Sisi Lain Metropolitan

Bayinya Menderita Epilepsi, Warga Penjaringan Harap Pemerintah Anggarkan Susu Khusus Intraktabel

Warga Penjaringan, sekaligus seorang ibu dari Kenzi, anak penderita epilepsi intraktable dan mikrosefalus, Ima (37) mengaku kesulitan mencarinya.

Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Erik Sinaga
TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS
Mulyadi (baju merah) dan Ima yang sedang menggendong Kenzi (1,4) di dalam kontrakannya. Kenzi menderita mikrosefalus dan epilepsi intraktabel pada Senin (12/7/2021). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas

TRIBUNJAKARTA.COM, PENJARINGAN - Ketersediaan susu medis khusus anak penderita epilepsi intraktabel sulit dicari di pasaran.

Selain mahal, banyak dari orangtua si anak kelimpungan mencari ketersediaan susu media tersebut.

Warga Penjaringan, sekaligus seorang ibu dari Kenzi, anak penderita epilepsi intraktable dan mikrosefalus, Ima (37) mengaku kesulitan mencarinya.

Ima menuturkan untuk bayi normal umumnya dibagikan susu formula dari puskesmas setempat.

Akan tetapi, bayi penderita epilepsi intraktable tak disediakan khusus sehingga orangtua bayi harus mencari sendiri susu itu.

"Saya berharap pemerintah membuatkan anggaran buat anak-anak penderita epilepsi intraktable. Karena untuk mencari susunya saja pun sulit. Apalagi dananya mahal, mohon dibantu," harap Ima saat ditemui TribunJakarta.com pada Senin (12/7/2021).

Ima mengeluhkan biaya susu medis khusus untuk penyembuhan anaknya yang sulit dicari dan mahal harganya. 

Ia melanjutkan anaknya yang bernama lengkap Muhamad Dwi Pradipta Mario Kenzi (1,4) itu bergantung dengan susu tersebut. 

Pihak rumah sakit pun menganjurkan Kenzi untuk mengonsumsi susu itu. Namun, biaya susu itu tak murah.

"Terus terang, kami enggak sanggup. Dari awal juga dokter sudah menganjurkan susu ini. Saya bilang ke dokter "kami enggak sanggup, penghasilan suami saya enggak cukup. Apalagi untuk biaya hidup anak saya di kampung dan buat sewa rumah," keluhnya.

Baca juga: Kisah Ima Merawat Anak Penderita Epilepsi dan Mikrosefalus: Mahal dan Sulitnya Mencari Susu Khusus

Ima melanjutkan susu medis itu dapat membantu proses penyembuhan anaknya yang kerapkali kejang karena menderita epilepsi intraktable. 

"Dokter bilang enggak semua anak epilepsi itu merespons positif susu itu. Tetapi, Kenzi merespons baik susu ini," ungkapnya.

Ima menjelaskan harga agen untuk satu kaleng susu medis bermerk Ketocal ukuran 300 gram seharga Rp 360 ribu.  Sementara di online, harga susu tersebut bisa 2 kali lipat sekitar Rp 700-an ribu. 

Dalam satu bulan, Kenzi menghabiskan kurang lebih 15 kaleng susu. Sebab, lanjut Ima, satu kaleng susu habis dalam waktu dua hari. Setiap tiga jam sekali, ia harus diberikan susu itu. 

"Sekali minum itu 4 takaran, 125 ml. 8 kali minum dalam 24 jam," katanya. 

Baca juga: Epilepsi Kambuh, Seorang Pejalan Kaki Mendadak Tersungkur di Pasar Minggu

Penghasilan Mulyadi sebagai Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) di Kelurahan Penjaringan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan susu khusus anaknya. 

Ima melanjutkan mereka harus menghabiskan kurang lebih sekitar 6 juta dalam satu bulan.

Beruntung, saat ini ada banyak pihak yang peduli dengan Kenzi. Dinas Sosial, Kelurahan, Kecamatan, rekan-rekan PPSU dan pihak-pihak lainnya membantu untuk memenuhi kebutuhan susu medis itu.

Akan tetapi, bantuan itu masih bersifat sementara. Sumbangan susu medis itu pun akan berangsur habis.

Selain itu, susu medis Ketokal sulit ditemukan di pasaran. Pihak agen itu tak bisa memastikan ketersediaan susu karena terbatas. 

Ayah Kenzi, Mulyadi (39) harus memesan jauh-jauh hari bila susu itu tersedia. Ia membeli dalam jumlah yang banyak untuk persediaa. 

"Kalau dekat-dekat mau habis (susu) kita baru pesan, kasihan anaknya karena belum tentu susu itu ada. Kadang uangnya ada, tapi susunya engggak ada. Percuma," tambahnya. 

Ini Kisah Kenzi, bayi penderita epilepsi dan mikrosefalus

Bayi berusia 1,5 tahun umumnya sudah mencoba belajar untuk berdiri, berpindah posisi sampai melambaikan tangan. Meski kerap menangis, terkadang diselingi tawa riang.

Baca juga: Diduga Lapar dan Punya Riwayat Epilepsi, Pengendara di Fatmawati Terjatuh dari Motor lalu Pingsan

Namun, bagi Kenzi, takdir berkata lain. Bayi laki-laki itu menderita penyakit mikrosefalus dan epilepsi setelah dilahirkan ke dunia.

Ia lebih banyak terbaring lemah di atas kasur kontrakan berukuran sempit. Keceriaan seakan luput sementara pada wajah mungilnya. 

Mulyadi (39) dan Ima (37) merupakan orangtua dari bayi bernama lengkap Muhammad Dwi Pradipta Mario Kenzi itu.

Mereka hidup dalam sebuah kontrakan mungil 2 x 3 meter yang berdekatan dengan menara listrik bertenaga tinggi di permukiman padat penduduk di Jalan Bandengan Utara, Kampung Baru Kubur Koja, Penjaringan, Jakarta Utara.

Mulyadi dan Ima memiliki dua orang anak. Anak laki-laki pertama berusia 12 tahun tinggal di kampung Ima, di Cirebon, Jawa Barat. Sedangkan, sepasang suami istri itu hidup di Jakarta bersama Kenzi, anak bungsunya itu.

Kemiskinan masih membelit hidup mereka. Apalagi, kebutuhan susu khusus untuk proses penyembuhan penyakit Kenzi sangat memberatkan mereka. 

Saat ditemui TribunJakarta.com di kontrakannya, Ima menceritakan kisah perjuangan untuk menghidupi anak bungsunya itu.

Pada tanggal 11 Maret 2020, Kenzi lahir di Rumah Sakit Atma Jaya, Penjaringan, Jakarta Utara. Begitu lahir, ia langsung dibawa ke ruang ICU oleh tim dokter. Selama 2 minggu Kenzi mendapatkan perawatan ICU. 

"Kenzi sempat masuk ke ICU karena kepalanya sempat ada pendarahan dan sempat tidak menangis juga. Tapi saat itu belum diagnosis mikrosefalus dan epilepsi," ungkap Ima kepada TribunJakarta.com pada Selasa (13/7/2021).

Cobaan seakan datang bertubi-tubi kepada bayi yang baru dilahirkan itu. Kenzi, lanjut Ima, mengalami kejang saat baru tiga hari di inkubator. Ia belum mampu untuk bernafas sendiri. Kenzi dibantu dengan alat ketika bernafas. 

Selang urine kateter pun terpasang di tubuh Kenzi agar memudahkannya buang air kecil.

"Setelah dua minggu dirawat, Kenzi sempat dibawa pulang. Namun, ia kembali kejang lagi ketika memasuki usia 6 bulan," lanjutnya. 

Melihat kondisi Kenzi yang tak kunjung pulih, Ima dan Mulyadi memutuskan untuk membawa Kenzi ke rumah sakit Atma Jaya. 

Ia kembali dirawat selama 10 hari. Namun, tak ada perkembangan yang berarti bagi Kenzi. Kejangnya itu malah berangsur-angsur sering. Kenzi dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat.

"Di sana, Kenzi di-EEG atau rekam otak. Didiagnosa menderita epilepsi Intraktabel dan mikrosefalus. Lingkar kepalanya mengecil jadi tidak seperti anak-anak normal," jelasnya.

Mendengar penjelasan dokter, Ima awalnya mengaku lemas dan syok ketika mengetahui anaknya tidak lahir sempurna. 

Namun, itu bukanlah akhir dunia. Ima dan Mulyadi tetap akan merawat dan menjaga anak keduanya itu.

Minum Susu pakai selang di hidung

 
Kini, Kenzi terlentang lemah di atas kasur kontrakannya. Hidungnya dipasang selang yang masuk sampai ke bagian lambungnya. 

Bayi itu tak banyak bergerak. Ia terkadang menangis dipelukan ayahnya, Mulyadi. 

Ima bercerita bahwa anaknya harus memakai selang di hidung lantaran tak bisa minum secara normal. Dikhawatirkan Kenzi bisa tersedak saat minum melalui mulut.

"Karena kalau tersedak bisa masuk paru-paru nanti takut fatal," tambahnya.

Pihak rumah sakit memasangkan selang di hidung Kenzi. Ima diminta untuk mengalirkan cairan susu melalui selang yang didorong dengan pompa suntikan di rumah. 

Lima jenis obat-obatan untuk penyembuhan kejang pun dimasukkan melalui selang itu. 

Semakin bertumbuh, Kenzi kerap mencabut selang itu dari hidungnya. Karena cemas harus mondar-mandir di masa pandemi, Ima diajarkan pihak rumah sakit untuk memasang sendiri selang itu bila sewaktu-waktu lepas.

"Selangnya saya yang masukkin sendiri, itu tega enggak tega sih. Sudah diajarin oleh pihak rumah sakit," ucapnya. 

Susu yang harus diberikan pun bukan susu bayi pada umumnya. Ima diminta dokter untuk memberikan susu medis untuk penyembuhan kejang-kejang yang diderita Kenzi. 

Bayi itu juga harus menjalani diet ketogenik (diet karbohidrat) untuk mengurangi frekuensi kejangnya. 

Sebab, Kenzi sempat mengalami kejang 47 kali dalam satu hari. 

"Saat ini belum bisa konsumsi susu lain selain susu medis. Dia juga harus mengikuti diet ketogenik untuk proses penyembuhan kejang-kejangnya," lanjutnya. 

Untuk penyembuhan mikrosefalus, Kenzi melakukan terapi untuk merangsang motoriknya di RSCM.

"Ia diajarin untuk tengkurap dan duduk. Diajak berkomunikasi agar merangsang otak dia," pungkasnya.

Ia berharap agar pemerintah dapat memfasilitasi para penderita epilepsi intraktabel seperti Kenzi terutama dalam pemenuhan susu medis secara berkelanjutan.
 

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved