Haruskah Kebijakan PPDB Zonasi Disalahkan?

Carut marut PPDB sistem zonasi Tahun 2023, haruskah kebijakan PPDB zonasi Kemdikbud disalahkan?

|
Editor: Muji Lestari
Istimewa
Dosen FHISIP Universitas Terbuka, Meita Istianda. 

Oleh Meita Istianda, Dosen FHISIP Universitas Terbuka

TRIBUNJAKARTA.COM - Beberapa minggu belakangan ini, fokus sebagian masyarakat kita terkait dunia pendidikan disibukkan dengan fenomena keriuhan orang tua dalam mencarikan sekolah bagi anaknya.

Keriuhan disebabkan adanya ketidakpuasan ketika Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi menjadi ajang titipan pejabat, manipulasi data, dan potensi politik transaksional.

Penerapan sistem zonasi ini kemudian dituding menjadi biang masalah. 

Sistem zonasi mengacu pada kebijakan Kementerian Pendidikan untuk mencapai pemerataan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan. Sistem zonasi pendidikan ini, ditujukan untuk:

  1. Keberpihakan kepada anak tidak mampu
  2. Menghapus diskriminasi dan ketidakadilan
  3. Terwujudnya pemerataan kuantitas dan kualitas sekolah termasuk guru
  4. Menjadikan sekolah tempat belajar menyenangkan dan penguatan pendidikan karakter; dan
  5. Membantu Pemda dalam pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) pertama kali mengatur PPDB pada tahun 2017.

Pada tahun 2018 PPDB pada taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan, atau bentuk lain yang sederajat diatur melalui Permendikbud No.14 Tahun 2018.

Pada peraturan tersebut secara tegas menyebutkan bahwa sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah (sekolah negeri) mengemban kewajiban menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.

Namun, pada kenyataannya dari tahun ke tahun, bahkan di 2023 ini, persentase 90 persen tersebut justru terindikasi bukan dari peserta didik dalam radius rerdekat dengan sekolah.

Sehingga menimbulkan plemik dan protes dari masyarakat.

Masalah zonasi ini menjadi trending topic di masyarakat mulai dari pusat hingga daerah, adalah karena dipicu kecurangan yang dilakukan oleh oknum masyarakat maupun oknum sekolah dalam hal upaya masyarakkat menempatkan anaknya pada sekolah favorit.

Beberapa oknum masyarakat dalam upaya mendapatkan sekolah favorit, rela melakukan hal-hal yang tidak terpuji, seperti memanipulasi data Kartu Keluarga (KK) berkaitan dengan tempat tinggal, mengupayakan katabelece melalui pejabat, anggota DPR, indikasi transaksional melalui komite sekolah dan kepala sekolah, dan upaya lainnya.

Sudah pandang masyarakat, yang juga sudah terbentuk sejak lama, menyumbang permasalahan pada program zonasi tidak dapat diimplementasikan dengan baik. 

Hal ini juga karena adanya anggapan di tengah masyarakat, pertama, bahwa sekolah favorit adalah sekolah yang mampu memberikan jaminan kesejahteraan di masa depan yang masih kuat terpatri.

Kedua, timbulnya rasa prestisius dan gengsi dapat bersekolah di sekolah favorit. serta ketiga, anggapan dengan bersekolah di sekolah favorit, peluang besar diterima di jenjang pendidikan lanjut (universitas) favorit dan prestisius terbuka luas.

Anggapan ini tidak dapat disalahkan, karena sekolah-sekolah favorit biasanya sekolah dengan fasilitas yang mumpuni dan SDM pengajar yang kompetensinya terpilih pula.

Permasalahan PPDB di dunia pendidikan tingkat menengah ke dasar sudah menjadi fenomena bertahun-tahun dengan sudut pandang di masyarakat terkait tiga hal tersebut.

Sudut pandang masyarakat ini tida terkecuali juga merambah ke dunia pendidikan tinggi.

Masyarakat juga berlomba-lombang menempatkan anaknya pada perguruan tinggi favorit, bergengsi, dan 'menjamin' kesejahteraan di masa depan, sekalipun harus merogoh kocek besar, maupun melakukan berbagai cara jalan pintas.

Padahal, sebagai contoh dalam kontek pendidikan tinggi, pemerintah telah memiliki solusi dengan membuat open university yaitu Universitas Terbuka yang daya tampungnya tidak terbatas bagi siapa pun yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi, dan dengan harga yang sangat terjangkau pula.

Namun, solusi seperti conton ini pun, belum mengena di masyarakat.

Keberpihakan Negara Terhadap Peningkatan Kualitas SDM

Negara sebagai pemegang otoritas sah untuk mengembangkan SDM rakyatnya, sudah dibekali berbagai instrument peraturan. Instrumen paling asasi adalah Undang-undang Dasar.

UUD yanng membahas tentang pendidikan, berada pada Bab XIII, di mana pada Pasal 31 ayat (1) dinyatan setiap warga negara berhak mednapat pendidikan.

Ayat (2), setiap warga negara wajib mengikuti pendidikand asar dan pemerintah wajib membiayainya.

Ayat (3), pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangasa, yang diatur dengan undang-undang.

Apabila kita menagacu pada UUD, maka jelas warga negara harus mendapatkan haknya dalam pendidikan (ayat1). Artinya pendidikan itu hak warga negara yang harus difasilitasi oleh pemerintah.

Namun dalam ayat ini belum dijelaskan kategori atau jenjang pendidikan yang dimaksud. Apakah hal warganegara tersebut termasuk seluruh jenjang atau sebagian jenjang pendidikan.Sebab pada pasal berikut dibedakan antara hak dankewajiban.

Dalam konteks kewajiban warga negara terhadap pendidikan, dikhususkan, kewajibannya adalah pada jenjang pendidikan dasar, di mana pemerintah wajib membiayai.

Jadi dalam pasal ini ayat 2, pemerintah memiliki kewajiban membiayai pada jenjang pendidikan dasar.

Bagaimana untuk jenjang pendidikanselanjutnya, jenjang menengah, atas, dan tinggi.

Pasal ini bisa ditafsirkan, pendidikan memang hak warga negara, tetapi dalam konteks membiayai, kewajiban pemerintah ada pada skup pendidikan dasar. Untuk jenjang pendidikan menengah ke atas, pemerintah tidak memiliki kewajiban.

Apakah artinya kewajiban tersebut diserahkan pada masyarakat dan mekanisme pasar?

Permasalahan kewajiban dalam membiayai atau memfasilitasi dapat dirujuk pada ayat (4) yaitu Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Hal ini dapat diartikan untuk jenjang menengah ke atas pembiayaan atau fasilitasi dilakukan melalui 20 persen APBN dan APBD.

Masalahnya adalah apakah political will dari APBN dan APBD telah betul betul dialokasikan untuk ini.

Karena tentu pemerintah harus juga menjalankan ayat (5) yaitu pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Artinya ujung yang harus dicapai dari tujuan pendidikan adalah kesejahteraan manusia Indonesia.

Mengacu permasalahan di atas, di mana kekisruhan PPDB menimbulkan ketidakpuasan
pada masyarakat yang gagal menempatkan anaknya pada sekolah yang diminati, walau
telah diatur melalui program zonasi, dapat dilihat dari tiga hal.

Pertama, ketersediaan sekolah yang baik pada tingkat menengah ke atas.

Kedua, sudut pandang masyarakat terkait sekolah favorit dan tidak favorit, serta prestisius/gengsi.

Ketiga, budaya masyarakat yang menghalalkan segala cara dalam melaksanakan keinginannya.

Sebagaimana kita ketahui Indonesia memasuki era bonus demografi. Pada tahun 2022 jumlah penduduk Indonesia 275.36 juta jiwa.

Kategori usia sekolah: 5-9 tahun (23.58 persen), 15-19 tahun (21.62 persen), 20-24 tahun 23.07 persen. (Sumber: databoks).

Daya tampung sekolah negeri sangat jauh dari jumlah penduduk. Sebagai contoh untuk DKI Jakarta saja, daya tampung SMA, SMK, hanya memiliki daya tampung 29.765 siswa, dan SMK 19.206 siswa (Keputusan Gub. DKI No.441/2022).

Sementara jumlah penduduk Jakarta pada kisaran usia masuk SMA/SMK adalah 1.788.859 (https://statistik.jakarta.go.id/kependudukan-dki-jakarta-tahun-2020/), artinya hanya 0,02 persen daya tampung yang sanggup dilakukan pemerintah untuk usia SMA/SMK.

Kesimpulan

Terhadap permasalahan di atas, pertama, jelas terdapat ketidakseimbangan antara jumlah
populasi usia masuk SMA (sebagaimana dicontohkan), dengan ketersediaan sekolah
(sekolah neger).

Di Indonesia memang ada juga sekolah swasta (SMA) jumlahnya 373, tetapi hal tersebut pun sangat tidak-mampu menampung jumlah masyarakat yang besar, di samping sekolah swasta belum menjadi pilihan utama masyarakat, Dari hal ini kita dapat melihat, bahwa penyediaan sarana prasarana Pendidikan_ (membangun sekolah), berjalan sangat sangat lambat, tidak berbanding lurus dengan kecepatan laju jumlah penduduk.

Jika hal ini dibiarkan, bonus demografi yang akan memuncak di 2045, bukan tidak mungkin
menjadi ledakan penduduk milenial yang tidak mendapat akses Pendidikan, sebagai contoh,
Pendidikan SMA.

Bagaimana dengan masa depan dan slogan generasi emas Indonesia. Apakah mereka akan menjadi generasi emas?

Kedua, sudut pandang masyarakat yang belum bergerak dari masalah prestise dan gengsi.

Sudut pandang ini juga mencarutmarutkan sistem zonasi yang secara konsep sudah bagus.

Pemerintah tidak menyiapkan terlebih dulu, semua sekolah dibenahi fasilitasnya menjadikan
mereka berada pada kategori bagus, baik, unggulan, dan seterusnya.

Atau dibuatkan strategi lain, sehingga disparitas kategori antarsekolah tersebut tidak tinggi.

Dengan demikian akan mengurangi kecenderungan masyarakat untuk berlomba-lomba menempatkan anaknya pada sekolah unggulan walau lokasi tempat tinggal jauh dari sekolah tersebut.

Edukasi terhadap persoalan prestise dan gengsi pun perlu digencarkan, bahwa keberhasilan peserta didik tidak semata ditentukan oleh unggulnya suatu sekolah, tetapi bagaimana mendidik
anak agar disiplin dan menyukai belajar.

Ketiga, budaya masyarakat yang memaksakan segala cara untuk mendapatkan keinginannya.

Hal ini pun menjadi persoalan besar negara kita, ketika teladan tidak lagi menjadi panglima pada setiap individu, terlebih jika dilakukan elite pemimpin, tentu akan ditiru oleh yang di bawah.

Dapatkah elite penguasa bergeming untuk tidak mengeluarkan katabelece, dapatkah mereka bersikap adil?

Pada akhirnya, jika pemerintah atau negara telah berani mengeluarkan kebijakan tentu ia harus pula berani mempertanggungjawabkan, dengan tidak memperkosa kebijakan yang telah dikeluarkan hanya demi kepentingan pribadi atau kelompok orang.

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kardinal Keempat Indonesia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved