Partai Garuda Singgung Maling Teriak Maling Soal Presidential Threshold
Wakil Ketua Umum Garuda Teddy Gusnaidi berkomentar mengenai presidential threshold (PT) telah diputuskan MK. Ia menyinggung pihak yang tolak PT.
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Garuda Teddy Gusnaidi berkomentar mengenai presidential threshold (PT) telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK).
Diketahui, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terhadap presidential threshold atau syarat ambang batas pencalonan presiden dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Dulu, atas nama rakyat, mereka membuat, menyetujui dan mendukungpresidential threshold . Sekarang, atas nama rakyat, mereka mendadak anti presidential threshold " kata Teddy dalam keterangan tertulis, Selasa (12/7/2022).
"Jadi sebenarnya keinginan rakyat itu yang mana? Atau ini keinginan pribadi dengan mengatasnamakan rakyat? " tambahnya.
Teddy mengingatkan presidential threshold bukan barang haram.
Baca juga: Susi Pudjiastuti Masuk Gelanggang Pilpres 2024: Didukung Kopisusi Lalu Protes Presidential Threshold
Sebab, kata Teddy, PT bukan dibuat oleh Mahkamah Konstitusi dan Presiden Joko Widodo. Tapi dibuat oleh kelompok yang sekarang ini mendadak menjadi pahlawan kesiangan.
"Mendadak menolak presidential threshold , menyalahkan MK, Jokowi dan Oligarki. Ini drama busuk yang sedang dipertontonkan," imbuhnya.

Teddy menuturkan trend menuduh keinginan kaum oligarki saat MK menolak penghapusan presidential threshold .
"Kalau begitu, karena mereka dulu yang menginginkan Presidential Threshold, karena mereka yang membuat dan menyetujui, artinya merekalah kaum oligarki. Jadi ibarat maling teriak maling," tuturnya.
Baca juga: Jadi Peserta Pemilu 2024, PBB Yakin Gugatan Presidential Threshold ke MK Tak Bakal Ditolak
Selain itu, Teddy mengatakan ada pihak yang mendadak seolah-olah pro rakyat dan menyalahkan MK karena gugatan mereka ditolak.
"Mereka yang lemah argumentasi dan tidak cerdas, lalu MK yang disalahkan. Ibarat orang yang tidak pandai menari, lalu lantai yang disalahkan. Inilah yang terjadi saat ini," jelasnya.
Ia pun mempersilahkan rakyat menilai sikap yang menyalahkan putusan MK soal presidential treshold.
"Jika mereka bisa khianati diri mereka sendiri, tentu untuk mengkhianati rakyat sangat mudah," tuturnya.
Sebelumnya dikutip Tribunnews.com, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti merespons soal gugatannya terhadap presidential threshold (PT) yang dinilai Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa DPD RI tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara tersebut.
Menurut LaNyalla, hal itu adalah kemenangan sementara oligarki politik dan oligarki ekonomi yang menyandera dan mengatur negara ini.
“Mengapa saya katakan kemenangan sementara? Karena saya akan memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan negara ini ke tangan rakyat, sebagai pemilik sah negara ini. Tidak boleh kita biarkan negara ini dikuasai oleh Oligarki,” tegas LaNyalla dalam keterangan yang diterima, Kamis (7/7/2022).
Ditambahkan LaNyalla, kedaulatan rakyat sudah final dalam sistem yang dibentuk oleh para pendiri bangsa.
"Tinggal kita sempurnakan. Tetapi kita bongkar total dan porak-porandakan dengan Amandemen yang ugal-ugalan pada tahun 1999-2002 silam," kata dia.
“Dan kita menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Akibatnya tujuan negara ini bukan lagi memajukan kesejahteraan umum, tetapi memajukan kesejahteraan segelintir orang yang menjadi Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik,” ujar dia.
Terkait pertimbangan hukum majelis hakim MK, LaNyalla mengaku heran Ketika mejelis hakim MK yang menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu disebut konstitusional.
Padahal dia menyebut nyata-nyata tidak ada ambang batas pencalonan di Pasal 6A Konstitusi.
“Dan yang paling inti adalah majelis Hakim MK tidak melihat dan menyerap perkembangan kebutuhan masyarakat. Padahal hukum ada untuk manusia. Bukan manusia untuk hukum. Hukum bukan skema final. Perkembangan kebutuhan masyarakat harus jadi faktor pengubah hukum. Itu inti dari keadilan,” tandas LaNyalla.
Diketahui, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terhadap presidential threshold atau syarat ambang batas pencalonan presiden dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Adapun gugatan itu dilakukan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dan Ketua DPD RI, La Nyalla Mahmud Mattaliti.
"Menyatakan permohonan pemohon I (DPD) tidak dapat diterima. Menolak permohonan pemohon II (Yusril) untuk seluruhnya," kata Hakim Ketua Anwar Usman di Gedung MK, Jakarta, Kamis (7/7/2022).
Alasan hakim menolak permohonan DPD yang diwakili La Nyalla, yakni kedudukan hukum DPD adalah sebagai sebuah lembaga negara, bukan merupakan partai politik.
Hakim menilai DPD tidak memenuhi kualifikasi sebagai pemohon dalam pengujian konstitusionalitas ambang batas pencalonan presiden.
"Pemohon I tidak memenuhi kualifikasi sebagai pemohon dalam pengujian konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017 serta tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara anggapan kerugian konstitusional dengan pelaksanaan hak serta kewajiban Pemohon I," ujar Hakim MK Manahan Sitompul.
Sebab, kata dia, pemberlakuan Pasal 222 UU 7/2017 sama sekali tidak mengurangi kesempatan putra-putri daerah untuk menjadi calon presiden atau wakil presiden sepanjang memenuhi persyaratan.
Sementara alasan Pemohon II (Yusril) yang menyebut adanya oligarki dan polarisasi masyarakat melalui Pasal 222 UU 7/2017, hakim menilai tak beralasan menurut hukum.
"Karena tidak terdapat jaminan bahwa dengan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik maka berbagai ekses sebagimana didalilkan tidak akan terjadi lagi," ucap Manahan.
Wakil Ketua MK Aswanto menyatakan, pada pokoknya pihaknya menegaskan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden adalah konstitusional.
Sedangkan, soal besar atau kecilnya persentase presidential threshold merupakan kebijakan terbuka (open legal policy) dalam ranah pembentuk UU.
Diberitakan sebelumnya, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dan Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti mengajukan gugatan terhadap presidential threshold atau syarat ambang batas pencalonan presiden dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dikutip dari situs resmi MK, gugatan mereka teregister dengan nomor perkara 41/PUU/PAN.MK/AP3/03/2022 dan tercatat pada Jumat (25/3/2022).
Dalam petitum gugatan, mereka meminta agar MK menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden dalam pasal 222 UU Pemilu.
"Bahwa pokok permasalahan dalam Permohonan adalah Pasal 222 UU Pemilu, yang berbunyi: Pasal 222 UU Pemilu Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya," tulis permohonan gugatan tersebut seperti dikutip dari situs Mahkamah Konstitusi, Minggu (27/3/2022).
Ikut pula menandatangani permohonan itu Wakil Ketua DPD Nono Sampono, Mahyudin, dan Sultan Baktiar Najamudin.
Menurut pemohon, meskipun telah terdapat 19 putusan pengujian Pasal 222 UU Pemilu terhadap UUD 1945, hanya 3 putusan yang pokok perkaranya dipertimbangkan.
Sementara 16 sisanya dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvantkelijke verklaard).
Sehingga, pokok perkaranya tidak dipertimbangkan.
Jika pun dipertimbangkan, MK hanya menyatakan pertimbangan dalam Putusan 53/PUU- XV/2017 berlaku mutatis mutandis.
Maka itu, Yusril dkk mengaku hanya akan memaparkan alasan dari tiga perkara yang putusannya dipertimbangkan.
"Atas dasar tersebut, maka Para Pemohon hanya akan memaparkan batu uji dan alasan permohonan yang berbeda terhadap 3 permohonan yang pokok perkaranya dipertimbangkan," ujar pemohon.
Pemohon juga berargumentasi bahwa syarat presidential threshold malah bertentangan dengan sejumlah pasal UU Pemilu.
Yusril menyebut partainya dalam Pemilu 2019 meraih suara sebanyak 1.099.849 (satu juta sembilan puluh sembilan ribu delapan ratus empat puluh sembilan) atau sebesar 0,79 persen (nol koma tujuh puluh sembilan persen) dari total suara yang telah ditetapkan KPU.
Menurut Yusril, meski tak memenuhi syarat perolehan suara di parlemen, partainya memiliki hak untuk mengajukan calon presiden.
Hal itu sesuai Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Namun, hak tersebut kini dibatasi karena Pasal 222 UU Pemilu.
Menurut pihaknya, Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan prinsip negara hukum agar presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan pemilu yang periodik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Karena itu, ia menuntut Pasal 222 harus dihapus untuk membuka ruang lebih lebar bagi arus perubahan sesuai dengan dinamika dan aspirasi masyarakat.
"Berdasarkan argumentasi di atas, maka jelas terlihat bahwa keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945," kata pemohon.
Menurut pemohon, Pasal 222 lebih condong ke status quo yang tidak demokratis ketimbang kepada arus perubahan yang reformis.
Pasal 222 lebih menguntungkan parpol lama-terlebih dengan syarat hasil pemilu 5 tahun sebelumnya, dan akibatnya akan cenderung mempertahankan kekuasaan lama dan menutup peluang perubahan (reformasi).
"Padahal kekuasaan yang cenderung bertahan lama tetap akan cenderung koruptif, dan karenanya membutuhkan pembaharuan," tegas pemohon.
Karena itu, pasal 222 harus dihilangkan untuk membuka ruang lebih lebar bagi arus perubahan sesuai dengan dinamika dan aspirasi rakyat pemilih, yang lebih sesuai dengan esensi pemilihan presiden langsung oleh rakyat sebagaimana diamanatkan pasal 6A UUD 1945, dan pemilu yang periodik sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," kata Pemohon demikian dikutip dari berkas gugatan.