HUT Kemerdekaan RI
Baju Adatnya Dipakai Jokowi di Sidang MPR, Ini Sederet Fakta Suku Baduy: Nihil Kasus Covid-19
Baju adatnya dikenakan Presiden Jokowi saat Sidang Tahunan MPR, ini sederet fakta mengenai Suku Baduy
Penulis: Elga Hikari Putra | Editor: Yogi Jakarta
TRIBUNJAKARTA.COM - Seperti tahun sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenakan baju adat saat menghadiri Sidang Tahunan MPR, Senin (16/8/2021).
Bila tahun 2020 lalu, Jokowi mengenakan baju adat Suku Sabu asal Nusa Tenggara Timur, untuk Sidang Tahunan MPR tahun 2021 ini, Jokowi baju adat suku Baduy.
Pakaian adat itu berwarna hitam dan dilengkapi ikat kepala biru.
Rupanya ada alasan tersendiri mengapa Jokowi memilih menggunakan baju adat suku Baduy dalam acara Sidang Tahunan MPR 2021.
Hal itu dijelaskan Kantor Staf Presiden (KSP) melalui akun Twitter resmi mereka.
Baca juga: Menilik Filosofi Pakaian Adat Suku Baduy yang Dipakai Jokowi, Memiliki Makna Mendalam
"TERNYATAAAAA… Busana yang dipakai Presiden adalah pakaian adat Suku Baduy, yang berada di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten," tulis @KSPgoid.
Menurut KSP, Jokowi memilih menggunakan pakaian adat suku Baduy sebagai penghormatan atas nilai adat dan budaya luhur suku Baduy.
"Presiden @jokowi memilih menggunakan pakaian adat suku Baduy sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan pada keluhuran nilai2 adat dan budaya suku Baduy," tulis @KSPgoid lagi.

Sejarah Suku Baduy
Sementara itu, dilansir dari Tribunnewswiki, suku Baduy adalah kelompok etnis yang hidup di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
Suku ini dibagi menjadi dua yaitu Suku Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Perbedaan mendasar kedua suku ini terlihat dari cara mereka melaksanakan aturan adat.
Suku Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan menjalankan aturan dengan baik.
Baca juga: Kenakan Pakaian Adat Baduy Dalam Pidato Tahunan Kenegaraan, Jokowi: Nyaman Dipakai
Sementara Suku Baduy Luar sudah terkontaminasi dengan budaya luar.
Seperti menggunakan barang elektronik dan sabun serta menerima tamu dari luar negeri dan memperbolehkan mereka menginap.
Perbedaan lain terlihat dari cara berpakaian mereka.

Dalam keseharian, Suku Baduy Dalam menggunakan baju berwarna putih yang melambangkan kesuician dan budaya yang tidak terpengaruh dari luar.
Sedangkan Suku Baduy Luar mengenakan pakaian serba hitam.
Suku Baduy Dalam mendiami tiga kampung yaitu Kampung Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo yang dipimpin oleh seorang tetua adat yang disebut Pu'un.
Pu'un dibantu oleh Jaro sebagai wakilnya dan bertugas menentukan masa tanam dan masa panen, juga menerapkan hukum adat serta mengobati penduduk yang sakit.
Sementara Suku Baduy Luar tinggal di 50 kampung yang berada di kawasan Pegunungan Kendeng. (1)
Sejarah

Penyebutan Baduy berasal dari peneliti Belanda yang melihat kemiripan antara masyarakat di Kanekes dengan masyarakat Badowi di Arab.
Versi lain menyebutkan, nama Baduy diambil dari nama sungai yang terletak di bagian utara Desa Kanekes yaitu Sungai Cibaduy.
Mata Pencaharian
Masyarakat Suku Baduy bermata pencaharian sebagai petani atau penggarap ladang.
Alam yang subur mempermudah suku ini dalam menghasilkan berbagai komiditas pangan.
Dalam praktik berladang dan bertani, Suku Badut juga tidak menggunakan sapi atau kerbau untuk mengolah lahan.
Baca juga: Sidang Tahunan MPR, Jokowi Singgung Hal-hal Tabu dan Bangsa yang Tahan Banting
Suku Badut juga melarang keras anjing masuk ke kawasan tempat tinggal mereka dengan alasan menjaga kelestarian alam.
Masyarakat Suku Baduy juga gemar memelihara ayam.
Namun, mereka hanya akan menyembelih ayam pada hari-hari tertentu saja misalnya saat upacara adat ataupun hari pernikahan. (2)

Tempat Tinggal
Rumah Suku Baduy terbuat dari kayu dan bambu serta dibangun dengan batu kali sebagai pondasi.
Rumah Suku Baduy terdiri dari tiga ruangan dengan fungsi yang berbeda satu sama lain.
Bagian depan berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan menenun untuk kaum perempuan.
Bagian tengah diperuntukkan untuk ruang keluarga dan tidur.
Sedangkan bagian belakang digunakan untuk tempat menyimpan hasil panen.
Baca juga: Geger Temuan Mural Jokowi 404: Not Found, di Pasuruan Ada Mural Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit
Semua ruangan dilapisi dengan alas yang dibuat dari anyaman bambu.
Untuk bagian atap menggunakan serat ijuk atau daun kelapa.
Rumah Suku Baduy dibuat saling berhadap-hadapan dan selalu menghadap utara atau selatan.

Berbeda dengan masyarakat modern, kekayaan Suku Baduy Dalam tidak dilihat dari bentuk dan ukuran rumah.
Seluruh masyarakat Suku Baduy Dalam memiliki rumah dengan bentuk dan ukuran yang sama.
Kekayaan mereka dilihat dari kepemilikan benda seperti tembikar.
Semakin banyak jumlah tembikar yang dimiliki, maka semakin tinggi derajat orang tersebut.
Tidak hanya peralatan elektronik, Suku Baduy juga tidak menggunakan perabotan rumah tangga seperti piring atau gelas yang terbuat dari logam atau kaca.
Mereka lebih memilih memanfaatkan bahan dari alam.
Baca juga: Cerita Penjual Madu Dari Suku Baduy Luar: Berawal Dari Ingin Lihat Monas Hingga Latih Komunikasi
Misalnya, untuk gelas mereka memakai potongan bambu.
Tradisi
Setiap perempuan Suku Baduy diwajibkan bisa menenun.

Kain tenun yang bertekstur lembut digunakan untuk bahan membuat pakaian sedangkan yang kasar untuk ikat kepala atau ikat pinggang.
Selain digunakan sendiri, kain tenun karya Suku Baduy juga diperjualbelikan sebagai oleh-oleh untuk para wisatawan yang berkunjung.
Selain kain, Suku Baduy juga membuat tas dari kulit pohon terep yang bernama koja atau jarog.
Tas ini digunakan untuk menyimpan segala macam kebutuhan yang diperlukan saat beraktivitas atau dalam perjalanan.
Masyarakat Suku Baduy juga masih menjunjung teguh budaya perjodohan.
Seorang gadis berusia 14 tahun akan dijodohkan dengan laki-laki yang juga berasal dari suku tersebut.
Baca juga: Baduy Minta Dihapus dari Destinasi Wisata: Protes Sampah dan Foto yang Beredar di Internet
Selama perjodohan, orangtua laki-laki bebas memilih wanita yang akan dijadikan menantunya.
Orang Baduy juga dikenal sangat gemar berjalan kaki.
Mereka akan berjalan kaki kemanapun meski jarak yang ditempuh cukup jauh.
Kepercayaan
Suku Baduy percaya bahwa mereka adalah keturunan dari Batara Cikal, yaitu satu dari tujuh dewa yang diutus ke bumi.
Menurut kepercayaan mereka, Suku Baduy bertugas menjaga harmoni dunia.

Kepercayaan ini disebut juga dengan Sunda Wiwitan yaitu memuja nenek moyang sebagai bentuk penghormatan.
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:
1. Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas,
2. Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah,
3. Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah.
Konsep ini tak ubahnya bagaikan surga, bumi dan neraka. (3)
Suku Baduy memiliki tradisi berpuasa selama tiga bulan berturut-turut yang disebut Kawulu.
Saat Suku Baduy melakukan Kawulu, penduduk luar dilarang berkunjung ke Suku Baduy Dalam.
Jika tetap ingin berkunjung, hanya diperbolehkan ke perkampungan luar dan tidak boleh menginap.
Bagi Suku Baduy, Kawulu merupakan kegiatan sakral dam tidak boleh diganggu oleh masyarakat luar.
Selama melakukan Kawulu, Suku Baduy akan berdoa kepada nenek moyang agar selalu diberi keselamaran dan panen melimpah.
Nihil Kasus Covid-19
Fakta mengejutkan datang dari Suku Baduy, di tengah situasi genting pandemi Covid-19 yang melanda tanah air.
Satu di antara puluhan ribu desa di Indonesia, yakni Desa Kanekes, Kabupaten Lebak dinyatakan nol kasus Covid-19.
Desa tersebut dihubi oleh masyarakat adat suku Baduy.
Fakta tersebut disampaikan oleh dr. Maytri Nurmaningsih, Kepala Puskesmas Cisimeut Kabupaten Lebak, Banten.
Bertugas di wilayah masyarakat suku Baduy Dalam maupun Baduy Luarm dr. Maytri mengungkap fakta mengejutkan.
Bahwa sejak Maret 2020 hingga Juni 2021, tidak ada sama sekali kasus positif Covid-19 di Baduy.
"Dari pandemi awal Maret 2020 sampai sekarang Juni 2021 ini kita tidak menemukan satu pun kasus positif Covid di Baduy," ujar dr. Maytri dalam tayangan Rosi Kompas TV, Kamis (1/7/2021).
Dikutip TribunnewsBogor.com, dr. Maytri mengurai rahasia mengapa Baduy nol persen kasus positif Covid-19.
dr. Maytri menuturkan pada awal kasus covid di Indonesia Maret 2020, Kabupaten Lebak sudah melakukan PSBB termasuk wilayah Baduy.
Baca juga: Tak Ada Satupun Warga Suku Baduy yang Terpapar Covid-19, Ini Rahasianya
Usai melakukan PSBB, dr. Maytri bersama karyawan puskesmas lain pun berinisiatif membentuk satgas Covid-19.
Tujuannya untuk memberikan sosialisasi kepada seluruh warga Kabupaten Lebak, termasuk masyarakat Baduy.
"Hal-hal yang dilakukan ketika PSBB itu, saya dan karyawan puskesmas membentuk satgas covid yang bekerja sama dengan satgas covid kecamatan dan desa. Setelah itu kami sosialisasi ke masyarakat Baduy mengenai apa itu PSBB, apa itu covid," ungkap dr. Maytri.
Kala itu, dr. Maytri dan jajarannya melakukan sosialisasi mengenai hal-hal dasar mengenai Covid-19.
Terutama kepada masyarakat Baduy, dr. Maytri mengaku harus menjelaskan secara terperinci.
"Waktu itu kita mensosialisasikan virus covid gejalanya seperti apa. Lalu usaha agar tidak tertular covid itu seperti apa. (Penjelasan) masih dasar. Karena masyarakat Baduy itu harus detail sekali," akui dr. Maytri.
Sosialisasi dari dr. Maytri dan pegawai Puskesmas pun dilakukan hingga sekarang.
Sering mendapat sosialisasi, masyarakat Baduy pun kini sudah paham betul tentang bahaya covid.
Masyarakat Baduy lantas mempraktekan cara-cara yang disosialisasikan petugas guna menghindari penyebaran Covid-19. (TRIBUNJAKARTA/TRIBUNNEWS/TRIBUNNEWSBOGOR/TRIBUNNEWSWIKI)