Bikin Trenyuh, Kisah Pak Guru Lukas Tak Terima Gaji 10 Tahun, Jadi Pekerja Kebun Demi Bertahan Hidup

Kisah seorang guru bernama Lukas Kolo membuat trenyuh. Ia belum digaji selama 10 tahun mengajar di SMP Negeri Wini. Bertahan hidup jadi pekerja kebun.

Kolase Foto TribunJakarta/Kompas.com
Kolase Foto Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri Wini Lukas Kolo dan Ilustrasi Siswa SMP. Kisah seorang guru bernama Lukas Kolo membuat trenyuh. Ia belum digaji selama 10 tahun mengajar di SMP Negeri Wini. Bertahan hidup jadi pekerja kebun. 

TRIBUNJAKARTA.COM, NTT - Kisah seorang guru bernama Lukas Kolo membuat trenyuh.

Lukas harus bekerja sebagai pekerja kebun dan menjual hewan demi bertahan hidup.

Bahkan, ia terpaksa tinggal sehari-hari bersama keluarganya di perpustakaan sekolah.

Perpustakaan sekolah itu memang dialihfungsikan sebagai tempat tinggal sementara untuk para guru.

Diketahui, Lukas Kolo telah mengabdi sebagai pengajar selama 10 tahun di SMP Negeri Wini yang terletak di Humusu C, Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Namun, ia tidak pernah menerima gaji selama 10 tahun mengajar di sekolah yang berada di perbatasan Indonesia-Timor Leste.

Ada sebanyak 235 siswa yang bersekolah di SMP Negeri Wini pada tahun ajaran 2023/2024.

Sementara, total tenaga pengajar berjumlah 31 guru yang terdiri dari 14 guru PPPK dan 17 tenaga honorer.

Guru di SMP Negeri Wini Pak Lukas yang tak pernah terima gaji 10 tahun
Guru di SMP Negeri Wini Pak Lukas yang tak pernah terima gaji 10 tahun (Kompas.com)

Guru di SMP Negeri Wini dituntut kreatif dalam melakukan kegiatan belajar mengajar karena keterbatasan fasilitas.

Meski belum pernah digaji, Lukas menjalani profesinya sebagai guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri Wini dengan sukacita.

Padahal, Lukas telah menerima Surat Keputusan (SK) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) pada Agustus 2023 lalu.

Namun, hingga saat ini ia belum menerima gaji.

“Saya terima SK tanggal 7 Agustus 2023, sampai hari ini belum terima gaji. Mungkin pemerintah masih urus, karena terlalu banyak peserta,” ungkap Lukas.

Lukas tidak mengetahui secara pasti kapan akan menerima gaji. Saat ini, dirinya hanya bisa menunggu saja.

Di SMP Negeri Wini ini, Lukas bersama keluarganya sengaja tinggal di ruang perpustakan yang dialihfungsikan menjadi mes.

Hal tersebut demi menghemat biaya transportasi dari rumahnya di Bakitolas yang jaraknya sekitar 25 kilometer ke SMP Negeri Wini.

“Pulangnya kalau ada keperluan saja. Ya kadang satu bulan sekali. Yang menginap di mes ada tiga guru, termasuk saya,” ungkapnya.

Dia mengaku harus membuat alat peraga karena tak memiliki lab bahasa.

“Sejauh ini, kami hanya bisa pakai alat peraga. Kami kreatif sendiri untuk membuat gambar atau poster. Kami sediakan dan kami paparkan agar mereka tahu tentang apa,” tuturnya.

Sementara itu Guru Bahasa Inggris, Frederikus Tnepu Bana (34) mengungkapkan
saat praktik listening atau praktik mendengarkan percakapan Bahasa Inggris harus menggunakan speaker atau pengeras suara kecil yang disambungkan ke ponsel.

Frederikus mengungkapkan bahwa SMP Negeri Wini tak memiliki proyektor untuk mengajar.

Bahkan terkadang dirinya meminjam proyektor ke SD Katolik Wini yang tak jauh dari sekolahnya.

“Kami kadang kalau mau pakai Infocus (merek proyektor) harus pinjam dari SD Katolik Wini. Karena kan mereka ada. Kalau ada pertemuan orangtua dan urgent, ya harus pinjam,” ujar Frederikus.

Di sisi lain, setiap guru harus membeli buku referensi tambahan dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk siswa.

“(Kalau ada tambahan belajar, guru) harus beli. Terkadang, buku referensinya disiapkan oleh guru, lalu mereka fotokopi,” ucap Guru Bahasa Indonesia, Aryance Paulina Thake Kolo.

Lukas pun meminta Pemerintah Indonesia memperhatikan tenaga pengajar di pelosok negeri yang jauh dari kata sejahtera.

Apalagi di wilayah perbatasan banyak tenaga guru honorer.

“Karena di sini banyak guru honorer. Tentunya pemerintah harus membuka mata. Karena, tanpa guru, dunia bisa mati. Guru yang bisa mencerdaskan bangsa,” katanya.

“Kebutuhan sangat menuntut, tapi pemerintah kurang memperhatikan, itu kendala kami di situ. Jadi, kami mohon supaya, untuk ke depan, perhatikan guru,” ucap Lukas melanjutkan.

Serupa dengan Lukas, Frederikus berharap pemerintah lebih memperhatikan tenaga pendidik.

“Anak bangsa ini perlu dididik. Tapi, bagaimana dengan kami yang pendidik? Itu yang perlu diperhatikan oleh pemerintah,” ujarnya.

Terlepas dari hal tersebut, Frederikus juga tetap berharap agar siswanya yang lulus bisa melanjutkan ke jenjang tinggi dan tidak kalah saing dengan anak yang bersekolah di kota.


Baca artikel menarik TribunJakarta.com lainnya di Google News

Artikel ini telah tayang di TribunJatim.com dengan judul 10 Tahun Ngajar Pak Guru Lukas Tak Pernah Digaji, Tinggal di Perpus Sekolah, 'Mungkin Masih Diurus' 

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved