Oknum Perangkat Desa Tilep Uang Bansos Covid-19 Rp 54 Juta, Libatkan Sejumlah Joki

Oknum perangkat desa bawa kabur uang bantuan sosial tunai (BST) Kementerian Sosial untuk warga terdampak Covid-19 sebesar Rp 54 juta.

Editor: Elga H Putra
Shutterstock via Kompas
Ilustrasi uang. Oknum perangkat desa bawa kabur uang bantuan sosial tunai (BST) Kementerian Sosial untuk warga terdampak Covid-19 sebesar Rp 54 juta. 

Setelah mencairkan dana BST, satu joki mendapatkan upah Rp 250.000.

"NIKnya itu asli, terdaftar, tapi (pengambilannya) atas nama orang lain. Kan pada saat (pencairan) di kantor pos mereka hanya menunjukan surat undangan saja, lalu di-scan barkot gitu. Jadi enggak perlu lagi KTP karena kan mereka percaya itu sudah diurus orang desa," ucapnya.

"Nah, kantor pos ini percaya saja orang yang menerima bansos sudah sesuai, sudah terverifikasi oleh kasi pelayanan desa ini, maka akhirnya langsung dicairkan," imbuh dia.

Baca juga: Sejumlah Perumahan di Kota Bekasi Terendam Banjir Akibat Hujan Deras: Ini Lokasinya

Baca juga: Tokoh Konghucu di Jakarta Barat Sudah Dua Tahun Diteror Pesan dan Gambar Porno

Baca juga: Pemkot Jakarta Pusat Pasang Bendera Kuning Khas Orang Meninggal di Kwitang, Ini Maksudnya

Dana Rp 54 juta dibawa oleh Sekdes

Harun mengatakan saat ditangkap, LH mengaku uang Rp 54 juta disetorkan pada sekretarus desa (Sekdes) Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin.

Harun juga memastikan saat ini uang tersebut masih di tangan sekdes yang saat ini dalam pengejaran.
"Jadi selebihnya uang digunakan oleh tersangka. Kasi pelayanan di Desa Cipinang ini meraup total uang Rp 54 juta dari setiap penerima bansos sebesar Rp 1,8 juta yang direkap pencairannya itu," kata dia.

"Uang (Rp 54 juta) itu enggak sempat dibelikan dalam bentuk barang mewah, tapi dia serahin ke sekdes dan sampai saat ini sekdes itu DPO, masih dalam pengejaran kita," imbuh dia.

Dari tangan LH, polisi mengamankan barang bukti berupa 1 lembar kuitansi, 1 unit ponsel dan 27 lembar surat undangan penerima bantuan sosial tunai.
Tersangka dikenai Pasal 43 ayat (1) UU RI Nomor 13 Tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin, di mana setiap orang yang menyalahgunakan dana penanganan fakir miskin, dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Bansos Covid-19 Tidak tepat sasaran dan data bermasalah

Sementara itu, Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kabupaten Bogor mengatakan sejak awal pendataan calon penerima bansos sangat bermasalah.

Hal tersebut menjadi celah oknum di kantor desa untuk menyalahgunakan wewenang kekuasaan dalam pendataan hingga pencairan bansos.

Di sisi lain, mereka juga kerap menjadi bulan-bulanan warga yang selama ini membutuhkan bantuan tersebut.

"Salah satu peluang untuk korupsi inikan karena pendataan bansos sudah buruk sejak awal ada pandemi," kata Bagian Bidang Pelatihan dan Pendidikan Apdesi Kabupaten Bogor, Lukmanul Hakim saat dihubungi Kompas.com, Selasa (16/2/2021).
Karena itu, ia meminta pendataan dan penyaluran bansos harus segera diperbaiki sebelum didistribusikan.

Menurutnya, kasus yang menjerat perangkat desa di Kabupaten Bogor harus dilihat secara integral dan tidak hanya pada satu sisi, Lukmanul Hakim mengatakan masalah itu berurutan dari sejak awal pendataan yang tidak tepat sasaran.

"Sejak awal kami sudah menyalahkan terkait pendataan bansos Kemensos. Di situ kan datanya pakai yang lama, ada yang meninggal masih dipakai, kemudian ada yang ekonominya meningkat tapi masih dapat pemberian bansos, dan itu tidak boleh diganti gitu, kan aneh," ungkapnya.

"Itu yang jadi catatan kami sejak awal. Mestinyakan data bansos tidak statis tapi harus dinamis, data bansos itu harus update terus sehingga tidak ada lagi peluang-peluang tadi," imbuh dia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Duplikasi Data Orang Meninggal untuk Dapat Bansos Covid-19, Perangkat Desa Jadi Tersangka, Ini Ceritanya"

Sumber: Kompas.com
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved