Kisah Dokter Hastry Takut Awal Masuk Tim Eksekusi Mati di Nusakambangan: Yang Tak Tampak Ikut Nonton

Ahli forensik dr. Sumy Hastry Purwanti atau akrab disapa dr Hastry takut dan khawatir saat pertama kali masuk tim eksekusi mati di Nusakambangan.

TRIBUN JATENG/MUH RADLIS
Kepala Sub Bidang Kedokteran dan Kepolisian Polda Jawa Tengah, AKBP Sumy Hastry Purwanti, saat ditemui di ruangan kerjanya di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jateng, Semarang, Selasa (30/8/2016). Ahli forensik dr. Sumy Hastry Purwanti atau akrab disapa dr Hastry takut dan khawatir saat pertama kali masuk tim eksekusi mati di Nusakambangan. 

Pada eksekusi mati Jilid III, Sumy membantu divisi forensik. Kala itu sudah ada anggota wanita polisi lain yang lebih banyak terlibat. Mereka yang dieksekusi adalah Humphrey Ejike alias Doctor (Nigeria), Seck Osmane (Senegal), Michael Titus Igweh (Nigeria), dan Freddy Budiman (Indonesia).

Setelah kematian Freddy, muncul kabar tak sedap ada oknum petinggi BNN, Polri dan TNI, menerima uang haram Freddy hasil penjualan narkotika. Nyanyian Freddy menjadi perhatian Presiden Jokowi dan meminta semua lembaga terkait untuk mengusut siapa orang yang dimaksud dalam nyanyian Freddy lewat tulisan Koordinator KontraS Haris Azhar.

Sumy kini berpangkat AKBP. Kepala Sub Bidang Kedokteran Kepolisian Polda Jateng itu semringah selama obrolan.

Ia satu-satunya wanita polisi yang berhasil menggondol gelar doktor forensik di Asia. Gelar yang cukup prestisus karena tak semua polisi mau ambil.

Bukan main senangnya ibu dua anak yang akrab disapa Hastry ini bakal diwisuda untuk meraih gelar doktor forensik pada 24 September 2016, terpaut 23 hari setelah HUT ke-67 Polwan yang jatuh tiap 1 September. Wisudanya tentu sebagai kado terindah untuk institusinya.

Kebahagiaan bertambah, Hastry tak lama lagi menelurkan buku keempat berjudul, 'Kekerasan Perempuan dan Anak Dari Segi Ilmu Kedokteran Forensik.'

"Ini sedang menyusun buku keempat. Jadi ultah Polwan kali ini berasa spesial," beber Hastry.

Wanita kelahiran Jakarta, 23 Agustus 1970 ini, memiliki perhatian begitu besar terhadap perempuan dan anak korban kekerasan seksual. Kasus ini memiliki tingkat kesulitan untuk dipecahkan.

"Forensik itu tidak hanya memeriksa orang mati, tapi korban yang hidup juga," terang dia.

Kesulitan dalam kasus ini terutama keluarga dan korban kekerasan seksual, tidak segera melapor ke polisi. Sekali pun kasus itu sudah dilaporkan, korban enggan bercerita lepas kepada penyidik atas apa yang dialaminya.

Perannya di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak dalam kasus ini benar-benar diuji. Ia dan penyidik harus berlomba dengan waktu untuk membuat korban berbicara dan menceritakan rincian kejadian.

Semakin lama dibiarkan, bekas luka dan jejak kekerasan akan menghilang. Pada ujungnya, penyidik jatuh pada kesimpulan bekas luka di tubuh korban akibat benda tumpul, begitu kata dia.

Beberapa tahun lalu, ia pernah menangani kasus pembunuhan bocah perempuan usia enam tahun di Wonosobo. Leher korban dijerat lalu dinodai hingga meninggal oleh kakak tirinya.

Pelaku menyembunyikan jenazah korban lima hari di atas langit-langit rumah. Keluarga kebingungan mencari korban sampai akhirnya tercium bau busuk. Korban pun ditemukan.

"Kondisi di Wonosobo dingin, jenazah bisa dibilang masih bagus. Sehingga pemeriksaan jenazah korban tidak ada kendala. Cuaca juga mempengaruhi kondisi jenazah," ia menjelaskan.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved