Sepi Terimbas Pandemi, Ini Cerita Rani Tukang Tambal Ban Wanita yang Rindu Pelanggan 

Puluhan tahun menjalani hidup sebagai tukang tambal ban, rupanya ia justru mengaku rindu berkutat dengan ban kendaraan

Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Erik Sinaga
TribunJakarta/Nur Indah Farrah Audina
Rani, tukang tambal ban di Jalan Tegalan, Matraman, Jakarta Timur, Kamis (19/11/2020) 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina

TRIBUNJAKARTA.COM, MATRAMAN - Sepi pelanggan, Rani (55) rindu menambal ban kendaraan.

Itulah hal yang bisa menggambarkan kondisi Rani, ibu tiga anak asal Cipinang, Jakarta Timur.

Puluhan tahun menjalani hidup sebagai tukang tambal ban, rupanya ia justru mengaku rindu berkutat dengan ban kendaraan, baik sepeda motor maupun sepeda.

Ya, imbas pandemi tambal ban miliknya yang berada di Jalan Tegalan, Matraman, Jakarta Timur kerap kali sepi.

Terkadang dalam satu hari tak ada satu pun yang menambal ban.

"Ya sebebarnya kalau ban bocor enggak tergantung pandemi. Tapi imbasnya terasa juga jadi sepi," katanya kepada TribunJakarta.com, Kamis (19/11/2020).

Dalam satu hari ia bisa menerima lebih banyak pengendara yang mengisi angin ketimbang menambal ban.

Padahal, secara besaran rupiah sangat jauh berbeda.

Untuk tambal ban ia mengenakan biaya Rp 15 ribu perlubangnya. Sedangkan untuk isi angin kendaraan hanya Rp 1 ribu sampai Rp 2 ribu saja.

"Sehari tuh biasanya cuma satu pelanggan aja. Makanya benaran rindu pas congkel ban luar yang biasanya keras itu," jelasnya.

25 tahun jadi tukang tambal ban

Meski bukan pekerjaan ringan dan dominan dilakukan para pria, nyatanya pekerjaan tambal ban juga digeluti oleh wanita.

Rani misalnya. Sedari 25 tahun lalu, ibu beranak tiga ini menghabiskan waktunya di bengkel sederhana yang ia buat di pinggir rel, yang berada di Jalan Tegalan, Matraman, Jakarta Timur.

Puluhan tahun di sana, nama Rani seolah tersohor di lingkungan sekitar.

Rani menceritakan dulunya ia hanyalah Ibu Rumah Tangga (IRT) biasa, layaknya perempuan usai menikah dan memiliki anak.

Naas, suaminya sakit diabetes dan gerak tubuhnya menjadi terbatas.

Padahal, hanya tambal ban sajalah yang menjadi sumber mata pencaharian keluarganya.

Setelah memutar otak dan mencari solusi bersama, Rani nekat mrnggantikan posisi sang suami dan menjadi tukang tambal ban hingga saat ini.

"Kalau tambal ban sudah ada dari 34 tahun lalu. Memang lokasinya ada di sini. Kemudian bapak sakit gula, saya yang gantikan. Kalau enggak begitu kan anak-anak enggak bisa lanjutin sekolah. Makan pun sulit," jelasnya.

Sejak pukul 07.00 WIB, Rani sudah bergegas menuju bengkel sederhananya menggunakan sepeda motor dari kediamannya di Cipinang.

Sementara suaminya menjaga ketiga buah hati mereka yang saat itu masih duduk dibangku Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

"Mulanya ya enggak enak, dari kecil sampai tua berjuang terus. Tapi lama-lama justru menikmati pekerjaan," sambungnya.

Secara pendapatan, Rani menjelaskan tak banyak perubahan.

Sejak dahulu penghasilan sebagai tukang tambal ban selalu tidak menentu.

Semua tergantung pada rezeki yang ia dapat di hari itu.

Oleh karena itu, ia turut menyediakan jasa isi angin dengan bayaran Rp 1 ribu untuk sepeda dan Rp 2 ribu untuk sepeda motor.

"Kerja kayak gini intinya sama, pendapatan selalu enggak tentu. Makanya kita bisa beli beras dan lauk itu dari jasa isi angin yang biasanya lebih ramai," ungkapnya.

Meski begitu, semangatnya tak pernah padam. Ia tetap menjalani aktivitasnya dengan ikhlas dan berdoa ada rezeki baik datang kepadanya setiap hari.

Mengingat tugasnya sebagai seorang ibu, Rani selalu menutup bengkel sederhananya tiap sore menjelang malam.

Tak ingin mengabaikan sang anak adalah alasan kuat dirinya tak pernah membuka bengkel hingga larut.

Sehingga, berapapun yang ia dapatkan di hari itu, ia selalu mengucap syukur.

"Tapi berapapun hasil yang didapat, pas mau magrib saya tutup. Dari dulu selalu begitu. Jadi saya pulang ngajarin anak-anak. Tapi karena sekarang sudah pada besar dan berumah tangga, pas pulang bisa istirahat sebentar dulu," jelasnya.

Otodidak

Meski sudah puluhan tahun menjadi tambal ban, tahukah Anda bila Rani tak pernah belajar perihal tambal ban?.

Yap, Rani menceritakan semua kemampuannya ini ia dapat secara otodidak.

Berawal dari kerap mendampingi sang suami ke bengkel, ia mencoba memahami proses pebambalan ban motor maupun sepeda.

"Ini bisa dibilang modal nekat. Saya bisa juga karena lihat si bapak suka tambal ban aja. Terus saya praktekin," jelasnya.

Selama beberapa pekan ia mengambil alih tambal ban, dirinya sempat didampingi oleh sang suami.

Karena berjalannya tertatih, suaminya hanya duduk di kursi yang ada sambil mengarahkannya.

"Awalnya susah ya. Apalagi pas mencongkel ban luar itu buat ambil ban dalamnya, itu lumayan berat dan kadang keras. Awal-awal tuh merasa lelah banget padahal baru satu motor yang ditambal," ujarnya.

Meski keringatnya bercucuran, semangatnya masih menggebu.

Ketika ingin menyerah, Rani selalu memikirkan nasib keluarganya.

Sebagai penopang, ia harus kuat dan tetap bertahan, sampai akhirnya ia mulai terbiasa.

Baca juga: Mendagri Ancam Copot Kepala Daerah Abai Protokol Kesehatan, Wagub DKI: Kami Patuh

Baca juga: 25 Tahun Jadi Tukang Tambal Ban, Ini Cerita Rani Terpaksa Gantikan Posisi Suami

Baca juga: Ayah Montir Tambal Ban & Ibu Jual Gorengan, Mahasiswa UIN Jakarta Ini Bongkar Celengan Demi Kuliah

"Seiring berjalannya waktu akhirnya mulai terbiasa dan justru jadi betah ngelakonin kerjaan begini. Makanya pas pandemi sepi yang tambal ban, malah suka kangen. Kayak bawaannya mau ngotak-ngatik ban aja gitu," tandasnya.

Biasanya, untuk satu harinya Rani bisa mengantongi uang sebesar Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu.

Sayangnya, selama pandemi ia hanya mengantongi Rp 50 ribu sampai Rp 75 ribu perharinya.

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved