Ramadan 2022
Makam Mbah Datuk Banjir di Lubang Buaya Mulai Ramai Didatangi Peziarah Didominasi Majelis Pengajian
Namanya yang tersohor sebagai kian membuat makamnya banyak didatangi para peziarah.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina
TRIBUNJAKARTA.COM, CIPAYUNG - Makam Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah mulai ramai didatangi peziarah jelang ramadan.
Selain dikenal sebagai lokasi pembuangan jasad tujuh Pahlawan Revolusi, di kawasan Lubang Buaya juga terdapat makam Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah.
Namanya yang tersohor sebagai kian membuat makamnya banyak didatangi para peziarah.
Yanto Wijoyo, keturunan kesembilan Mbah Datuk Banjir mengatakan, jumlah peziarah sudah mengalami peningkatan menjelang Ramadan 1443 H atau Ramadan 2022.
"Sudah mulai ramai, tadi pagi ada yang ziarah rombongan. Jadi nggak nentu datangnya peziarah. Tapi memang sudah mulai berdatangan dan sering," katanya di lokasi, Minggu (27/3/2022).
Baca juga: Penampakan Rumah Rahasia Syekh Ali Jaber untuk Keluarga Dhuafa, Rela Bantu Meski Dalam Kondisi Sakit
Menurutnya, dari peziarah yang datang lebih didominasi oleh rombongan majelis pengajian. Hal ini pun memang rutin dilakukan jelang bulan suci Ramadan.
"Bedanya kalau mau ramadan begini yang banyak datang itu rombongan dari majelis, dari pengajian itu," jelasnya.
Pencetus nama Lubang Buaya

Kelurahan Lubang Buaya di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, dikenal sebagai lokasi tujuh Pahlawan Revolusi dibunuh pada 1965.
Jauh sebelum peristiwa berdarah itu, Lubang Buaya sudah ada dan digunakan sebagai nama lokasi yang berbatasan dengan Pondok Gede.
Adalah sosok almarhum Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah pencetusnya.
Dia seorang alim ulama sekaligus pejuang di masa penjajahan Belanda.
Yanto Wijoyo (45) adalah keturunan kesembilan Mbah Datuk Banjir.
Baca juga: Ramainya Pasar Tanah Abang Jelang Ramadan, Warga Mulai Borong Pakaian
Ia mengatakan pencetusan nama Lubang Buaya itu berawal saat leluhurnya melakukan perjalanan ke Jakarta pada abad 7.
"Menurut cerita kakek benek saya, sebelum sampai kemari melakukan perjalanan melalui rute Kali Sunter. Mengendarai kendaraan dari bambu, disebut getek kalau enggak salah," kata Yanto.
Dalam perjalanannya itu, getek yang digunakan Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah seolah tersedot ke lubang hingga menyentuh bagian dasar Kali Sunter.
Namun, Mbah Datuk Banjir tidak sampai terseret ke lubang, dia berhasil tiba di daratan.
"Memang di Kali Sunter itu ada penguasanya zaman dulu. Ya selain buaya-buaya biasa ada penguasa gaib yang disebut siluman buaya putih," ujarnya.
Merujuk keterangan leluhurnya, buaya putih penguasa Kali Sunter tersebut dikisahkan bernama Pangeran Gagak Jakalumayung yang memiliki anak berjuluk Mpok Nok.
Mpok Nok berwujud buaya tanpa ekor atau disebut warga buaya buntung.
Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah pun lalu berkelahi dengan keduanya.
"Mbah Datuk Banjir kan datang kemari sebagai pendatang. Masuk di kampung ini berhadapan dengan halangan-halangan daripada jin, penguasa Kali Sunter. Akhirnya bisa ditaklukkan dan akhirnya bisa dijadikan, bahasa kasarnya santrinya lah," tuturnya.
Setelah menaklukkan 'penguasa' Kali Sunter, Mbah Datuk Banjir mencetuskan nama Lubang Buaya, kala itu nama tersebut mengacu pada kampung.
Dalam menyebarkan agama Islam, Mbah Datuk Banjir disambut baik warga setempat yang kala itu bertani padi sebagai profesi utamanya.
Baca juga: Hore! Pemerintah Pastikan Puasa Tahun Ini Boleh Salat Tarawih di Masjid hingga Mudik Lebaran
Warga Lubang Buaya diajarkan ilmu bela diri untuk melawan penjajah Belanda yang datang menaklukkan Jakarta.
"Mbah Datuk Banjir secara enggak langsung melindungi Kampung Lubang Buaya ini dengan bentuk kesakitan dan karmahnya. Sehingga kampung ini terlihat seperti laut, tidak bisa diinjak penjajah Belanda, enggak bisa masuk," lanjut Yanto.
Dikisahkan, Mbah Datuk Banjir memiliki sejumlah senjata pusaka yang digunakan untuk berperang.
Dua di antaranya Golok Si Bule dan Keris Bengkok. Kedua benda pusaka ini kini tersimpan di area pemakaman Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah.
"Meninggalnya bukan saat berperang, kalau bahasa spiritualnya memang sudah harus pindah," sambung Yanto.
Hingga saat ini, peziarah banyak mendatangi makam Mbah Datuk Banjir untuk mendoakan dan mengingat jasa-jasanya dalam penyebaran Islam.