Pesawat Sriwijaya Air Jatuh
Terkuak Beda Korban Jatuhnya Sriwijaya Air dengan Pesawat Lain di Tanah Air, Pengakuan dr. Sumy
Ahli forensik Kombes Sumy Hastry Purwanti, akrab disapa dokter Hastry, mengungkap beda kecelakaan Sriwijaya Air SJ-182 dengan pesawat lain.
Penulis: Ferdinand Waskita Suryacahya | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Ahli forensik Kombes Dr. dr. Sumy Hastry Purwanti, DFM., SpF mengungkap beda kecelakaan Sriwijaya Air SJ-182 dengan pesawat lain di Indonesia.
Perbedaan itu kemudian berdampak pada korban kecelakaan pesawat yang selama ini ia terjun untuk mengautopsinya.
Kisah dokter Hastry soal penyebab korban terbagi menjadi beberapa bagian dibagikan kepada mentalis Denny Darko dikutip pada Senin (1/2/2021).
Dokter Hastry mengatakan, identifikasi korban Sriwijaya Air SJ-182 yang jatuh di Pulau Laki, Kepulauan Seribu, berbeda dengan kecelakaan pesawat lainnya di Indonesia.
Sebut saja di antaranya jatuhnya pesawat Suhkoi Superjet 100 yang menabrak Gunung Salak dan AirAsia yang jatuh di Laut Jawa.
• Sosok dr. Sumy Hastry Ahli Forensik yang Diakui Dunia, Tangani Sriwijaya Air dan Deretan Kasus Lain
"Kita mengikuti kecelakaan pesawat terbang di Indonesia. Ini (Sriwijaya Air) yang crash banget, hancur, karena kecepatan jatuh dengan cepat tinggi dan berbentur air jadi bisa patah berkeping-keping pesawatnya termasuk manusianya di dalam," kata dokter Hastry.
Hal itu berbeda dengan korban pesawat Sukhoi yang menabrak Gunung Salak
"Yang depan hancur, yang belakang kan tidak," katanya di RS Polri Kramat Jati.

Kemudian, kecelakaan Sriwijaya Air SJ-182 rute Jakarta-Pontianak juga berbeda dengan peristiwa pesawat AirAsia yang jatuh di Laut Jawa.
Menurut pengakuannya, Dokter Hastry dalam kasus AirAsia masih menemukan tubuh korban yang utuh.
• Seorang Nenek Nekat Nyopet di Pasar Demi Beli Makan, Pelaku Berlinang Air Mata Ucap Ini ke Polisi
• Sosok Kecil di Ruang Autopsi, Cerita Dokter Forensik Ungkap Kasus Istri Hamil Tua Dibunuh Suami Siri
• Didatangi Anak di Mimpi, Suara Ayah Grislend Pramugari Korban Sriwijaya Air Bergetar: Dia Diam Saja
"AirAsia jatuh dan pelan-pelan tenggelam jadi banyak yang meninggal karena air," imbuh Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Prof. Awaloeddin Djamin Semarang ini.
"Pelan-pelan yang menghantam bagian depan bisa hancur, tapi belakang dan tengah tenggelam. Kalau ini (Sriwijaya Air) crash berkeping-keping," tuturnya.
Ia lalu menjelaskan operasi DVI dalam jatuhnya Sriwijaya Air SJ-182 yang terbagi dalam empat fase.
• Polisi yang Tembak Mati Buronan Judi Dipidanakan, Kuasa Hukum: Dilakukan di Depan Anak Istri
Pertama TKP di Pulau Laki, Kepulauan Seribu, lalu fase postmortem, antemortem dan terakhir fase rekonsiliasi.
Tiga fase terakhir berlangsung di Rumah Sakit Polri Kramat Jati.

Tim postmortem mencari dan memeriksa data korban setelah meninggal dunia.
"Meskipun yang ditemukan bagian tubuh. Sekecil apapun body parts kita periksa, di sini banyak ahli," imbuh wanita satu-satunya dari Asia yang bergeral doktor forensik ini.
Dokter Hastry menegaskan, tim tak menemukan luka bakar di body parts korban Sriwijaya Air SJ-182.
"Death body can talk (bagian tubuh pun bisa berbicara), kalau dia memang karena crash air laut," jelas dokter Hastry.
Tak hanya itu, ia bahkan mengidentifikasi tulang berdasarkan usia manusia, apakah balita atau dewasa.
"Kita cari ciri khasnya masing-masing. Dari situ kita identifikasi," lanjut dia.
Dikatakan dokter Hastry, semua body parts yang ditemukan itu lalu diambil DNA untuk memastikan memang korban Sriwijaya Air SJ-182.
Makanya, menurut dia, tim harus mengenali celana yang dipakai, jam tangan dan sebagainya.
• Terungkap, Motif Youtuber Rian Siksa 3 Monyet Liar, Demi Popularitas dan Tambah Subscriber
"Teman-teman antemortem harus cerita ke kita tentang detail barang yang dipakai (korban, red)," beber dokter Hastry.
SIMAK SELENGKAPNYA DISINI
Tangani Berbagai Kasus
Jam terbang dokter Hastri sebagai ahli forensik tak perlu diragukan. Ia kerap menangani sejumlah kasus besar.
Berbagai kasus besar pernah ditangani sejak Hastry masih menempuh pendidikan sebagai dokter spesialis forensik di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
Kasus-kasus itu antara lain Bom Bali I (2002), bom Hotel JW Marriott (2003), bom di Kedutaan Besar Australia, bencana alam tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (2004), kecelakaan pesawat Mandala di Medan (2005), Bom Bali II (2005), serta kecelakaan pesawat Sukhoi (2012).
Kepiawaiannya mengungkap identitas jenazah yang sulit teridentifikasi pun membuat namanya cukup diperhitungkan di dunia.
Bahkan, ketika peristiwa kecelakaan pesawat Malaysia Airlines MH17 di Ukraina beberapa waktu lalu, dia sempat dipanggil ke Belanda untuk membantu proses identifikasi tersebut.
"Enggak diseganilah. Kebetulan kan kerja di kepolisian dan memiliki keahlian. Jadinya sering diminta bantuan kalau ada kejadian di dalam dan luar negeri," kata dia merendah.
Dokter Hastry mengungkapkan, menjadi dokter forensik merupakan profesi sangat menantang.
• Remaja Kena Luka Bacok saat Nonton Balap Liar di Kemayoran, Polisi: Bukan Geng Motor
Layaknya polisi yang mengungkap sebuah kasus kejahatan, tak jarang dokter forensik harus dihadapkan pada realita bahwa jenazah yang dihadapinya tidak utuh.
Dengan demikian, mereka harus menyusun satu per satu bagian tubuh jenazah dan mencocokkannya dengan data antemortem dan postmortem sebelum menentukan identitas jenazah.

"Saya ini enggak mikir mau perempuan atau laki-laki. Begitu kali pertama kerja dan ke TKP (tempat kejadian perkara) lalu kasus terungkap, itu senang banget," ujarnya.
Menurut dokter Hastry, ada beban mental yang dihadapi oleh seorang dokter forensik.
Ia bercerita ketika sebuah kecelakaan atau bencana besar terjadi, keluarga korban pasti akan menunggu dengan cemas kepastian nasib keluarganya yang menjadi korban.
Setidaknya, jika memang keluarga mereka meninggal dunia, jenazah dapat teridentifikasi dan segera dikembalikan ke keluarga untuk dimakamkan.
"Kasihan kalau tidak teridentifikasi, ini jadi beban juga buat kami. Kita berharap proses identifikasi bisa cepat selesai dan segera disemayamkan," katanya.
Keluarga Jadi Vitamin
Dokter Hastry sempat menceritakan dirinya mempersiapkan diri, jika sewaktu-waktu akan diterjunkan DVI untuk membantu proses identifikasi jenazah saat AirAsia QZ8501 dikabarkan hilang.
Ia sadar bahwa peristiwa hilangnya pesawat itu berdekatan dengan malam pergantian tahun baru, sebuah malam yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga.
• Update Ruang Isolasi Covid-19 di Kota Bekasi, Senin 1 Februari 2021 Tersisa 248 Tempat Tidur
Kendati demikian, ia mengungkapkan, keluarganya sudah cukup memahami profesinya sebagai dokter forensik yang bekerja di kepolisian.
Ada keluarga lain yang membutuhkan bantuannya dalam mengidentifikasi jenazah keluarga mereka. "Anak dan suami saya sudah tahu bahwa ibunya harus berangkat," ceritanya.
Bagi Hastry, keluarga adalah "vitamin" penyemangat hidup.
Untuk itu, ketika ia harus bekerja dalam waktu lama, baik itu di luar kota maupun di luar negeri, komunikasi dengan keluarga menjadi "vitamin" yang cukup manjur untuk mengobati rasa rindu.
"Biasanya kalau pagi sebelum kerja atau malam sesudah kerja itu saya telepon. Mereka tahu, kalau sudah bekerja, biasanya ibunya susah dihubungi," katanya.
Artikel ini sebagain telah tayang di Kompas.com dengan judul Mengenal Srikandi Forensik Indonesia yang Disegani di Mancanegara