Dulu Jualan Es Mambo, Jusuf Hamka, Kini Jadi Pengusaha Tajir yang Kerjakan Proyek Bernilai Triliunan
Dulu Jualan Es Mambo, Jusuf Hamka, Kini Jadi Pengusaha Tajir yang Kerjakan Proyek Bernilai Triliunan
Penulis: Pebby Ade Liana | Editor: Erik Sinaga
Laporan wartawan TribunJakarta.com, Pebby Adhe Liana
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Jusuf Hamka, pengusaha berdarah Tionghoa yang juga bos besar pengelola jalan tol, begitu ia dikenal.
Duduk meleseh di atas lantai tanpa alas, mengajak kami bercengkrama.
"Kerja keras, jujur, amanah, dan jangan pernah kualat dengan bapak-ibumu, itu kunci sukses sesungguhnya," kata Jusuf, saat menikmati suasana siang hari di Masjid Babah Alun Desari bersama TribunJakarta.com.
Dikenal sebagai pengusaha kaya raya, namun kesederhanaan tampak terlihat jelas dari sosok seorang Jusuf Hamka.
Ada empat hal yang dipegang teguh oleh Jusuf sebagai kunci sukses hidupnya selama ini.
Kejujuran, kerja keras, kepercayaan, dan bakti kepada kedua orangtua. Hal ini yang kemudian membawa Jusuf Hamka pada nasib baik.
Siapa sangka, pria yang dahulu mengawali hidupnya sebagai 'anak jalanan' kini sukses menjadi pengusaha infrastruktur dengan proyek senilai triliunan.
"Saya lahir di Jakarta. Tapi besar di Samarinda. Saya anak Sungai Mahakam, jadi ya tidurnya di atas sungai Mahakam, di atas rakit. Jadi ada duit jangan sombong, gak ada duit ya jangan nyolong," tuturnya.
Jauh sebelum menjadi pengusaha sukses, Jusuf hanyalah seorang anak biasa yang hidup penuh kesederhanaan.
Di usianya yang sekitar 10 tahun, ia pernah berjualan es mambo di sekitar Masjid Istiqlal Jakarta.
Kala itu, kata Jusuf pembelinya rata-rata adalah jemaah Istiqlal. Ia sering kali menerima lebihan uang hasil pembelian es mambo dari para jamaah.
"Dulu saya hidup karena ditolongin orang, dari sedekah orang. Jadi saya jual es mambo. Temen temen saya, dulu omzetnya misalnya Rp 100 ribu, saya pulang bisa bawa Rp 130 ribu. Karena apa? Orang tuh duit lebihannya 'udah ambil deh', mereka sedekah, mereka kasih infaq ke saya, gitu,"
"Jadi hidup saya, uang jajan saya, rata-rata itu. Begitu pulang jualan, saya traktir temen saya karena saya dapat bantuan itu. Itu saya masih 10 tahun," ceritanya.
Di sekitar tahun 1974, Jusuf juga pernah bekerja untuk sebuah usaha kayu di Samarinda. Kala itu, ia juga tinggal dan tidur di atas rakit.