Siti Nuraida Remaja Asal Pandeglang yang Tinggal Tanpa Orangtua, Berharap Bisa Bertemu Kakaknya
Kisah Nuraida belakangan ini menyita perhatian banyak orang karena tinggal di gubuk reyot bersama keponakannya yang berusia 8 tahun tanpa orangtua.
TRIBUNJAKARTA.COM - "Saya hanya meminta kepada Allah SWT agar lebaran nanti bisa kumpul bareng sama kakak saya yang berada di Jakarta," kata Siti Nuraida, gadis 16 tahun asal Kampung Cimanggu RT 02/01, Desa Cimanggu, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Senin (12/4/2021).
Kisah Nuraida belakangan ini menyita perhatian banyak orang karena tinggal di gubuk reyot bersama keponakannya yang berusia 8 tahun tanpa orangtua.
Kini, rumah reyot peninggalan mendiang neneknya sudah diperbaiki menjadi rumah permanen.
Menyambut bulan suci ramadan kali ini, Siti Nuraida berharap bisa bertemu sang kakak yang kini sedang mencari rezeki di ibu kota.
Sebab, orangtua Siti Nuraida sudah tidak ada sejak ia masih balita.
Baca juga: Pintu Maaf Orangtua Tertutup Jelang Ramadan, Jamal Tebas Leher Ayah di Depan Ibunya Hingga Tewas
Baca juga: Dedi Mulyadi Sambangi Nuraida, Pelajar yang Hidup Sebatang Kara di Gubuk Reyot di Pandeglang
Ibunya meninggal saat dirinya berusia 3 tahun, sementara sang ayah menikah lagi dan tak pernah menemuinya kembali.
Kini hanya sang kakak dan keponakannya lah keluarga terdekan yang ia miliki.
"Iya pengen aja gitu kayak teman-teman yang lainnya bisa kumpul pas lagi puasa dan idul fitri. Karena jujur kangen banget dengan kakak," katanya saat ditemui TribunBanten.com.
Ia pun menjelaskan, bahwa keponakannya selalu menanyakan kapan sang ibunya bisa pulang dan berkumpul dengan dirinya lagi.

Selain itu ia juga berharap momen lebaran dan bulan ramadan kali ini menjadi tilas balik pertemuan sang kakak dengan dirinya yang telah lama terpisah oleh jarak dan waktu.
Apalagi, perayaaan idul fitri yang hanya setahun sekali ini, ingin dimanfaatkan oleh dirinya untuk meminta maaf dengan sang kakak dan juga berkomunikasi untuk kehidupannya selanjutnya.
Baca juga: Kisah Nuraida Pelajar Pandeglang Tinggal Sendiri di Gubuk Reyot, Ditinggal Ayah Ibu Sejak Balita
Baca juga: Sembari Menangis Sesenggukan, Pinangki Memohon Belas Kasihan Hakim agar Diberi Keringanan
"Bertemu dan pengen banyak hal yang ingin saya sampaikan kepada kakak saya termasuk dengan nasib saya kedepannya dan anaknya juga," terangnya.
Ia pun berharap agar sang kakak dapat mendengarkan harapannya tersebut dan dapat berkumpul kembali di momen yang sangat dinantikan oleh umat muslim lainnya.
Laporan wartawan Tribunbanten.com, Marteen Ronaldo Pakpahan
TRIBUNBANTEN.COM, PANDEGLANG - Siti Nuraida, siswi Kelas 10 SMK di Pandeglang ini kini berusia 16 tahun.
Namun siapa sangka, Aida,-sapaan Nuraida, sudah bertahun-tahun hidup sendiri di sebuah rumah reyot di Desa Cimanggu, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Saat TribunBanten.com berkunjung pada Rabu (7/4/2021), tampak rumah tersebut berukuran 6x8 meter persegi, dengan 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, ruang keluarga dan dapur.
Namun, material rumah hanya terbuat dari kayu dan bilik bambu yang tampak berlumut nan lapuk.
Tampak rumah peninggalan nenek dari Aida itu pun miring dan hampir ambruk lantaran sejumlah pondasi rumah berbahan kayu tersebut sudah lapuk.

Saat didatangi, kebetulan hujan turun dan sebagian genting rumah yang sudah berlumut itu pun bocor.
Rumah itu berbentuk panggung rendah dengan lantai kayu dan bambu.
Baca juga: Kisah Pilu Guru Honorer di Pelosok Pandeglang dan Asa di Balik Gaji Rp12.500 Per Hari
Baca juga: Viral Kakak Adik Mencari Barang Bekas Sampai Malam Kelelahan di Pinggir Jembatan, Begini Kisahnya
Melongok bagian dalam rumah, baik ruang tamu, ruang tidur maupun dapur, tak tampak perabotan rumah tangga seperti lemari es maupun tempat piring dan gelas.
Lemari pakaian pun hanya berbahan plastik.
Untuk memasak, Aida mengandal tungku dengan bahan bakar kayu di pekarangan rumah.

Kisah hidup Siti Nuraida berawal saat ibundanya meninggal karena sakit yang diderita pada 2005, saat dirinya berusia 3 tahun.
Tak lama kemudian, ayahnya pergi meninggalkan rumah setelah menikah dengan perempuan lain dan tak kunjung kembali,
Sejak saat itu, ia hanya mendapat perawatan dan kasih sayang dari kakak perempuannya yang belum beranjak dewasa serta saudara yang juga tinggal bertetangga.

Dan saat berusia 13 tahun atau masuk sekolah SMP, kakak perempuannya memutuskan menikah dan mengharuskan tinggal bersama suami di wilayah lain, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang.
Sejak itu, ia mulai hidup mandiri.
Untuk makan sehari-hari, kadang ia memasak sendiri. Namun, ia juga kerap makan di rumah saudaranya yang tinggal tidak jauh dari rumahnya.
Baca juga: Kisah Pilu Keluarga di Pandeglang Hidup di Gubuk Dalam Hutan, Butuh 3 Jam Jalan Kaki di Jalan Rusak
Baca juga: Kisah Pilu Nenek Penjual Pisang, Gendong Bakul Seberat 12 Kg dan Hidup Sebatang Kara di Gubuk
Dan pada awal 2021 atau tiga bulan lalu, Aida mendapat tanggung jawab baru.
Sang kakak perempuannya bercerai dan memutuskan merantau bekerja di Jakarta.
Sang kakak menitipkan anaknya bernama Aisyah yang masih berusia 8 tahun kepadanya.
Aida kini duduk di kelas 10 di SMK Cimanggu, sedangkan keponakannya bersekolah di SDN 1 Cimanggu.
"Tinggal sejak kecil di sini sejak 2005. Ibu saya sudah tidak ada sejak saya berumur tiga tahun. Ayah saya sudah meninggalkan saya sejak masih kecil, kawin lagi," kenang Aisyah saat ditemui TribunBanten.com di rumahnya.
Baca juga: Penduduk Miskin di Banten Bertambah Banyak, Wagub: Kita Nomor 8 di Nasional, Itu Luar Biasa
Baca juga: Cerita Warga Sudimanik Cibaliung Pandeglang Selama 10 Tahun Belum Menikmati Aliran Listrik
Sang kakak mengirimkan uang Rp800 ribu setiap bulan untuknya.
Aida pun berusaha mengatur uang dengan jumlah tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sekolah mereka berdua.
Tak jarang uang kiriman dari sang kakak datang terlambat dan memaksanya menahan lapar.
Aida tak mau mengeluh meski uang kiriman itu kurang mencukupi dan kadang datang terlambat. Sebab, ia tidak ingin menyusahkan sang kakak yang tengah berjuang bekerja untuk mereka berdua.
"Kalau biaya hidup saya dikasih uang sama kakak saya yang sedang kerja di Jakarta. Dikirim Rp 800 ribu sebulan untuk kebutuhan sekolah dan makan," ungkapnya.

Keluarga Aida pernah menawarkan Aida untuk tinggal di rumah mereka. Namun, Aida memilih tinggal di rumahnya yang reyot itu karena merasa nyaman di rumah sendiri.
Kini, besar harapan Aida mendapat bantuan dari pemerintah daerah setempat untuk perbaikan rumahnya.
Air hujan masuk masuk ke dalam rumah ke dalam rumah karena genting bocor menjadi hal biasa terjadi di rumah Aida.
Namun, ia kerap waswas dengan keselamatan dirinya dan keponakan atas kondisi rumah yang ditempati ini.
"Harapannya sih bisa dibongkar, karena takut tinggal di sini dalam keadaan ini. Apalagi kalau hujan kencang terkadang takut saja," ucapnya.
Baca juga: Ayah Meninggal dan Ibunda Kabur, Secuil Kisah Pilu Dua Anak Yatim yang Hidup Terlantar di Serang
Baca juga: Kisah Aisyah Bocah 10 Tahun yang Sebatang Kara, Yatim Piatu Setelah Ibu Wafat karena Covid-19
Sementara itu, Kepala Desa Cimanggu, Suwardi mengatakan pihaknya telah mengajukan proposal permintaan bantuan ke Pemerintah Kabupaten Pandeglang untuk perbaikan rumah Aida selama lima tahun berturut-turut.
Sebab, tempat tinggal yang ditempati Aida sudah sejak lama masuk kategori rumah tidak layak huni (RTLH).
Namun, hingga kini pengajuan tersebut tidak membuahkan hasil.
"Jadi, rumah ini sebenarnya sudah tidak layak pakai, sudah diajukan beberapa kali ke dinas, tetapi tidak pernah digubris. Jadi, hingga saat ini belum terealisasikan," ujar Suwardi. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunbanten.com dengan judul Permintaan Siti Nuraida di Bulan Puasa, Berharap Sang Kakak Pulang dan Berkumpul Saat Lebaran