Usia Tak Lagi Muda, Semangat Sayidi Tetap Menyala: Jualan Sejak 1968 Hingga Rasakan Pahitnya Pandemi
Sayidi tersenyum saat menyapa pelanggan ketika membeli es cendol racikannya di kawasan Kuliner BSM Sabang. Ia bercerita manis pahit berjualan cendol.
Penulis: Pebby Ade Liana | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
Laporan wartawan TribunJakarta.com, Pebby Adhe Liana
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Senyuman hangat dilontarkan Sayidi, saat menyapa pelanggan ketika membeli es cendol racikannya di kawasan Kuliner BSM Sabang, Jakarta Pusat.
Penuh semangat, pria berusia 71 tahun itu masih tampak bugar kala meracik segelas es cendol Bandung dagangannya.
"Es nya masih ada," kata Sayidi bersemangat ketika saya menanyakan ketersediaan stok es cendol dagangannya.
Sayidi, merupakan seorang pedagang Es Cendol Bandung di kawasan Kuliner BSM Sabang Jakarta Pusat. Es Cendol Bandung Elizabeth begitu namanya.
Berjualan sejak puluhan tahun lalu, Es Cendol Bandung Elizabeth Pak Sayidi sudah terkenal legendaris.
Baca juga: Es Cendol Elizabeth Pak Sayidi Nan Legendaris di Jalan Sabang, Jajanan Murah Meriah Sejak 1968
"Dulu tahun 1968 di Pasar Boplo, harganya pertama kali masih 10 perak. Kalau di sini (Jalan Sabang), 30 tahunan lah. Dulu di situ (pinggir jalan), kaki lima. Kalau di sini (Kawasan Kuliner BSM Sabang) sekitar 6 tahunan kurang lebih," kata Sayidi, Rabu (23/2/2022).
Meski sudah punya banyak pelanggan, rupanya pandemi membawa kepahitan bagi Sayidi.

Diceritakan, omzet yang didapatnya 2 tahun terakhir ini sangat berbanding jauh jika dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi.
Ia bercerita, suasana di kawasan tersebut kini tidak seramai sebelumnya walaupun pemerintah sudah memberikan sejumlah kelonggaran dibanding saat awal PPKM beberapa waktu lalu.
Menurutnya, pedagang Kuliner BSM Sabang banyak mengharapkan pelanggan dari orang-orang yang berkantor di sekitar Jalan MH.Thamrin, Jalan Kebon Sirih, Gondangdia, dan sekitarnya.
Akan tetapi, kondisi perkantoran kini tidak terlalu ramai seperti dulu.
Baca juga: Relakan Air Minumnya untuk Cuci Tangan, Pedagang Cendol Dapat Uang Segepok dari Paula Verhoeven
"Ya dua tahun ini lah selama pandemi (sepi). Saya sering libur,"
"Waktu pandemi pertama, kan sempat tutup 3 bulan. PPKM kedua juga sempat tutup kalau gak salah 3 bulan. Kemarin saya tutup lagi 20 hari. Saya yang tutup sendiri, habis daripada kita dagang sepi. Saya sering tutup sekarang," kata Sayidi.
"Kalau kondisi rame sih, sebenarnya sayang mau tutup karena kan pelanggan dari kantor-kantor banyak," sambungnya.

Lain dulu lain sekarang, Sayidi bercerita sebelum pandemi ia mampu meraup omzet sampai Rp 1,5 juta perharinya. Belum lagi jika ada pesanan dari para pelanggannya.
Namun, saat ini ia menuturkan hanya mampu menjual sekitar 30 gelas sehari.
Padahal, harga yang ditawarkan untuk segelas es cendol buatannya cukup terjangkau yaitu hanya Rp 7 ribuan.
"Sekarang buat modal aja susah. Paling buat makan sama modal lah. Dulu padahal, omzetnya bisa Rp 1,5 juta sebelum pandemi. Pas pandemi paling kadang 30 gelas," imbuhnya.
Meski begitu, semangat Sayidi tak pernah luntur. Meski sudah berusia lanjut, namun semangatnya begitu terlihat ketika melihat pembeli datang mengunjungi kiosnya.
"Saya beberapa hari ini hanya balik modal terus. Tapi namanya kerjaan, kita jalanin lah,"
"Namanya tenaga masih mampu, nongkrong di rumah juga saya gak betah, yaudah jalanin aja," imbuhnya.
Jajanan Legendaris Yang Murah Meriah
Tangan-tangan keriput Sayidi (71) begitu lihai kala meracik segelas es cendol bandung untuk para pelanggan.
Meski sudah berusia lanjut, tetapi Sayidi masih tampak begitu bugar saat berjualan Es Cendol di kawasan Kuliner BSM, Sabang, Jakarta Pusat.
Rupanya, Sayidi mengaku sudah terbiasa sejak puluhan tahun lalu.
Sayidi bercerita, telah berjualan selama kurang lebih 54 tahun sejak tahun 1968 silam.
"Saya di Jakarta dari tahun 1965. Jualan tapi ganti-ganti, cuma pokoknya cendol. Sebelum di sini (Jakarta), saya sempat jualan cendol di Bandung juga 11 tahun," kata Sayidi pada TribunJakarta.com, Rabu (23/2/2022).
Dahulu, kata Sayidi awal mulanya ia hanya seorang pedagang cendol kaki lima.
Berawal dari kawasan Pasar Boplo sekitar tahun 1968, dulu harga segelas es cendol racikannya hanya dibandrol 10 perak.
Seiring berjalannya waktu, ia sempat berganti-ganti dagangan hingga kemudian kembali lagi untuk berdagang cendol.
"Dulu, dagang rokok yang digendong depan pernah, kerja sempet juga, lalu dagang roti sempet juga, ya tapi gak lama. Yang lama ya cendol ini. Saya bikin sendiri," kata dia.
Segelas, hanya dibandrol seharga Rp 7 ribuan.
Menurut Sayidi, cendol yang dijualnya merupakan cendol buatannya sendiri.
Sejak masih muda dulu, ia sudah ahli dalam urusan membuat cendol.
"Cendol bikin sendiri. Saya bikin dari subuh. Anak saya di Sunter 2, Pulo Gadung 1. Saya sekeluarga jualan cendol, iya. Awalnya dari kakak saya dulu," imbuhnya.
Walaupun harganya murah meriah, tapi rasa es cendol racikan Sayidi tak boleh diremehkan.
Cendol hijau buatan Sayidi memiliki ukuran yang agak besar, dengan tekstur yang kenyal dan juga lembut.
Dipadukan bersama dengan santan, gula merah, dan juga es batu, bisa menjadi pilihan kuliner menyegarkan untuk dinikmati di tengah hiruk pikuk kota Jakarta.
Adapun Es Cendol Bandung Elizabeth Pak Sayidi buka mulai pukul 10.00 WIB hingga sekitaran jam 14.00 WIB.