Oknum Perangkat Desa Tilep Uang Bansos Covid-19 Rp 54 Juta, Libatkan Sejumlah Joki
Oknum perangkat desa bawa kabur uang bantuan sosial tunai (BST) Kementerian Sosial untuk warga terdampak Covid-19 sebesar Rp 54 juta.
TRIBUNJAKARTA.COM, BOGOR - Oknum perangkat desa bawa kabur uang bantuan sosial tunai (BST) Kementerian Sosial untuk warga terdampak Covid-19 sebesar Rp 54 juta.
Modusnya, pelaku menduplikasi data nama dari Nomor Induk Kependudukan (NIK) calon penerima bansos yang sudah meninggal dunia dan pindah alamat.
Peristiwa itu dilakukan oleh LH (32) seorang Kasi Pelayanan Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Saat ini oknum yang bersangkutan sudah diamankan polisi.
Total ada 30 data orang yang diduplikasi oleh LH dari total 855 warga penerima BST di Desa Desa Cipinang.
Perangkat desa ini tak bekerja sendiri.
Ia melibatkan 15 orang dari kampung tetangga.
Belasan orang tersebut mencairkan dana BST di kantor pos pada Senin, 20 Juli 2020.
Kapolres Bogor AKBP Harun mengatakan bahwa bansos yang diselewengkan adalah untuk penanganan Covid-19 yang bersumber dari Kemensos sebesar Rp 600.000.
BST tersebut diberikan dalam kurun waktu tiga bulan yakni April, Mei, Juni 2020.
Baca juga: Ramalan Zodiak Keuangan Jumat 19 Februari 2021, Zodiak Ini Diminta Hindari Pengeluaran Demi Gengsi
Baca juga: Waspada Demam Berdarah, Yuk Cek Tips agar Rumah Bebas dari Nyamuk saat Musim Hujan
Baca juga: Ungkap Kasus Prostitusi Anak di Bawah Umur, Polsek Tanjung Priok Dapat Penghargaan dari LPAI
Saat pencairan di Kantor Pos Cicangkal, Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, satu orang menerima mendapatkan Rp 1,8 juta.
"Jadi ada 30 nama yang bermasalah (digandakan) di antaranya 7 nama seperti Aman Bin Arsa diganti Saman Bin Arsa, alamatnya sama namun bedanya di NIK, kita sebut sebagai orang yang ganda."
"Kemudian ada 2 orang meninggal dunia dalam 30 nama tersebut. Selanjutnya 2 orang yang sudah dapat bantuan PKH dan lainnya ada 19 orang pindah alamat," ungkap Harun.
Kapolres Bogor mengatakan masing-masing joki bertugas untuk mewakili 2 orang dengan dua kali pengambilan.
Padahal seharusnya warga yang mengambil bantuan sesuai dengan data dari Kemensos.
Setelah mencairkan dana BST, satu joki mendapatkan upah Rp 250.000.
"NIKnya itu asli, terdaftar, tapi (pengambilannya) atas nama orang lain. Kan pada saat (pencairan) di kantor pos mereka hanya menunjukan surat undangan saja, lalu di-scan barkot gitu. Jadi enggak perlu lagi KTP karena kan mereka percaya itu sudah diurus orang desa," ucapnya.
"Nah, kantor pos ini percaya saja orang yang menerima bansos sudah sesuai, sudah terverifikasi oleh kasi pelayanan desa ini, maka akhirnya langsung dicairkan," imbuh dia.
Baca juga: Sejumlah Perumahan di Kota Bekasi Terendam Banjir Akibat Hujan Deras: Ini Lokasinya
Baca juga: Tokoh Konghucu di Jakarta Barat Sudah Dua Tahun Diteror Pesan dan Gambar Porno
Baca juga: Pemkot Jakarta Pusat Pasang Bendera Kuning Khas Orang Meninggal di Kwitang, Ini Maksudnya
Dana Rp 54 juta dibawa oleh Sekdes
Harun mengatakan saat ditangkap, LH mengaku uang Rp 54 juta disetorkan pada sekretarus desa (Sekdes) Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin.
Harun juga memastikan saat ini uang tersebut masih di tangan sekdes yang saat ini dalam pengejaran.
"Jadi selebihnya uang digunakan oleh tersangka. Kasi pelayanan di Desa Cipinang ini meraup total uang Rp 54 juta dari setiap penerima bansos sebesar Rp 1,8 juta yang direkap pencairannya itu," kata dia.
"Uang (Rp 54 juta) itu enggak sempat dibelikan dalam bentuk barang mewah, tapi dia serahin ke sekdes dan sampai saat ini sekdes itu DPO, masih dalam pengejaran kita," imbuh dia.
Dari tangan LH, polisi mengamankan barang bukti berupa 1 lembar kuitansi, 1 unit ponsel dan 27 lembar surat undangan penerima bantuan sosial tunai.
Tersangka dikenai Pasal 43 ayat (1) UU RI Nomor 13 Tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin, di mana setiap orang yang menyalahgunakan dana penanganan fakir miskin, dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Bansos Covid-19 Tidak tepat sasaran dan data bermasalah
Sementara itu, Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kabupaten Bogor mengatakan sejak awal pendataan calon penerima bansos sangat bermasalah.
Hal tersebut menjadi celah oknum di kantor desa untuk menyalahgunakan wewenang kekuasaan dalam pendataan hingga pencairan bansos.
Di sisi lain, mereka juga kerap menjadi bulan-bulanan warga yang selama ini membutuhkan bantuan tersebut.
"Salah satu peluang untuk korupsi inikan karena pendataan bansos sudah buruk sejak awal ada pandemi," kata Bagian Bidang Pelatihan dan Pendidikan Apdesi Kabupaten Bogor, Lukmanul Hakim saat dihubungi Kompas.com, Selasa (16/2/2021).
Karena itu, ia meminta pendataan dan penyaluran bansos harus segera diperbaiki sebelum didistribusikan.
Menurutnya, kasus yang menjerat perangkat desa di Kabupaten Bogor harus dilihat secara integral dan tidak hanya pada satu sisi, Lukmanul Hakim mengatakan masalah itu berurutan dari sejak awal pendataan yang tidak tepat sasaran.
"Sejak awal kami sudah menyalahkan terkait pendataan bansos Kemensos. Di situ kan datanya pakai yang lama, ada yang meninggal masih dipakai, kemudian ada yang ekonominya meningkat tapi masih dapat pemberian bansos, dan itu tidak boleh diganti gitu, kan aneh," ungkapnya.
"Itu yang jadi catatan kami sejak awal. Mestinyakan data bansos tidak statis tapi harus dinamis, data bansos itu harus update terus sehingga tidak ada lagi peluang-peluang tadi," imbuh dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Duplikasi Data Orang Meninggal untuk Dapat Bansos Covid-19, Perangkat Desa Jadi Tersangka, Ini Ceritanya"