Cabai dan Bawang Mahal, Pedagang Warteg Desak Pemerintah Turunkan Harga

Kenaikan harga cabai dan bawang dalam beberapa waktu terakhir membebani para pedagang warteg yang kini baru berupaya pulih dari dampak pandemi Covid.

Penulis: Bima Putra | Editor: Wahyu Septiana
Serambi Indonesia/M Anshar
Ilustrasi cabai - Kenaikan harga cabai dan bawang dalam beberapa waktu terakhir membebani para pedagang warteg yang kini baru berupaya pulih dari dampak pandemi Covid. 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Bima Putra

TRIBUNJAKARTA.COM, KRAMAT JATI - Kenaikan harga cabai dan bawang dalam beberapa waktu terakhir membebani para pedagang Warung Tegal (Warteg) yang kini baru berupaya pulih dari dampak pandemi Covid-19.

Ketua Komunitas Warteg Nusantara (Kowantara), Mukroni mengatakan kenaikan harga cabai dan bawang yang digunakan untuk meracik bumbu olahan sangat membebani pedagang warteg.

"Cabai dan bawang merangkak naik, biasanya setelah lebaran harga melandai ini kok malah naik cukup tinggi. Di pasar sudah melampui Rp50 ribu (per kilogram)," kata Mukroni, Sabtu (21/5/2022).

Para pedagang Warteg kini harus merogoh modal lebih banyak untuk membeli bahan baku menu dijajakan, sementara mereka tidak bisa menaikkan harga menu karena takut kehilangan pelanggan.

Menurut Mukroni harga komoditas bahan pokok yang mahal saat ini menunjukkan pemerintah tidak bisa mengatur pasar, karena masalah terus berlarut dan memberatkan warga.

Baca juga: UPDATE Harga Bahan Pokok di Pasar Kramat Jati: Cabai Mulai Turun, Bawang Merah Tembus Rp50 Ribu 

"Pemerintah belum mampu dan tidak bisa mengontrol, artinya pasar mendikte pemerintah. Maaf artinya pemerintah tidak berdaya melawan pasar," ujarnya.

Sejak awal tahun 2022 saja para pedagang Warteg harus berhadapan dengan masalah mahalnya harga tempe, tahu, daging sapi, serta minyak goreng yang membuat mereka kelabakan.

Pedagang cabai di Pasar Baru Bekasi, Jalan Ir. H. Juanda, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi.
Pedagang cabai (TRIBUNJAKARTA.COM/YUSUF BACHTIAR)

Hingga kini pun para pedagang Warteg harus berhadapan dengan mahalnya harga minyak goreng yang justru diserahkan ke pasar, tidak lagi diatur dengan harga eceran tertinggi (HET).

"Kita tidak bisa menaikkan harga karena daya beli masyarakat belum pulih," lanjut Mukroni. (*)

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved