Wacana Beras Kena Pajak dan Realita Masih Ada Warga yang Cuma Makan Nasi Pakai Kecap di Jakarta

Pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang bahan pokok atau sembako. masih ada yang makan saja sulit.

Editor: Wahyu Aji
TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS
Fitriyani, warga miskin ibu kota yang hidup serba terbatas di wilayah Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan pada Senin (14/6/2021). 

TRIBUNJAKARTA.COM - Pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang bahan pokok atau sembako dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.

Ditengah kontroversi terkait hal itu, masih banyak warga miskin yang untuk makan sehari-hari saja kesulitan.

Fitriyani (56) atau sering dipanggil Emak hidup sebatang kara di kontrakannya di Kelurahan Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Suami meninggal saat Emak mengandung anaknya bernama Muhammad Wahyudin pada tahun 1995.

Kini, usia Muhammad Wahyudin sudah 26 tahun.

Namun, keberadaannya tak diketahui Emak sejak 16 bulan lalu.

Baca juga: Sering Makan Nasi dan Kecap Selama Pandemi, Wanita Paruh Baya di Tanjung Barat Dikirim Sembako Warga

Baca juga: Cerita Warga Miskin di Tanjung Barat Bertahan Hidup Saat Pandemi: Cukup Makan Nasi dengan Kecap

Saat itu, Wahyudin pamitan ke Emak hendak berkunjung ke rumah temannya.

Namun sampai saat ini, Wahyudin tak pernah lagi memberikan kabar kepada sang ibunda.

"Anak saya sudah lupa sama orangtuanya. Sudah 16 bulan enggak pulang. Bilangnya mau pergi ke rumah teman. Enggak pernah ngabarin saya," ujarnya seraya menangis.

Tinggal sebatang kara, Emak harus berjuang sendiri demi menghidupi dirinya dari hari ke hari.

Di tengah nasib malang yang menimpanya, Emak tetap bersyukur masih bisa makan dengan seadanya walau berat.

Follow juga:

Kepada TribunJakarta.com, Emak bercerita sering bersantap hanya dengan nasi, dan kecap.

Untuk menambah rasa, ia menaburinya dengan garam.

"Bukan berat lagi, ini benar-benar berat. Kalau untuk makan yang penting ada beras, garam dan kecap. Itu yang penting," ungkapnya.

Bahkan, emak bercerita bersantap sayur asam dan ikan asin saja sudah makanan mewah baginya.

"Sayur asem dan ikan asin bukan mewah lagi buat saya. Seminggu sekali makan ini juga enggak," ujarnya dengan nada bergetar.

Baca juga: Hidup di Jurang Kemiskinan, Ini Harapan Emak, Wanita Sebatang Kara Tinggal di Tanjung Barat

Makin sulit di tengah pandemi

Emak hidup di rumah kontrakannya yang sederhana.

Di rumah petak itu, ia tidur beralaskan kasur lapuk. 

Di depan kasur terdapat televisi cembung kecil yang terkadang berubah hitam putih. Di bawah lantai, berserakan berbagai macam perabotan rumah dan pakaian.

Sebelum pandemi Covid-19, ia mencukupi kebutuhan hidupnya dengan bantu-bantu jualan minuman di kampus.

Dalam sehari, emak mendapatkan uang Rp 50 ribu.

Suasana rumah kontrakan emak.
Suasana rumah kontrakan emak. (TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS)

Penghasilannya digunakan untuk membayar kontrakan setiap bulan.

Semenjak pandemi Covid-19, kampus tutup sehingga penghasilannya ikut-ikutan hilang. 

Emak kemudian mencari penghasilan lain. Terkadang, ia membantu menggosok pakaian tetangga.

Namun, penghasilannya kerapkali tak cukup untuk membayar kontrakan. 

Belakangan, emak juga memunguti berbagai plastik dan kardus yang ditemuinya di jalan. Kemudian ia jual ke pemilik lapak dengan pendapatan yang tak seberapa.

Fitriyani, warga miskin ibu kota yang hidup serba terbatas di wilayah Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan pada Senin (14/6/2021).
Fitriyani, warga miskin ibu kota yang hidup serba terbatas di wilayah Tanjung Barat, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan pada Senin (14/6/2021). (TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS)

Beruntung, emak memiliki pemilik kontrakan yang memahami kondisi hidupnya.

Emak dibolehkan menyicil biaya kontrakan per bulan. Cicilannya pun jarang dilunasinya. 

Pemilik kontrakan juga sering memberikan lauk untuk makan emak. 

Terpuruk di Tengah Pandemi

Sejak suami meninggal dan anak tak ada kabar, Emak pun harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup.

Ia mengaku mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah selama pandemi Covid-19.

Baca juga: Emak Hidup Susah Sebatang Kara Ditinggalkan Anak, Makan Sayur Asem & Ikan Asin Sudah Paling Mewah

Namun, bantuan itu kerap dijualnya untuk membayar kontrakan. 

Di tengah nasib malang yang menimpanya, emak tetap bersyukur masih bisa makan dengan seadanya.

"Dibilang susah, mungkin ada yang lebih susah lagi di bawah saya. Masih bersyukur masih bisa ketemu makan. Saya enggak liat yang ke atas tapi di bawah saya," pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, komoditas sembako yang akan kena pajak di antaranya beras jenis shirataki.

"Namun, kalau kita ngomongin sembako tuh katakanlah beras, ada beras yang Rp 10.000 per kg nya, yang produksi petani kita, Rojolele, Pandan Wangi, Cianjur gitu versus beras yang sekarang ini shirataki.

Jadi, kalau dilihat harganya Rp 10 ribu per kg sampai Rp 50 ribu per kg sampai Rp 200 ribu per kg bisa sama-sama klaim ini sembako," ujarnya di rapat Komisi XI DPR, Senin (14/6/2021).

Sri Mulyani menjelaskan, fenomena munculnya produk-produk kelas atas, tapi namanya tetap sembako dan sama-sama beras harus disikapi pemerintah dari sisi perpajakan.

Selain itu, juga ada beberapa jenis daging premium dengan harga mahal akan kena pajak, bukan justru yang ada di pasar tradisional.

"Sama-sama daging sapi namanya, tapi ada daging sapi wagyu yang kobe, per kg bisa Rp 3 juta atau Rp 5 juta. Ada daging biasa yang dikonsumsi masyarakat per kg Rp 90 ribu, ini bumi dan langit," katanya.

Karena itu, eks direktur pelaksana Bank Dunia tersebut menambahkan, instrumen perpajakan dalam RUU KUP mencoba dorong kesetaraan.

"Pajak itu mencoba dorong isu keadilan. Sekarang, diversifikasi masyarakat kita sangat beragam," pungkas Sri Mulyani. (TRIBUNJAKARTA/SATRIO/TRIBUNNEWS) (*)

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved