Kalut Pedagang Warteg Imbas Harga Cabai Naik, Mau Naikkan Harga Tapi Takut Pelanggan Kabur

Pedagang warteg kini harus putar otak mensiasati kenaikan harga cabai rawit merah di pasaran yang terjadi sejak akhir tahun 2024.

Penulis: Bima Putra | Editor: Jaisy Rahman Tohir
Tribunnews/Ferryal Immanuel
Ilustrasi warteg - Para pemilik warung Tegal atau warteg menyuarakan aspirasi agar pemerintah memberikan bantuan kepada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) seperti warteg, yang terdampak kenaikan harga BBM. 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Bima Putra

TRIBUNJAKARTA.COM, KRAMAT JATI - Pedagang warteg kini harus putar otak mensiasati kenaikan harga cabai rawit merah di pasaran yang terjadi sejak akhir tahun 2024.

Harga cabai rawit merah yang normalnya di bawah Rp50 ribu per kilogram, kini melonjak drastis berkisar Rp80 ribu per kilogram di tingkat pasar induk dan Rp100 ribu di tingkat pedagang eceran.

Ketua Koperasi warteg Nusantara (Kowantara), Mukroni mengatakan imbas naiknya harga pedagang dihadapkan dua pilihan antara mengurangi penggunaan cabai atau menaikkan harga menu.

"Lonjakan harga cabai membuat biaya produksi meningkat. warteg mencari alternatif seperti mengurangi jumlah cabai atau menaikkan harga makanan," kata Mukroni, Jumat (10/1/2025).

Bila pedagang warteg memilih mengurangi penggunaan cabai rawit merah untuk menu olahan maka hal ini dapat mempengaruhi cita rasa menu masakan disajikan.

Bahkan berisiko membuat pelanggan justru kabur karena rasa menu favorit mereka sudah tidak cocok di lidah, sementara bila tidak dikurangi beban biaya produksi pedagang membengkak.

Dalam satu harinya rata-rata pedagang warteg dapat menghabiskan 1/2 kilogram cabai rawit merah, 1 kilogram cabai keriting, dan 1 kilogram cabai hijau untuk keperluan berbagai olahan menu.

"warteg mungkin mengurangi porsi cabai pada masakan atau menggantinya dengan cabai yang lebih murah. Hal ini bisa memengaruhi cita rasa khas yang menjadi daya tarik warteg," ujarnya.

Sementara bila pedagang memilih menaikkan harga menu untuk mengimbangi biaya produksi, Mukroni menuturkan hal ini justru berisiko memberatkan daya beli pelanggan warteg.

Pasalnya warteg dikenal sebagai tempat makan masyarakat menengah ke bawah, sehingga bila menaikkan harga untuk menu maka dikhawatirkan pembeli justru beralih ke tempat lain.

Pilihan mengurangi penggunaan porsi cabai atau menaikkan harga menu ini membuat pedagang warteg dilema, sementara mereka harus mempertahankan usahanya.

"warteg mungkin terpaksa menaikkan harga jual makanan. Namun, kenaikan harga berisiko mengurangi daya beli pelanggan, terutama dari kalangan menengah ke bawah," tuturnya.

Sumber: Tribun Jakarta
Tags
warteg
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved