Quo Vadis Golkar, Menjelang Pemilu Serentak 2024
Heri menyampaikan opini mengenai arah Partai Golkar dalam kontestasi politik 2024. Hal itu terkait dengan adanya kegaduhan di internal Golkar.
Penulis: Dr Heri Herdiawanto MSi, Dekan FISIP Universitas Al Azhar Indonesia
TRIBUNJAKARTA.COM - Mau dibawa kemana Golkar dalam kontestasi politik 2024 ?, menjadi pertanyaan menarik ketika di ruang publik diskusi belakangan ini dipenuhi gambaran nyata adanya kegaduhan di internal partai Golkar.
Adanya desakan musyawarah nasional luar biasa mengindikasikan kekuasaan yang sedang diperebutkan atau dipertahankan.
Pertentangan antara dua kubu mengarah pada pro dan kontra diadakannya Munaslub untuk mengevaluasi kepemimpinan Airlangga Hartarto.
Sekalipun tidak menampik ancaman yang menyertai konflik internal, para politisi di setiap kubu bersikukuh.
Secara terpisah, kader Golkar Bernama Lawrence TP Siburian mengatakan, penyelenggaraan munaslub secepat mungkin merupakan jawaban atas masalah Golkar.
Dengan demikian, partai memiliki waktu yang cukup untuk mengkonsolidasikan kembali kekuatannya untuk mempersiapkan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden.
Semakin lama Munaslub digelar, semakin sedikit waktu yang tersisa bagi Partai Golkar untuk menyatukan kekuatan pascapergantian ketua umum.
Saatnya Golkar "Berbenah”, pernyataan ini pun relevan ketika aspirasi atau dinamika faktor internal tidak mampu diserap secara pro aktif dan dinamika eksternal, tidak mampu direspon secara cermat dan hati-hati maka akan kontraproduktif terhadap upaya konsolidasi partai Golkar sebagai partai berpengalaman.
Kalau (konflik saat ini) tidak terkelola dengan baik, sumber daya Partai Golkar akan tercerai-berai dan itu bisa menyebabkan perolehan suara Golkar akan semakin turun di legislatif.
Kader Golkar lainnya Ridwan Hisjam menyatakan, bahwa Munaslub merupakan konsekuensi logis jika rekomendasi dewan pakar tidak bisa diwujudkan oleh Airlangga.
Berdasarkan hasil rapat 9 Juli lalu, dewan pakar merekomendasikan tiga hal kepada Airlangga, di antaranya meminta Airlangga mendeklarasikan diri sebagai bakal capres dari Golkar sekaligus menentukan pasangannya sesuai mandat Munas 2019, sesegera mungkin paling lambat akhir Agustus.
”Kalau Agustus itu belum dilakukan, maka keputusan Munas 2019 harus diubah, melalui munaslub,” .
Sedangkan ketua dewan etik partai Golkar Mohammad Hatta mengingatkan, penyelenggaraan munaslub harus sesuai dengan ketentuan anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART), yakni diajukan oleh dua pertiga dewan pimpinan daerah (DPD) I atau tingkat provinsi.
Lebih dari itu, penyelenggaraannya juga harus memenuhi kriteria substansial, yakni partai dalam keadaan terancam atau menghadapi kegentingan yang memaksa.
Menurut dia, alasan penyelenggaraan munaslub karena ketua umum sulit untuk mewujudkan amanat munas tidak termasuk kriteria substansial.
”Dewan etik melihat, program yang dihasilkan oleh munas termasuk soal capres/cawapres itu evaluasinya tidak perlu di munaslub, ada rapimnas (rapat pimpinan nasional) atau rapimnas diperluas,” ujar Hatta.
Hal senada diungkapkan para elite Golkar, termasuk Airlangga. Ia menegaskan, tidak ada wacana munaslub. DPP dan seluruh DPD fokus mempersiapkan diri untuk mengikuti Pemilu 2024.
Oleh karena itu manajemen konflik, diperlukan untuk menangani dinamika di dalam tubuh partai Golkar sekarang, dalam spirit mencari solusi bersama secara damai.
Menurut Hatta, kisruh ini digerakkan oleh pihak internal. Berdasarkan klarifikasi yang dilakukan dewan etik terhadap beberapa kader, diketahui adanya upaya untuk menggalang dukungan dari para pengurus daerah.
Ia pun menduga, itu tidak dilakukan secara mandiri oleh tokoh tertentu. ”Kalau tidak ada orang besarnya, mungkin mereka tidak berani,” ujarnya.
Di tengah kisruh yang terjadi selama sebulan terakhir, nama sejumlah tokoh mengemuka untuk menggantikan Airlangga.
Mereka adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Ketua MPR Bambang Soesatyo.
Diantara mereka beberapa nama diusulkan oleh kubu yang mendukung munaslub, bahkan menyatakan kesiapan memimpin Golkar, yakni Luhut dan Bahlil.
Partai politik adalah pilar demokrasi maka kalau partai sebagai pilar utama tidak kondusif bahkan kisruh menjadi preseden buruk pada demokrasi kita.
Dalam konteks kegaduhan di partai Golkar maka akan merugikan bagi kader dan pembangunan demokrasi di Indonesia.
Golkar adalah partai tua dan berpengalaman, kita berada di titik nadir jika kegaduhan di partai-partai terus diabaikan dan tidak tertangani dengan baik.
Partai Golkar sebagai partai lama dan berpengalaman di akui publik memiliki modal sosial, sekaligus modal politik. Faktanya Sumber Daya Manusia berlimpah di internal partai Golkar bahkan jika dirunut secara gamblang partai baru yang muncul di era Orde Reformasi adalah akarnya adalah warga/kader Golkar.
Oleh karena itu keunggulan komparatif yang dimiliki oleh Golkar sejatinya mampu dikelola dan dimaksimalkan sehingga menjadi keunggulan kompetitif.
Beragam faktor tentu menjadi penyebab kegaduhan dipartai beringin misalnya faktor leadership, sedangkan dari aspek eksternal tampak pemerintah yang sedang berkuasa semestinya netral, terindikasi sebaliknya dengan mencoba mengganggu/penetrasi baik secara langsung atau tidak langsung.
Sebagaimana yang terjadi pada partai Demokrat versi Moeldoko yang masih on going proses hukum. Hal demikian menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia tidak steril dari intervensi faktor kekuasaan pemerintah.
Jika dikembalikan pada landasan hukum maka menjelang tahun politik 2024 bangsa Indonesia harus memastikan pemilu dilaksanakan dengan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil) seperti dinyatakan dalam Pasal 22E Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Semua pihak harus taat azas dan konsekwen pada payung hukum yang ada, jika menginginkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui perwujudan daulat rakyat di Pemilu 2024.
Pancasila sila ke empat, yaitu; “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan harus menjadi rujukan dalam cara kita berdemokrasi karena sekarang kita tidak sedang well demokrasi.
Hal ini selaras juga dengan pendapat Carter dan John H. Herz bahwa kriteria dari negara demokrasi antara lain adanya kebebasan berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik.
Perbedaan pandangan politik tidak dipahami sebagai anti pemerintah atau bahkan lawan politik, namun sebaliknya sebagai bagian dari implementasi hak kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi. Hukum kita harusnya bisa mengawal tapi sama saja iklim hukum kita juga dihadapkan pada realitas yang memprihatinkan.
Banyak prilaku dan distorsi dari elit politik kita, yang menjadikan hukum sebagai alat untuk menjatuhkan lawan politik, misalnya melalui jeratan Korupsi.
Publik pun obyektif menilai, berbekal penguasaannya terhadap Pimpinan KPK, yang baru saja diperpanjang masa jabatannya oleh putusan MK, Presiden mengarahkan kasus mana yang dijalankan, dan kasus mana yang dihentikan, termasuk oleh kejaksaan dan kepolisian.
Bukan hanya melalui kasus hukum, bahkan kedaulatan partai politik juga diganggu jika ada tindakan politik yang tidak sesuai dengan rencana strategi pemenangan Pilpres 2024. Hal demikian menunjukkan adanya intervensi dan merusak prinsip Independensi partai politik sebagai pilar utama demokrasi di Indonesia.
Undang-Undang Pemilu, yang dijadikan landasan Pemilu serentak 2024 masih sama yaitu, UU 7 tahun 2017. Elektoral Threshold, memiliki dampak signifikan terhadap kontestasi yang terjadi sebelum, menjelang dan sesudah Pemilu.
Selain partai PDIP tidak ada yang memenuhi ambang batas 20 persen sebagai syarat kuantitatif untuk mengusung pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, sehingga berkonsekwensi pada partai lain menentukan arah koalisi demi kesinambungan partainya.
Tantangan dan peluang, pemilu serentak 2024 baik untuk Pilpres dan Pileg 14 Februari atau 27 Nopember saat Pilkada terjadwalkan, maka sejujurnya akan ditentukan dari langkah yang diambil sekarang.
Idealnya Pemilu adalah wujud daulat rakyat, dan sebagai mekanisme legal untuk menjaga kesinambungan kepemimpinan di Indonesia dari level supra sampai dengan infra struktur politik di daerah.
Konsolidasi demokrasi lancar jika dilandasi hukum yang tegak namun jika sebaliknya maka akan terjadi anarki. Semangat kita bukan membela sekelompok kepentingan tapi mengawal sistem demokrasi.
Waspadalah terhadap perpecahan, melalui pelajaran dari konflik partai Golkar saat ini. Seperti analogi rumahtangga yang harmonis atau ibarat keluarga cemara mendadak dilempar batu dari luar rumah, tuan rumah berantam karena saling tuduh siapa yang melempar bukan bersama mengejar siapa yang melempar batu.
Akhirnya hikmah yang bisa diambil sebagai pelajaran adalah kembalikan pada fungsi partai sebagaimana mestinya, yaitu sebagai sarana Komunikasi Politik, Sarana Sosialisasi Politik, Sarana Rekrutmen Politik, Sarana Pengatur Konflik, Sarana Artikulasi Kepentingan atau Agregasi.
Hal demikian di Indonesia faktanya belum berjalan sebagaimana yang diharapkan khususnya menjadikan fungsi partai sebagai sarana pengatur konflik. Wallahu’alam Bissyawab
Baca artikel menarik lainnya TribunJakarta.com di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.