Satu Keluarga Setahun Tinggal di Poskamling, Tidur Beralaskan Kardus Tak Ada Uang Ngontrak Rumah
Satu keluarga tinggal di sebuah poskamling berukuran 2 x 1,5 meter di Gang Barokah, Jalan Slamet Riyadi, Kecamatan Patrang, Kabupaten Jember.
TRIBUNJAKARTA.COM - Kisah mengiris hati datang dari keluarga di Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Satu keluarga tinggal di sebuah poskamling berukuran 2 x 1,5 meter di Gang Barokah, Jalan Slamet Riyadi, Kecamatan Patrang, Kabupaten Jember.
Sudah sekira satu tahun satu keluarga yang terdiri dari seorang bapak dan dua orang anak perempuannya menempati poskamling tersebut.
Hal itu terpaksa dilakukan lantaran tidak ada uang untuk mengontrak rumah.
Jangankan mengontrak rumah, kepala keluarga harus berjuang demi mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Baca juga: Viral Rapikan Sandal Jamaah, Ternyata Raja Anak Pemilik Masjid Sering Dibully Karena Hal Ini
Hampir setahun sudah, keluarga yang dikepalai M Solehuddin (32) ini tinggal di sebuah poskamling yang terbuat dari bambu dan beratapkan banner bekas.
"Iya, karena memang tidak punya tempat tinggal sendiri," kata Soleh kepada Surya.co.id (Tribun Network) pada Selasa (5/10/2021).
"Uang untuk kontrak rumah tidak ada, terus poskamling ini tidak dipakai oleh warga, akhirnya saya pakai sama anak-anak," sambung dia.

Soleh tidak ingat kapan pertama kali tinggal di tempat tersebut.
Dia hanya menyebut akhir tahun kemarin.
Karena ada persoalan dalam keluarganya dan tidak punya tempat tinggal, ia memilih tinggal di tempat itu.
"Anak-anak ya mau tinggal di sini," ujarnya.
Sebagai alas tidur, alas poskamling yang terbuat dari bambu dialasi kardus dan karpet.
Kemudian di sisi kanan kiri dan depan ditutup memakai kain sebagai kelambu.
Poskamling itu menempel di rumah warga.
Soleh menuturkan rumah di belakang poskamling itu sebelumnya disewa orang.
Baca juga: Viral Ambulans Diadang di Kramat Jati Jakarta Timur, Ini Kata Polisi
Kini penyewanya sudah meninggalkan rumah kontrak itu karena sewanya sudah selesai.
Dari tetangganya itu, dia bisa mendapatkan aliran listrik.
Untuk makan, dia memasak memakai tungku di pekarangan depan poskamling.
"Kalau waktu hujan ya beli. Kadang anak-anak ya dikasih tetangga," imbuhnya.
Sementara untuk mandi, dia dan anak-anaknya mandi di sebuah pemandian yang airnya dialirkan dari sebuah tempat usaha di dekatnya.
Kadang kala, mereka terpaksa mandi di sungai.
Meski dari kelompok warga miskin, Soleh mengaku tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Sebelum kembali dan menetap di Kabupaten Jember, Soleh sempat bekerja di Bali sebagai kuli bangunan.
Kini setelah istrinya meninggal dunia, dia menetap di Kabupaten Jember untuk mengasuh dua orang anaknya.
Sehari-hari, dia bekerja serabutan.
Jika ada pekerjaan di bangunan, dia bisa menjadi kuli.
Jika tidak ada pekerjaan, dia membuat layang-layang untuk dijual.
Baca juga: Viral Pengemudi Mobil Pribadi Hadang Ambulans Bawa Pasien di Kramat Jati, Ini Videonya
Nomaden sejak istrinya meninggal
Solehuddin lahir di Desa Sempolan Kecamatan Silo.
Orangtuanya sudah meninggal, begitu pula rumah orangtuanya juga sudah tak ada.
Saat istrinya masih hidup, keluarganya tinggal di rumah milik orang lain yang kebetulan tidak terpakai.
Mereka hanya diminta membersihkan rumah itu.
“Dulu sempat tinggal di Kecamatan Pakusari bersama istri, ada rumah milik orang tidak dipakai,” tutur dia.
Setelah istrinya meninggal dunia karena kecelakaan, Solehuddin tak bisa maksimal membersihkan rumah sehingga harus berpindah.
“Saya harus bekerja cari uang, jadi akhirnya pindah,” jelas pria berusia 32 tahun itu.
Tinggal di emperan toko hingga poskamling
Solehuddin dan dua anaknya pernah tinggal di tempat indekos, namun harus tinggal nomaden karena tidak punya uang.
Dia juga sudah tidak bisa tinggal di rumah mertua karena sudah dipakai keluarga lain.
“Kadang tinggal di emperan toko, rumah orang, pindah-pindah,” ucap dia.
Lalu, pada tahun 2020, dia sempat menumpang untuk tinggal di halaman rumah warga di Kelurahan Baratan Kecamatan Patrang.
Karena rumah tersebut dibangun, dia lagi-lagi terpaksa harus pindah.
Hingga akhirnya dia menemukan poskamling tak terpakai dan tinggal di sana bersama dua putri kecilnya.
Anaknya putus sekolah
Dengan kondisi serba tidak pasti, kedua anaknya terpaksa putus sekolah.
Padahal sebenarnya anak-anaknya sempat bersekolah saat tinggal di Pakusari.
”Apalagi sekarang daring, sudah lama tidak belajar,” tutur dia.
Meski demikian, Zahra dan Putri menyimpan impian yang tinggi. Zahra ingin menjadi dokter, sementara Putri ingin menjadi pesilat.
“Kalau saya ingin jadi dokter,” kata Zahra.
Namun, keduanya tidak bisa belajar dan tidur dengan nyaman. Sebab tempat yang mereka tinggali kini sangat terbatas.
Mereka juga tidak punya buku untuk belajar.
Keseharian mereka hanya bermain di sekitar poskamling dan ikut ayahnya bekerja.
Pengakuan warga
Sementara itu, Anang Bahtiar Dwi Utomo, warga setempat mengatakan, Solehuddin juga sempat menumpang tinggal di rumah warga di dekat rumahnya.
Namun karena rumah itu sudah dibangun, akhirnya Solehuddin pindah ke poskamling yang tidak dipakai tersebut.
“Dia izin pada pemilik tanah, ternyata diperbolehkan,” tutur dia.
Setiap harinya, Solehuddin bekerja sebagai buruh kasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dia berharap keluarga tersebut mendapat perhatian dari pemerintah, terutama pendidikan anaknya.
“Saya juga sebagai Taruna Siaga Bencana (Tagana) Dinsos memohon mungkin ada yang berdonasi untuk kelayakan tempat tinggal dan kehidupan mereka,” papar dia.
Dia juga berharap ada kepedulian dari pemerintah agar kedua anak tersebut bisa kembali sekolah demi masa depan mereka.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Jember Widy Prasetyo menambahkan sudah meminta anggotanya untuk melakukan asesmen.
Rencananya dia akan mengunjungi Solehuddin dan anak-anaknya.
“Teman-teman Dinsos sudah saya minta asesmen,” tutur dia.
Sumber: Kompas.com/Tribun Madura
Artikel ini telah tayang di TribunMadura.com dengan judul Kisah Satu Keluarga Tinggal di poskamling dari Bambu, Tidur Beralas Kardus dan Berdinding Kain