Jendral Taiwan Sebut Negaranya Cuma Bertahan 2 Minggu Jika Perang dengan Cina, Ini Penjelasannya

Taiwan disebut-sebut hanya akan bertahan dua minggu jika terjadi perang melawan China di kawasan selat.

Editor: Kurniawati Hasjanah
(KOMPAS.com/SAKINA RAKHMA DIAH SETIAWAN)
Kawasan belanja Ximenting di Taipei, Taiwan, Selasa (19/2/2019). 

Yeh mencatat jumlah tersebut mencakup 185.000 tentara aktif dan 260.000 serdadu cadangan. Tapi dalam pandangannya, mereka masih kalah jumlah. 

"Taiwan hanya bisa bertahan selama dua minggu. Apakah kita mempunyai cukup pasukan? Kita harus mengajukan langkah hukum jika ingin kompetitif," paparnya. 

Yeh juga menyebut laporan terbaru Kementerian Pertahanan AS per September, di mana anggaran militer China lebih besar 15 kali lipat dari Taipei.

Dia bukan satu-satunya pejabat militer yang mengeluhkan kurangnya persiapan mereka jika sewaktu-waktu harus menghadapi gempuran Beijing

Mayor Jenderal Purnawirawan Hsiao Tien-liu berujar, pasukan mereka begitu kurang dalam hal persenjataan untuk mempertahankan selat. "Bagaimana seorang prajurit bisa berperang jika dia tak punya cukup peralatan? Apakah mereka harus bertempur dengan sapu?" keluhnya.

Selat Taiwan, titik nyala yang paling berbahaya

Perangkap tank di pantai Pulau Kinmen adalah penanda yang jelas, bahwa Taiwan hidup di bawah ancaman invasi China terus menerus. 

Dan, ketakutan akan pecahnya konflik Taiwan-China sekarang mencapai titik tertinggi dalam beberapa dekade.

Taiwan belajar untuk hidup dengan peringatan dari Beijing bahwa China siap dan bersedia untuk merebut tempat yang mereka pandang sebagai bagian dari wilayahnya.

Tetapi, latar belakang statis itu telah mencapai tingkat yang sulit untuk diabaikan baru-baru ini, dengan jet tempur China sekarang menyeberang ke zona pertahanan Taiwan pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.

China marah pada Taiwan dan bertindak semakin brutal

 Lalu, Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) merilis propaganda yang mensimulasikan invasi Taiwan, bahkan serangan terhadap pangkalan Amerika Serikat di Guam.

Sejak pertengahan 1990-an, ketika China menembakkan rudal ke Selat Taiwan pada saat-saat ketegangan yang meningkat, suara "pedang" itu sekarang kembali terdengar begitu keras.

Duduk di bawah paviliun di National Quemoy University di Kinmen, mahasiswa baru Wang Jui-sheng mengatakan, ia merasa lebih dari sedikit gelisah.

"China marah pada Taiwan dan bertindak semakin brutal," katanya kepada AFP seperti dilansir Channel News Asia

"Saya khawatir tentang kemungkinan konflik militer antara kedua belah pihak, bahkan mungkin dalam waktu dekat," ujar dia.

Kinmen yang berpenduduk 140.000 jiwa terletak hanya 3,2 km dari China daratan dan dikuasai pasukan Nasionalis pada akhir perang saudara pada 1949 yang membentuk China dan Taiwan.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved