Sisi Lain Metropolitan
Ngabuburit di Rumah Belanda Keluarga Achmad Soebardjo: Napak Tilas Bapak Pendiri Bangsa
Di tepi jalan raya itu, tepatnya di seberang rumah makan Ampera 2 Tak, terdapat satu bangunan Belanda berlanggam kolonial masih menampakkan kemegahan
Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Muhammad Zulfikar
"Jalan kaki sampai Jalan Imam Bonjol. Terus mampir juga ke rumahnya Bung Hatta. Pulang-pulang bawa roti Lauw atau Tan Ek Tjoan," lanjutnya.
Sejak SD sampai SMP, Pak Hutomo tinggal di rumah ini. Ia belajar tentang kedisiplinan dan sopan santun yang diajarkan oleh eyang kakungnya semasa kecil.
Ketika makan bersama, Pak Hutomo dan anggota keluarga yang lain tidak boleh makan duluan.
Mereka harus menunggu eyang kakung dan eyang putrinya itu duduk di kursi meja makan.
Mereka juga tidak boleh banyak bicara. Kala makan, tak boleh ada denting piring.
"Baca doa dulu harus makan. Kalau enggak penting-penting amat enggak boleh ngomong di meja makan," lanjutnya.
Saat harus meninggalkan rumah karena ada urusan penting, mereka harus pamit dulu kepada Achmad Soebardjo.
"Kami pamit dulu ya eyang," kata Pak Hutomo menirukan.
"Disiplin seperti itu yang sudah jarang sekarang. Dulu kita tuh bertemu sama eyang ada sopan santunnya menghormati orangtua," ujarnya lagi.
Saking larutnya dengan sekelumit kisah rumah ini, saya dan Pak Hutomo sampai lupa berbuka puasa. Azan Magrib sudah lewat beberapa menit.
Rasa haus dan lapar seharian berpuasa pun tak terlalu terasa karena tergantikan kisah-kisah yang dituturkan keluarga Achmad Soebardjo.
Sebiji pisang goreng, kroket dan minuman dingin yang disuguhkan kepada saya cukup membuat kenyang.
Setiap duduk di sebuah bangunan Belanda, saya selalu terbawa suasana hidup di kala itu.
Termasuk rumah yang diperkirakan berdiri sejak tahun 1800-an ini. Begitu megah, begitu klasik, dan bersejarah.
Dilematis, bila rumah tersebut harus dijual kemudian berganti dengan bangunan lain.