Kisah Mursih dan Narun Tinggal di Rumah Reyot, Menderita Sakit Keras hingga Tak Tersentuh Bantuan

Mursih tengah menjalani masa pemulihan dari kanker payudara, sedangkan Narun masih mengidap infeksi paru-paru.

Penulis: Jaisy Rahman Tohir | Editor: Muhammad Zulfikar
TribunJakarta.com/Jaisy Rahman Tohir
Kediaman Mursih dan Narun di bilangan RT 5 RW 6, Cempaka Putih, Ciputat Timur, Tangsel, Sabtu (19/12/2020). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com Jaisy Rahman Tohir

TRIBUNJAKARTA.COM, CIPUTAT TIMUR - Di Sudut Ciputat Timur, Kecamatan yang menjadi perbatasan antara Tangerang Selatan (Tangsel) tangan Ibu Kota DKI Jakarta, hidup sepasang suami istri yang sama-sama mengidap penyakit dalam.

Tepatnya di bilangan RT 5 RW 6, Kelurahan Cempaka Putih, berada di ujung gang, berbatasan langsung dengan dinding rumah mewah, di situ tinggal Mursih Susanti (41) dengan suaminya, Narun (44).

Mursih tengah menjalani masa pemulihan dari kanker payudara, sedangkan Narun masih mengidap infeksi paru-paru.

Alasnya hanya berlapiskan semen, sementara dindingnya merupakan susunan beberapa triplek.

Beratap asbes tanpa langit-langit, kerangka atap hanya disangga bambu tipis. Kondisi tersebut membuat rumah semi permanen Mursih dan Narun ringkih.

Setiap hujan, asbes dan rangka atap seperti tidak berfungsi, air tetap mengalir ke dalam rumah karena banyak bagian yang bocor.

Mursih yang sudah lebih prima kondisi kesehatannya, akan membawa suaminya untuk mengungsi ke rumah saudara yang letaknya lebih tinggi.

Bahkan hampir dipastikan, rumah reyot yang lokasinya terpencil itu terendam banjir setiap hujan deras turun.

Sejak 1999, Mursih dan Narun tinggal di rumah reot berukuran sekira 50 meter persegi itu.

"Ini kalau setiap hujan tenggelam," ujar Mursih, di rumahny, Sabtu (19/12/2020).

Mursih berjuang hidup dari hasil kepiawaiannya memasak dengan porsi besar. Jasanya biasa disewa untuk memasak pada acara hajatan.

Namun tentu saja, panggilan kerjaan tidak datang setiap hari.

"Ya kalau ada nikahan, sunatan, saya biasa dipanggil masak," ujarnya. 

Sementara, sang suami kini bekerja ronda malam setiap hari.

Dengan kondisi mengidap infeksi paru-paru, Narun harus keluar pada malam hari menjaga keamanan satu lingkungan RT.

Gaji Rp 700 ribu per bulan, hanya bisa memenuhi biaya pengobatannya.

Narun harus mengonsumsi obat setiap hari demi menjaga agar penyakitnya tidak semakin parah.

"Ya mau gimana, Alhamdulillah ada kerjaan ronda setiap malam, dibayar Rp 600 ribu, ditambah Rp 100 ribu jadi Rp 700 ribu," katanya.

Beruntung, saat ini, keperluan makan sehari-hari, diberikan anaknya yang sudah menikah.

"Sampai sekarang dari anak kalau makan," ujarnya.

Baca juga: Dua Laga Tanpa Ibrahimovic, AC Milan Sulit Raih Kemenangan di Liga Italia

Baca juga: The Jakmania Ulang Tahun, Anies Baswedan Puji Kontribusi Nyata Suporter Setia Persija Jakarta

Baca juga: Promo Giant di Akhir Pekan 18-23 Desember 2020, Beragam Produk Diskon Nugget Hingga Ayam

Dua anak Mursih sudah besar. Anak pertamanya, laki-laki, sudah lulus SMA tinggal di Solo bersama neneknya.

Sedangkan anak kedunya, perempuan, sudah menikah dan tinggal bersama suaminya.

Nahasnya, kondisi miskin tersebut seolah seperti dibiarkan oleh aparat pemerintahan di wilayahnya.

Mursih mengaku tidak terdaftar pada program penerima bantuan sosial di Tangsel.

Bahkan ketika sedang ramai distribusi bantuan sosial terkait Covid-19, ia harus meminta terlebih dahulu untuk bisa menerima.

"Enggak, bantuan, PKH atau apa gitu enggak pernah. Kalau yang Covid-19 saya minta dulu waktu itu baru dapat," ujarnya. 

Bahkan, Mursih mengatakan, dirinya pernah sempat viral di media sosial hingga sejumlah bantuan datang.

Namun, mursih justru diomeli oleh Ketua RT, RW hingga Lurah setempat karena dianggap membuat malu wilayah.

Air matanya mulai turun ketika bercerita. Ia tidak ingin mengemis seperti anggapan para kepanjangan tangan pemerintah kota itu.

"Saya malah diomelin, katanya bikin malu wilayah. Makanya kalau ada orang datang nanya-nanya jangan mau. Entar nih habis Mas nanya-nanya saya bisa diomelin lagi," ujarnya.

Dengan kondisi tersebut, Mursih tetap tegar. Satu hal yang ia sangat syukuri adalah mampu menyekolahkan kedua anaknya meski dengan banting tulang dan memeras keringat.

Mursih dan Narun berharap bisa mendapat bantuan pemerintah, tanpa harus menyakiti hatinya.

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved