Pemikiran yang Membentuk Bangsa Indonesia

Setidaknya ada 3 pemikiran yang mendasari perjuangan rakyat Indonesia untuk keluar dari belenggu penjajahan: Nasionalisme, Marxixme dan Islamisme

iStock
Ilustrasi Bendera Indonesia - Kemerdekaan hingga terbentuknya negara Indonesia adalah buah pikir tiga pemikiran utama, nasionalisme, islamisme dan marxisme. 

 

Hari ini 78 tahun silam, bangsa Indonesia mencapai sebuah momen penting dalam sejarah revolusi kebangsaan yang telah diidamkan semenjak kolonialisme merenggut kebebasan rakyat Nusantara. Momen itulah yang disebut proklamasi kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Sukarno pada pukul 10.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta dengan hikmat. Momentum itu menjadi hari yang akan selalu dikenang oleh bangsa Indonesia.

Kemerdekaan itu tidak bisa diraih dengan usaha-usaha yang praktis. Banyak pergolakan pemikiran dan bentur-benturan antara rakyat pribumi dengan kaum kolonialis semasa perjuangan revolusi nasional. Setidaknya ada 3 buah pemikiran yang mendasari perjuangan rakyat Hindia (Indonesia) untuk keluar dari belenggu penjajahan. Pemikiran itu ialah Nasionalisme, Islamisme, dan marxisme. Tiga pemikiran ini yang banyak disebut sebagai tonggak perjuangan melawan kolonial yang revolusioner progresif.

Namun pada masa ini, marxisme kian dilupakan oleh banyak orang. Tidak lain karena apa yang terjadi usai 1 Oktober 1965. Popularitas dan eksistensi pemikiran yang datang dari Karl Marx itu menjadi tabu hingga hari ini sehingga rakyat lupa bahwa marxisme juga merupakan aspek penting pembentuk bangsa. Pancasila juga bisa termanifestasi karena peran dari marxisme. Karenanya, sebaik-baiknya bangsa adalah mereka yang mengerti dan menghargai sejarahnya sendiri.

Sementara itu, Nasionalisme dan Islamisme terus berkembang di Indonesia dan menjadi sebuah ideologi dari fraksi-fraksi yang mewakili masing-masing pemikiran. Pancasila sendiri yang merupakan manifestasi dari ketiga paham tersebut dijadikan ideologi dan simbol negara. Pancasila juga menjadi sebuah alat pemersatu bangsa karena eksistensinya mampu menyatukan perbedaan yang datang dari pelbagai pemikiran. Meski begitu Pancasila kerap mendapatkan kritik karena tidak sesuai dengan pengertian ideologi secara falsafah. Namun, mari mengenang kembali sejarah bangsa yang berhasil terbentuk berkat tiga pemikiran itu yang kemudian Sukarno fusikan dalam bentuk Pancasila agar kita sebagai rakyat bisa memupuk kesadaran nasional masing-masing. Juga kesadaran beragama dan kesadaran kelas.

Nasionalisme

Nasionalisme memiliki makna memupuk rasa cinta terhadap bangsa sendiri dan tidak memandang rendah bangsa lain. Pemikiran ini datang dari rakyat pribumi Hindia yang memiliki kesadaran kebangsaan dan kesadaraan bahwa tanah yang mereka tempati ini tengah dirauk oleh bangsa-bangsa Eropa yang bersifat kolonialis. Namun kesadaran kebangsaan dan nasionalisme tidak dapat terpenuhi tanpa pendidikan barat yang diajarkan oleh orang Belanda sendiri kepada para pribumi. Ya meskipun pribumi yang memperoleh hak pendidikan pada masa itu hanya golongan ningrat saja. Hal ini yang menjadi sebuah ironi karena nasionalisme juga bisa lahir berkat peran penjajahnya sendiri.

Namun kembali lagi pada diri masing-masing. Meskipun Belanda telah memberikan akses pendidikan melalui sekolah-sekolahnya, kesadaran nasional hanya bisa terpacu akan realisme sosial serta hati nurani sendiri. Tidak sedikit para priyayi justru lebih suka mengabdi pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda dibanding berjuang bersama rakyat kecil melawan penindasan. Sjarikat Prijaji, organisasi kebangsaan yang didominasi kaum priyayi besutan Tirto Adhi Soerjo merupakan salah contoh bobroknya kaum terpelajar yang tidak nasionalis. Tidak heran organisasi ini jatuh sebelum mereka melangkah. Tirto memang seorang nasionalis yang melegenda, namun Sjarikat Prijaji tidak mencerminkan watak dari seorang nasionalisme. Karenanya Tirto membubarkannya dan fokus di suratkabar Medan Prijaji. Jadi kembali lagi pada realisme sosial. Kaum terpelajar yang telah terlena dengan janji-janji gubermen tidak akan bisa mencapai nasionalisme sebelum dirinya memiliki hati nurani terhadap realisme sosial bangsanya sendiri.

Kita tahu setelahnya Tirto membentuk Sjarikat Dagang Islam (SDI) yang merupakan perpaduan nasionalisme dan islam sebagai wadah persatuan rakyat dalam mewujudkan bangsa yang merdeka. Dari SDI kita dapat melihat mulai beredarnya organisasi pergerakan modern dengan praktik-praktik non kooperatif seperti Indische Partij yang didirikan tiga serangkai. Maraknya organisasi pergerakan ini merupakan manifestasi dari nasionalisme yakni satu tujuan mewujudkan bangsa Indonesia merdeka.

Kedepannya, nasionalisme akan terus membersamai sejarah Indonesia hingga hari ini. Karena praktik-praktiknya yang revolusioner dalam menentang penjajahan, Sukarno memasukan nasionalisme sebagai alat perjuangan bangsa Indonesia beserta 2 pemikiran lainnya dalam sebuah artikel yang ia tulis semasa kuliah di Bandung, berjudul “Nasionalisme-Islamisme-Marxisme”.

Islamisme

Masih dalam pemikiran yang digagas Sukarno dalam artikelnya dan kali ini adalah Islamisme, sebuah pemikiran yang didasari dari agama Islam sebagai bentuk perjuangan melawan ketertindasan. Islamisme secara falsafah berarti menjadikan Islam sebagai pedoman kehidupan bagi para pemeluknya dari banyak faktor-faktor kehidupan.

Banyak organisasi pergerakan modern dengan Islam sebagai tiangnya di antaranya yang telah disebutkan diatas yaitu Sjarikat Dagang Islam yang nantinya akan berubah menjadi Sarekat Islam (SI) dan dipimpin oleh sang guru bangsa, H.O.S Tjokroaminoto. Selain SI, banyak organisasi yang bertujuan untuk pembaharuan Islam seperti Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan Nahdlatul Ulama (NU) dengan tokoh kharismatiknya K.H Hasyim Asy’ari. Di era penjajahan Jepang juga hadir Majelis Syuro Muslimin (MASYUMI) yang merupakan gabungan dari banyak organisasi muslim yang dikemudian hari menjadi partai politik yang diketuai Natsir dengan ideologi Islamisme.

Sebagai umat muslim, sudah sepastinya kita sadar bahwa segala macam bentuk eksploitasi manusia merupakan larangan Allah Swt. termasuk juga penjajahan yang sangat merugikan suatu bangsa terjajah. Karena Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia, maka salah satu bentuk perjuangan revolusioner adalah dengan Islamisme. Menyokong massa muslimin dan menjadikan Islam sebagai alat pemersatu merupakan jalan yang sangat tepat dan revolusioner semasa penjajahan. Pada masa itu juga, sangat banyak para pemuka agama Islam yang sering didekati oleh pihak kolonial untuk menggugah hati massa, salah satunya adalah Buya Hamka semasa penjajahan Jepang. Itu merupakan salah satu bukti pentingnya Islam dalam perpolitikan di Indonesia sejak zaman kolonial hingga hari ini.

Sukarno tidak hanya sosok yang nasionalis. Dirinya belajar banyak soal Islam semasa hidup bersama Tjokroaminoto di Surabaya dulu ketika masih sekolah di HBS. Dari sini Sukarno banyak belajar soal pemikiran-pemikiran termasuk islamisme dan marxisme. Terlebih lagi banyak teman-teman Sukarno yang satu kost di rumah Tjokroaminoto merupakan orang-orang marxis seperti Semaun, Alimin, Darsono, dan Musso. Momen ini menjadi sebuah momentum dalam diri Sukarno untuk menggabungkan nasionalisme, islamisme, dan marxisme yang akan ia wujudi dalam bentuk Pancasila. Sukano juga menyadari bahwa baik islam dan marxis itu saling berkaitan satu sama lain dan kedua pemikiran ini adalah jalan mewujudkan nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kardinal Keempat Indonesia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved