Kisah Pilu Janda Muda Asal Kota Serang, 10 Kali Ditalak Cerai dalam Setahun, Jabang Bayi Tak Diakui
Sejak awal kehamilan, suami FH tidak percaya itu adalah anak kandungnya dan memintanya melakukan pemeriksaan USG dan tes DNA.
Penulis: Abdul Qodir | Editor: Yogi Jakarta
TRIBUNJAKARTA.COM, SERANG - Nasib malang dialami FH, wanita muda asal Kelurahan Banjar Agung, Cipocok Jaya, Kota Serang.
FH yang baru berusia 19 tahun ini ditalak 10 kali hingga ditinggal suami saat mengandung enam bulan dan usia pernikahan belum genap satu tahun.
Lebih nelangsa, calon jabang bayi dalam kandungan FH tak diakui suami.
FH menceritakan, awalnya ia berkenalan dengan suaminya, MW (29), lewat sebuah komunitas.
Mereka memutuskan untuk menikah pada 13 Desember 2020 meski baru seminggu berkenalan.
Baca juga: Kisah Susuk Istri Berujung Maut dan Penjara, Pengusaha Angkot Tangerang Simpan Dendam 11 Tahun
Seiring berjalannya waktu, rupanya mahligai rumah tangga mereka berdua tak berjalan harmonis.
FH mengaku sudah ditalak oleh suaminya sebanyak sepuluh kali.
Meski kabar bahagia muncul kalau FH tengah mengandung, sang suami tetap tak luluh dan malah menuduh FH yang macam-macam.
Baca juga: Nama Anak Panjang, Terkuak Alasan Pasutri Kirim Surat ke Jokowi: 3 Tahun Ini Kami Prihatin, Pak
Sejak awal kehamilan, suami FH tidak percaya itu adalah anak kandungnya dan memintanya melakukan pemeriksaan USG dan tes DNA.
"Kata suami saya, itu bukan anaknya, minta tes DNA," ujarnya saat ditemui di rumahnya, Senin (27/9/2021).
Tak ingin memperjangan masalah, FH menerima tudingan itu dan siap menjalani tes DNA asalkan sang suami yang menanggung biayanya.
Namun, tes DNA belum bisa dilakukan selama bayi masih di kandungan.
Baca juga: Disaksikan Dua Anaknya, Pasutri Tertangkap Kamera CCTV Curi Hp yang Tertinggal di Motor
Karena tak tahan dengan kelakuan sang suami, pada 10 Juni 2021 FH memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya.
Nasib malang pun kembali menimpanya.
Selang satu bulan Fani tinggal di rumah orangtuanya, pada 10 Juli 2021 ayahnya meninggal dunia.
Sebelumnya sang ibu sudah menghadap Yang Maha Kuasa karena penyakit kanker yang menggerogoti tubuhnya.
Dan FH belum memberi tahu sang ayah kalau dirinya sedang mengandung.

"Sampai bapak meninggal engga kasih tahu, soalnya kasihan takut drop, bapak tahunya pas sudahan saja sama suami," tuturnya.
Sepeninggal ayahnya, FH pun merasa terpuruk dan selalu membatin.
Pasalnya belum sembuh luka yang menganga, sudah ditambah duka kepergian almarhum ayahnya.
FH sempat berpikir untuk menggugurkan kandungannya, namun dilarang oleh kakaknya perempuannya.
Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari pun, FH dibiayai oleh kakaknya seorang buruh cuci.
"Buat makan sehari-hari juga susah, soalnya teteh yang kerja, paling selebihnya ada tetangga yang ngasih," katanya.
Baca juga: Modusin Janda Terapis Bekam Dijawab Pahit, Pria Asal Depok Batal Berpoligami Malah Masuk Penjara
Meski bersiap menyandang status janda muda Kota Serang, HF bertekad untuk melanjutkan hidupnya setelah melahirkan nanti.
Dia pun akan bekerja dan membiayai kedua adiknya sekolah agar tidak seperti kedua kakaknya.
"Pengennya lanjutkan hidup, kerja biayain ade pengen nyekolahin sampe tinggi, supaya dapet kehidupan lebih baik, jangan sampe kaya kakanya," tuturnya.
Kini, FH hanya bisa menyesal menikah dengan orang yang tidak bertanggung jawab.
"Kalau tahu dari awal, enggak bakal terima dia," ucapnya.
Dampak Psikologis dan Sosial Pernikahan Usia Dini
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Rose Mini Agoes Salim mengatakan usia remaja adalah masa yang seringkali disebut sebagai masa badai.
Menurut Romy, begitu ia biasa disapa, pada masa ini anak masih berusaha untuk mencari identitas diri dan menyesuaikan dengan perubahan fisiologis tubuh menuju dewasa.
"Ini saja sudah memberi beban. Sehingga banyak yang kemudian mudah terpengaruh oleh lingkungan. Karena mereka mau menunjukkan eksistensinya. Itu membuat mereka berani melakukan sesuatu tanpa memikirkan dampaknya," kata Romy saat dihubungi Kompas.com, Selasa (27/10/2020).

Romy menyebut, ketika anak menikah di usia yang masih belia, maka beban pribadi yang dirasakan sebagai dampak dari perubahan-perubahan pada dirinya akan semakin bertambah karena adanya beban hubungan perkawinan.
"Ada tanggung jawab di situ, yang mana biasanya remaja itu masih sulit untuk bertanggung jawab. Dalam hal perkembangan diri, mereka juga harus melihat perkembangan diri pasangannya," ungkapnya.
"Saya melihatnya, kenapa menikah usia dini itu tidak diperbolehkan, karena pengalaman hidup mereka masih pendek. Sehingga kalau ada masalah dalam perkawinannya, mudah sekali untuk menghilang atau kabur," imbuhnya.
Baca juga: Direstui Nikah Muda, Putri Tukang Bakso Berakhir Memilukan Dipicu Chat Teman Tapi Mesra
Romy berpendapat, seharusnya orang-orang terdekat memberikan wawasan yang memadai kepada anak tentang pernikahan dan tanggung jawab yang ada di dalamnya.
"Pemahaman itu diberikan begitu mereka mulai masuk masa pubertas. Mereka harus belajar bahwa mereka sekarang harus bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Sehingga ketika kelak memutuskan menikah, mereka tahu tanggung jawabnya itu seperti apa," kata Romy.
- Pasangan Faktor ekonomi dan pendidikan
Dikonfirmasi terpisah, Ketua Prodi Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP UNS, Nurhadi, mengatakan di beberapa daerah pernikahan usia dini masih dianggap sebagai hal yang wajar.
"Umumnya adalah daerah, yang dari sisi pendidikan itu belum terlalu maju," kata Nurhadi saat dihubungi, Selasa (27/10/2020).
Nurhadi menduga, faktor paling utama terjadinya pernikahan usia dini adalah karena secara kultural anak perempuan dianggap sebagai "beban ekonomi" dalam keluarga.
"Artinya bahwa anak perempuan itu dibesarkan oleh keluarga. Namun kemudian secara kultural, mereka itu akhirnya akan lepas dan diambil oleh orang," kata Nurhadi.
"Sehingga kemudian ada dorongan secara tidak langsung dalam diri perempuan untuk segera menikah. Misalnya, perempuan yang sudah berusia 20-an atau sudah tamat sekolah namun tidak segera menikah, oleh masyarakat kemudian dipandang tidak bagus," imbuhnya.
Sehingga, menurut Nurhadi, pernikahan usia dini cenderung mendapat rekomendasi secara kultural karena dianggap positif perempuan menikah di usia relatif muda.
Baca juga: Akui Ingin Nikah Muda Seperti Ahmad Dhani, Dul Jaelani: Cita-cita
Namun, terkait EB dan UD, menurutnya hal ini menjadi persoalan karena pernikahan tersebut dilakukan ketika usia kedua mempelai masih terhitung belia.
"Saya menduga faktor terbesar adalah faktor ekonomi. Sebagian di antara mereka adalah anak-anak perempuan yang berasal dari ekonomi bawah," ujar Nurhadi.
"Yang kedua adalah faktor pendidikan. Jadi memang pemahaman di masyarakat, salah satunya tentang kesehatan reproduksi, itu belum terlalu bagus," imbuhnya.
Selain itu, Nurhadi mengatakan, ada pula keyakinan di masyarakat bahwa menikah di usia muda itu cenderung lebih baik karena dapat terhindar dari perzinaan.
"Padahal, hal itu terjadi karena kita tidak memiliki semacam mekanisme untuk menyalurkan libido. Sebetulnya, secara psikologis, kenaikan libido itu bisa dikanalisai, misalnya dengan cara olahraga," kata Nurhadi.
- Dampak Sosial
Menurut Nurhadi, permasalahan pernikahan usia dini tidak bisa hanya ditimpakan pada kedua mempelai yang memutuskan untuk menikah meski masih belia.
Dia menganggap, ada pemahaman yang perlu dibenahi di masyarakat, yakni pernikahan usia dini lebih banyak membawa dampak merugikan, terutama bagi perempuan.
"Karena secara psikis dia belum siap untuk menjadi ibu. Yang kedua, secara fisik, di usia itu tubuhnya belum siap untuk mengandung janin di dalam rahimnya," kata Nurhadi.
Di sisi lain, Nurhadi mengatakan ada dampak sosial yang bisa terjadi akibat pernikahan usia dini yang masih dianggap lazim di masyarakat.
"Di samping meningkatkan populasi di sebuah masyarakat, pernikahan usia dini itu sebenarnya juga akan membebani keluarga besarnya. Karena apa? umumnya mereka belum terlalu siap untuk mengasuh anak," ujar Nurhadi.
"Sehingga mereka masih butuh bantuan dari orang lain, dalam hal ini keluarga besarnya. Entah dari ayahnya, kakeknya, neneknya, atau dari kerabat-kerabat yang lain. Itu barangkali akan mengurangi kemampuan keluarga untuk melakukan aktivitas produktif," imbuhnya.
Dalam jangka panjang, Nurhadi menilai hal ini akan berkontribusi pada menurunnya produktivitas di masyarakat. Karena ada beban yang harus mereka tanggung, dan mereka harus mengalokasikan sebagian waktu dan energinya untuk mengurus itu.
"Umumnya, mereka yang menikah dini itu akan kesulitan mendapat pekerjaan. Sehingga berpotensi menambah angka kemiskinan di sebuah masyarakat," kata Nurhadi.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Simak, Dampak Psikologis dan Sosial Pernikahan Usia Dini"