Sisi Lain Metropolitan
Kisah Hidup Perempuan di Kampung Pemulung Pondok Labu: Gali Lobang Tutup Lobang
Menjadi pemulung merupakan cara mereka bertahan hidup meski pendapatannya dari hasil mengangkuti sampah yang teronggok di kota tak menentu.
Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Erik Sinaga
"Menimbangnya tiga minggu sekali, dua orang nyari sampah biasanya dapat Rp 2 juta," lanjutnya.
Pemulung lainnya, Rosita (55) juga menjual sampahnya bukan kepada Rubiyo.
Setiap memulung, ia langsung menimbang di pelapak lain.
"Sekali nimbang paling dapatnya Rp 20 ribu kadang Rp 15 ribu," ungkapnya.
Dalam sebulan, Rosita mendapatkan uang sekira Rp 300 ribu. Ia membayar kontrakan seharga Rp 150 ribu per bulan ditambah biaya listrik sesuai pemakaian.
Baca juga: Borong 2 Gol Saat AC Milan Kalahkan Cagliari, Zlatan Ibrahimovic Dimotivasi Para Pemain Muda
Baca juga: Buat Roti Isi Cokelat Sendiri Tanpa Oven dan Mixer: Cocok Untuk Temani Santai Sambil Ngopi di Rumah
"Sayangnya kalau hujan di sini banjir," ujarnya.
Meski pemulung dipandang sebelah mata, mereka menanggalkan rasa gengsinya demi sesuap nasi.
Yang terpenting, mereka masih bisa bertahan hidup meski pendapatannya pas-pasan.
Seperti tulisan yang berada di gerobak milik Sugeng "Ora mulung, ora mangan, Bro."