Kisah Dokter Hastry Takut Awal Masuk Tim Eksekusi Mati di Nusakambangan: Yang Tak Tampak Ikut Nonton
Ahli forensik dr. Sumy Hastry Purwanti atau akrab disapa dr Hastry takut dan khawatir saat pertama kali masuk tim eksekusi mati di Nusakambangan.
Penulis: Ferdinand Waskita Suryacahya | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
Tak hanya kasus-kasus di daerah pelosok, kasus asusila yang melibatkan pesohor seperti artis dan pejabat pernah Hastry tangani. Soal yang satu ini susah-susah gampang, Hastry harus tebal telinga dan banyak bersabar karena pesohor dan pejabat merasa besar hati.
"Saya pernah dikata-katai, tapi itulah risikonya," Hastry mengenang.
Hastry harus mau berbagi dengan penyidik di satu ruangan menonton rekaman video mesum kasus asusila.
Hanya dengan menontonlah ia bisa tahu detail perbuatan untuk mencari seseorang diduga kuat pelakunya.
Hastry berharap keluarga, perempuan dan anak korban kekerasan seksual segera melapor jika mengalami kekerasan.
"Jangan ulur waktu, agar bisa segera diungkap," pesan dia.
Tonton Videonya
Sosok dr Hastry

Kombes Pol Sumy Hastry Purwanti merupakan ahli forensik yang cukup diperhitungkan dunia.
Laman Divisi Humas Polri juga menyebut Kombes Pol Sumy Hastry Purwanti merupakan Polwan Ahli Forensik pertama di Asia.
Selain itu, Kombes Sumy disebut berpengalaman mengidentifikasi korban, seperti korban pembunuhan, mutilasi, bom hingga jatuhnya pesawat.
Tangani Berbagai Kasus
Kepala Instalasi Forensik RS Polri Kramat Jati Kombes Sumy Hastry Purwanti saat memberi keterangan di Jakarta Timur, Kamis (6/2/2020) (TRIBUNJAKARTA.COM/BIMA PUTRA)
Kombes Pol Sumy Hastri Purwanti kerap menangani sejumlah kasus besar.
Dikutip dari Kompas.com, berbagai kasus besar pernah ditangani sejak ia masih menempuh pendidikan sebagai dokter spesialis forensik di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
Kasus-kasus itu antara lain Bom Bali I (2002), bom Hotel JW Marriott (2003), bom di Kedutaan Besar Australia, bencana alam tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (2004), kecelakaan pesawat Mandala di Medan (2005), Bom Bali II (2005), serta kecelakaan pesawat Sukhoi (2012).
Kepiawaiannya dalam mengungkap identitas jenazah yang sulit teridentifikasi pun membuat namanya cukup diperhitungkan di dunia.
Bahkan, ketika peristiwa kecelakaan pesawat Malaysia Airlines MH17 terjadi di Ukraina beberapa waktu lalu, dia sempat dipanggil ke Belanda untuk membantu proses identifikasi tersebut.
"Enggak diseganilah. Kebetulan kan kerja di kepolisian dan memiliki keahlian. Jadinya sering diminta bantuan kalau ada kejadian di dalam dan luar negeri," katanya.
Hastry mengungkapkan, menjadi dokter forensik merupakan profesi yang sangat menantang.
Layaknya seorang polisi yang mengungkap sebuah kasus kejahatan, tak jarang dokter forensik juga harus dihadapkan pada realita bahwa jenazah yang dihadapinya tidak utuh.
Dengan demikian, mereka harus menyusun satu per satu bagian tubuh jenazah dan mencocokkannya dengan data antemortem dan postmortem sebelum akhirnya menentukan identitas jenazah.
"Saya ini enggak mikir mau perempuan atau laki-laki. Begitu kali pertama kerja dan ke TKP (tempat kejadian perkara) lalu kasus terungkap, itu senang banget," ujarnya.
Menurut Hastry, ada beban mental yang dihadapi oleh seorang dokter forensik.
Ia bercerita, ketika sebuah kecelakaan atau bencana besar terjadi, keluarga korban pasti akan menunggu kepastian nasib keluarganya yang menjadi korban dengan harap-harap cemas.
Setidaknya, jika memang keluarga mereka meninggal dunia, jenazah dapat teridentifikasi dan segera dikembalikan ke keluarga untuk dimakamkan.
"Kasihan kalau tidak teridentifikasi, ini jadi beban juga buat kami. Kita berharap proses identifikasi bisa cepat selesai dan segera disemayamkan," katanya.