Mengenal Lebih Dekat Papua untuk Pahami Indahnya Toleransi Berbasis Kearifan Lokal
Papua dengan lebih dekat, maka akan didapatkan kehangatan sebuah persaudaraan yang tanpa pamrih dan apa adanya.
Meskipun terkadang terjadi gesekan antara masyarakat adat dan metropolis, antara pribumi dengan perantau, dan politisasi identitas, namun Idrus al Hamid telah merintis pencanangan zona integritas kerukunan umat beragama, membangun inter-religius dialog dan melakukan penguatan toleransi berbasis kearifan lokal.
"yang terpenting jangan menyakiti jika tidak ingin disakiti. Pahamilah bahwa manusia adalah sumber peradaban," ujarnya.
Pengalaman ini juga diungkap narasumber dari Maroko, Prof. Dr. Khalid Touzani.
Dirinya bercerita soal upaya menarik hati rakyat Sahara Barat, Raja memerintahkan agar rakyat disana diperlakukan dengan baik dengan toleransi yang tinggi.
Namun demikian, ada upaya-upaya dari pihak luar untuk memprovokasi rakyat Sahara Barat.
“Di Maroko juga ada penduduk asli tetapi mereka diperlakukan dengan toleransi yang baik, diperlakukan sama dengan kebudayaan yang terpelihara, sehingga tercipta kedamaian. Selanjutnya tidak ada pertentangan masalah agama karena memang toleransi di Maroko sangat kuat. Antara Indonesia dan Maroko ada kesamaan masalah, sehingga harus ada hubungan yang kuat antar sesama. Saling membantu sesama muslim dan tetap menjaga toleransi yang menjadi dasar dalam hubungan sosial yang majemuk.” kata Prof Kholid Touzani yang pernah meraih Penghargaan Sheikh Al-Mukhtar Al-Kinti untuk Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan, tentang toleransi dalam sastra Arab dan Afrika.
Sementara itu, Dr Muhammad Sofin mengungkapkan, berdasarkan studi lapangan yang berlangsung antara Mei hingga Juni 2019, penelitian lapangan menetapkan bahwa indeks toleransi di Papua adalah 82, yang merupakan peringkat tertinggi dibandingkan provinsi lain di Indonesia.
Pemerintah juga ingin terus mengaktifkan program-program pendorong untuk memperkuat toleransi, kerjasama dan hidup berdampingan secara damai di Papua, khususnya mengkoordinasikan program-program terkait terhadap isu-isu pemuda dan perkembangannya ke arah yang lebih baik, seperti dialog, festival agama dan budaya.
Sebenarnya, jiwa NKRI masyarakat Papua sudah mandarah daging dalam sanubari, seperti yang dirasakan Safar Furuada aktivis Pendidikan dari Kaimana.
“Rasa kebangsaan, jiwa memiliki negara ini telah terpatri sejak awal karena kami kami dari negara ini yang secara adat kami telah mengalami kebersamaan yang kuat. Karena itu dengan kedatangan saudara kami ke Papua justru menambah semangat kebangsan (wathaniyah) dan juga membantu semangat dakwah di tanah Papua dengan menjalin hubungan yang baik dengan umat agama lain. Karena itu, adanya Otsus jilid II kami berharap menambah gairah, semangat membangun di Kawasan timur Indonesia, terutama pembangunan dalam bidang keagamaan," kata tokoh agama yang berharap dibangun kampus perguruan tinggi di Kaimana.