Medan Khairi Amri.
"Tanggal 9 Oktober 2020 atas nama KA ditangkap tim siber Sumatera Utara," ujar dia.
Sehari berselang, Tim siber Polda Sumatera Utara menangkap Juliana dan Devi.
"Kemudian tanggal 12 Oktober 2020 ditangkap atas nama WRP oleh tim siber Polda Sumatera Utara," tutur Awi.
Empat orang petinggi kami lainnya ditangkap Bareskrim Polri di sejumlah wilayah di Jakarta.
Awi mengungkapkan, penangkapan Anton Permana dilakukan di Rawamangun, Jakarta Timur pada 12 Oktober 2020 antara pukul 00.00 hingga 02.00.
"Tanggal 13 Oktober ada dua kali penangkapan. Yang pertama ditangkap atas nama SG ditangkap di Depok pada pukul 04.00 tadi pagi. Kemudian yang kedua saudara JH ditangkap di Cipete Jakarta Selatan sekitar pukul 05.00," ungkap dia.
Sebelumnya, sambung dia, Bareskrim Polri telah menangkap Kingkin Anida di kawasan Tangerang Selatan pada 10 Oktober 2020 sekitar pukul 13.30 WIB.
"Mereka dipersangkakan melanggar: setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok tertentu berdasarkan atas SARA dan atau penghasutan," kata Awi.
Mereka dijerat Pasal 45 A ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 19 tahun 2016 tentang ITE dan atau pasal 160 KUHP tentang penghasutan dengan ancaman hukuman enam tahun penjara.
Sosok Penting Era SBY
Jumhur Hidayat, satu dari empat anggota KAMI yang ditangkap di Jakarta, pernah menjadi sosok penting di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sejak muda, Jumhur Hidayat adalah aktivis sosial dan dikenal luas oleh publik.
Pria yang lahir di Bandung, 18 Februari 1968 ini sudah menjadi aktivis sejak masih berstatus mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Jumhur pernah dipenjara karena terlibat dalam aksi mahasiswa yang menolak kedatangan Menteri Dalam Negeri Rudini pada 1989.
Selain menjadi aktivis, dia pun pernah meniti karier politik lewat Partai Daulat Rakyat yang mengikuti Pemilu 1999. Posisinya sebagai Sekretaris Jenderal.
Jumhur masih menempati jabatan yang sama saat Partai Daulat Rakyat bergabung bersama tujuh partai politik lain untuk membentuk Partai Sarikat Indonesia pada 2002.
Partai Sarikat Indonesia gagal dalam Pemilu 2004. Setelahnya, Jumhur meninggalkan kegiatan politik dan lebih memilih dunia pergerakan.
Dia sempat bergabung pula dengan organisasj Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Gaspermindo).
Kariernya naik saat ditunjuk sebagai Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) pada 2007.
Jumhur menjabat selama tujuh tahun, hingga pada 2014 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberhentikannya melalui Surat Keputusan pemberhentian yang ditandatangani SBY pada 11 Maret 2014.
Berdasarkan catatan pemberitaan Kompas.com, Jumhur diberhentikan SBY dengan alasan penyegaran. Ia telah menjabat lebih dari tujuh tahun.
Dalam Pasal 117 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 antara lain diatur bahwa jabatan pimpinan tinggi hanya dapat diduduki paling lama 5 (lima) tahun.
Oleh karena itu, pejabat eselon I, yang sudah lebih dari 5 tahun menduduki jabatan yang sama, harus dimutasi ke jabatan lain, atau diberhentikan.
Namun, ada juga yang mengaitkan pemecatan Jumhur dilakukan setelah dia bergabung dengan PDIP.
Berdasarkan catatan pemberitaan Tribunnews.com, di tahun yang sama Jumhur mendirikan Aliansi Rakyat Merdeka (ARM) dan mendukung pemenangan PDIP serta pencalonan Joko Widodo sebagai calon Presiden pada Pemilu 2014.
Saat itu, Jumhur mengaku tidak ada kesepakatan khusus dengan parpol tersebut.
"Saya memilih PDIP atas kehendak sendiri, dan tidak ada deal apa-apa dengan PDIP, ingat ini ya. Saya pokoknya itu dijalankan (Trisakti Bung Karno) sudah cukup," kata Jumhur usai menghadiri deklarasi ARM Yogyakarta mendukung pencapresan Jokowi di Nusantara Café, Jalan Nologaten, Sleman, DIY, Kamis (20/3/2014).
Menurut dia, pendirian ARM pada 8 Maret lalu dan pemilihan PDIP dalam pemenangan Pemilu mendatang adalah murni atas kehendaknya sendiri.
Ia juga menolak bahwa bergabungnya dirinya itu karena kekecewaannya atas ditolaknya sebagai peserta Konvensi Capres Partai Demokrat, serta dipecatnya dari jabatan Kepala (BNP2TKI)11 Maret lalu.
"Saya adalah civil society menjabat sebagai Kepala BNPTKI dan saya terima kasih memeroleh pengalaman di situ," ucap Jumhur.
"Namun saya harus punya orientasi politik, ya seperti Trisakti Bung Karno. Maka saya melihat waktu itu ada kesempatan untuk konvensi, kalau saya ada di situ pasti bisa ikut. Tapi saya tidak diajak," ia menambahkan.
Padahal, lanjutnya, setiap warga negara memiliki hak untuk bergabung dalam konvensi capres tersebut.
Namun, ia justru mengaku tidak diberikan kesempatan untuk berkompetisi menuangkan gagasan-gagasan demi kemajuan bangsa.
"Setiap warga negara punya hak. Bukannya kecewa. Saya tidak boleh ikut artinya ya saya boleh ke mana saja," ujar dia.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul 5 Anggota KAMI Ditetapkan Tersangka Demo Tolak Omnibus Law, Dijerat Pasal Ujaran Kebencian