'Terbawa Angin' Hingga Keliling Dunia, Kisah Putra Pendiri Museum Layang-Layang Indoensia

Permainan yang satu ini, adalah salah satu permainan tradisional Indonesia yang cukup banyak digemari anak-anak. 

Penulis: Pebby Ade Liana | Editor: Jaisy Rahman Tohir
Pebby Adhe Liana / Tribun Jakarta
Radityo Puspoyo, gemar main layang-layang sampai keliling dunia. 

Laporan wartawan TribunJakarta.com, Pebby Adhe Liana

TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Sebagian dari Anda mungkin memiliki memori yang tak terlupakan saat bermain layang-layang di masa kecil.

Permainan yang satu ini, adalah salah satu permainan tradisional Indonesia yang cukup banyak digemari anak-anak. 

Ialah Radityo Puspoyo, laki-laki berusia 33 tahun yang punya kegemaran dalam bermain layang-layang.

Bahkan, Radit, sapaan karibnya, sampai ikut terbawa anginnya keliling dunia.

"Sebenarnya memang dari dulu senang. Karena dari umur saya 5 tahun, saya sudah diajak main layang-layang sama ibu saja. Saya senang, karena kita bisa travel nasional, internasional, hanya untuk main layang-layang," kata Radit bercerita pada TribunJakarta.com baru-baru ini.

Radit, adalah anak dari seorang tokoh pendiri Museum Layang-Layang Indonesia, Endang W. Puspoyo.

Dalam sejarah Museum Layang-Layang, museum yang berlokasi di Jakarta Selatan ini, adalah Museum Layang-Layang pertama di Indonesia yang diresmikan pada tahun 2003 lalu.

Baca juga: Jalan-Jalan di Kawasan Pasar Baru, Ada Apa Saja?

Kecintaan Endang terhadap layang-layang, membuatnya kala itu memutuskan untuk mendirikan museum ini dengan tujuan memperkenalkan dan juga mempromosikan layang-layang kepada masyarakat yang lebih luas.

Hal ini, ternyata secara tidak langsung juga ditularkan kepada sang anak.

Menurut Radit, ia bahkan sudah diajak untuk merasakan asyiknya bermain layang-layang sejak usia 5 tahun.

Radit kecil, sering kali dilibatkan dalam kegiatan pelestarian permainan tradisional Indonesia ini.

Ia kerap diajak sang ibu untuk mengajarkan cara membuat layang-layang kepada murid-murid di sekolah-sekolah internasional pada usia 7 tahun.

"Saya ngajar bikin layang-layang umur 7-8 tahun itu sudah ikut ngajar. Lagi liburan sekolah saya dibawa sama ibu. Bisa dibilang saya belajar Bahasa Inggris dengan saya ngajarin cara bikin layang-layang ke anak yang lebih besar dari saya umurnya. Dari situ mulai berkembang. Hampir semua international school kita ajar," kata Radit.

Baca juga: Yuk Simak 3 Tips Wisata Kuliner Seru di Pantai Indah Kapuk

Hampir seluruh negara-negara di Asia sudah pernah ia kunjungi untuk bermain layang-layang. Bahkan juga di negara-negara Eropa, dan beberapa negara bagian lainnya.

Terbaru, sebelum pandemi ia juga pergi ke Polandia dan juga Perancis untuk mempromosikan layang-layang Indonesia.

Bagi Radit, bisa memperkenalkan layang-layang tradisional Indonesia di kancah internasional adalah hal yang sangat menyenangkan. 

Apalagi, layang-layang tradisional Indonesia punya banyak variasi yang berbeda-beda.

"Kalau dilihat dari (negara) yang lain, ya mungkin memang macam-macam. di negara Asia lumayan banyak variasi, tapi base bentuk mereka sebenernya sama aja. Kalau di sini layang-layangnya banyak, materialnya aja beda-beda,"

"Ada yang dari plastik, daun, kertas. Kalau negara-negara lain, di Eropa dia cuma pakai kertas atau kain aja. Kalau Malaysia layangan tradisional mereka bisa dibilang hanya pakai bahan kertas aja. Disini saya seneng karena banyak variasi," paparnya.

Baca juga: Cerita Kusmanadi Kembangkan Bisnis Kuliner di Tengah Pandemi, Kini Buka 6 Gerai Baru

Mulai dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, negara-negara Eropa, dan beberapa negara lain, meninggalkan kenangan tersendiri di ingatan Radit kala bermain layang-layang di sana.

Banyak moment-moment yang tak terlupakan.

Salah satunya adalah saat dirinya masih berusia 12 tahun. Kala itu, ia disebut sebagai pelayang terkecil dalam suatu festival layang-layang internasional karena masih begitu muda.

Saking kecil tubuhnya kala itu, bahkan sang Ibunda Endang sampai harus mengikatnya di pohon agar tidak mudah terbawa angin.

"Iya waktu itu badan saya kecil banget, sedangkan layangannya gede-gede. Ada moment kalau angin besar, daya tariknya besar juga. Jadi ibu saya ngiket saya di pohon besar supaya saya gak kebawa angin," katanya sambil tertawa.

Bagi Radit, layang-layang bukan hanya sekedar permainan. Namun, lebih dari itu.

Museum Layang-Layang Indonesia, terletak di Jalan H. Kamang, Pondok Labu, Jakarta Selatan.
Museum Layang-Layang Indonesia, terletak di Jalan H. Kamang, Pondok Labu, Jakarta Selatan. (TribunJakarta.com/Pebby Adhe Liana)

Ada nilai tradisi, budaya, bahkan juga menjadi sebuah media untuk dirinya bisa melakukan bonding bersama orangtua.

"Ibu saya sekarang umurnya 71 tahun. Saya ingat betul, waktu dia umur 50 tahun dia bilang 'someday kamu yang pegang ini museum (Layang-Layang Indonesia ). Saya sudah gak bisa nerbangin layangan lagi, nanti kalau umur saya sudah 60 tahun, kita tatap promosiin layang-layang ini diinternasional tapi kita terbalik. Kamu yang lari-lari nerbangin layangan, saya yang pegangin layangan' kata ibu saya gitu," kata Radit.

"Tapi tiga tahun yang lalu, umur dia 68 tahun kita masih terbang ke Polandia, ke Perancis, masih aja saya yang megangin layangan, dia yang lari-lari. Jadi layangan ini gak hanya untuk anak muda aja. Ibu saya usia 71 tahunpun, masih tertarik," sambungnya.

Saat ini, Radit menjabat sebagai seorang Kepala Museum di Museum Layang-Layang Indonesia

Berawal dari kegemarannya pada layang-layang, kini Radit meneruskan misi Museum Layang-Layang Indonesia yang didirkan oleh sang ibunda untuk terus memperkenalkan dan mempromosikan layang-layang tradisional kepada masyarakat yang lebih luas.

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved