Beri Cap One Man Show, PKS Sepakat dengan PDIP Soal Barak Militer Dedi Mulyadi: Kurang Fokus
PKS sempat menganggap Gubernur Jabar Dedi Mulyadi sosok one man show. . Kini PKS sepakat dengan PDIP soal program anak nakal masuk barak militer.
TRIBUNJAKARTA.COM - Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dr Gamal Albinsaid tidak setuju dengan program siswa bermasalah masuk barak militer yang digagas Dedi Mulyadi.
Hal ini sejalan dengan Wakil Ketua DPRD Jawa Barat asal PDIP Ono Surono yang menolak tegas kebijakan Dedi Mulyadi terkait program barak militer.
Diketahui, PKS bukan cuma tidak setuju dengan program barak militer Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Sebelumnya, PKS juga menganggap gaya Gubernur Jabar Dedi Mulyadi memimpin tanpa diskusi dan one man show.
Ketua DPW PKS Jabar, Haru Suandharu menyayangkan kebijakan Dedi Mulyadi yang cenderung dikeluarkan secara sepihak dan langsung dipublikasikan melalui media sosial tanpa melibatkan diskusi dengan para pakar dan DPRD.
Kini, politikus muda PKS sekaligus Anggota DPR RI dr Gamal Albinsaid memberikan alasan penolakan terhadap program siswa nakal masuk barak militer yang dijalankan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.
"Gubernur Jabar punya tanggung jawab moral dan konstitusional untuk menyelesaikan lebih dari setengah juta anak di Jabar yang putus sekolah," tulis Gamal dikutip TribunJakarta dari akun instagram terverifikasi @gamalalbinsaid, Selasa (20/5/2025).
"Anggaran Rp 6 miliar dari APBD untuk 900 anak yang disebut nakal itu perlu kita bandingkan dengan data yang menunjukkan 658.831 anak di Jabar yang tidak bersekolah," sambungnya.
dr Gamal pun memberikan data yakni berupa 164.631 anak di Jabar drop out (DO), 198.570 anak di Jabar lulus tidak melanjutkan (LTM), 295.530 anak di Jabar belum pernah bersekolah (BPB).
Gamal mengatakan pendidikan militer untuk siswa tidak sesuai dengan prinsip pendidikan modern, kurang fokus pada akar masalah, menimbulkan stigmatisasi dan diskriminasi, serta berpotensi melanggar hak-hak anak.
"Selain berbagai penelitian yang menunjukkan ketidakefektifan pendidikan militer untuk remaja tersebut," katanya.
Gamal lalu menyampaikan pandangan terkait pendidikan militer untuk anak yang dianggap nakal.

Pertama, belum ada bukti kuat efetktivitas pendidikan militer untuk mengurangi atau menghentikan kenakalan.
"Tanpa evidence-based, maka kebijakan itu lahir dengan proses simplifikasi atau penyederhanaan dan kurangnya pemahaman mendalam atas kompleksitas pengasuhan anak," ucapnya.
Kedua, kata Gamal, pendidikan militeristik ini untuk anak itu tidak sesuai dengan prinsip pendidikan modern yang menekankan pendekatan psikologis an pembinaan karakter yang positif.
"Ketiga, kebijakan ini kurang fokus pada akar masalah," ucapnya.
"Anak dan remaja tidak lahir nakal, tidak tiba-tiba nakal, tapi berespon terhadap sistem yang gagal mendukungnya. Dalam ilmu pedagogi, kenakalan adalah gejala atau ekspresi dari kebutuhan yang belum terpenuhi," sambung Gamal.
Gamal mengungkapkan anak disebut nakal karena merespon lingkungan. Hal itu bisa terjadi karena masalah keluarga seperti pengabaian orang tua, kurangnya perhatian orang tua, broken home, lingkungan pergaulan yang tidak kondusif, trauma masa kecil yang berpengaruh pada psikologi, pendidikan, pengajaran dan pengasuhan yang buruk atau represif di rumah atau sekolah.
"Apakah pendidikan ala militer ini menyelesaikan akar masalah tersebut? Tidak," ujarnya.
Keempat, lanjut Gamal, pendidikan militer ini berpotensi melanggar hak-hak mendasar anak, khususnya Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child atau CRC) secara jelas menekankan pentingnya lingkungan keluarga dan peran orang tua bagi perkembangan anak, terutama pasal 5 dan 9.
Kelima, Postensi stigmatisasi dan diskriminasi.
"Anak-anak yang sudah masuk bootcamp mereka dilabeli anak nakal atau bermasalah dimana hal tersebut memberikan beban tersendiri untuk anak-anak. Bayangkan anak-anak Bapak Ibu semua dijemput oleh militer dibawa ke barak atau diantarkan oleh orang tua kesana, lalu oleh teman-temannya di kampung atau sekolah putra-putri Bapak Ibu dianggap nakal," jelas Gamal.
Gamal pun tidak sekedar memberi kritik. Ia juga memberikan solusi kebijakan alternatif
dalam pendidikan anak yang dianggap nakal atau bermasalah.
Solusi jangka pendek antara lain :
Solusinya bukan barak militer, tapi ekosistem dukungan (supportive ecosystem) terdiri dari empat hal.
1. Sistem pendidikan yang memulihkan (restorative education).
2. Dukungan psikologis berbasis komunitas.
3. Penguatan dan reformasi fasilitas dan SDM konseling,
4. Pendekatan yang memulihkan relasi anak dengan diri, keluarga, komunitas, dan masyarakat.
Sedangkan untuk solusi jangka panjang yang bisa kita lakukan antara lain :
1. Memperkuat sistem dukungan psikososial
2. Pendidikan karakter berbasis empati dan generosity.
Beberapa rekomendasi kami untuk Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait dengan pendidikan ala militer untuk siswa, antara lain :
1. Menerapkan evidence based policy dan melibatkan berbagai stakeholder pendidikan dalam merumuskan dan membuat kebijakan pendidikan.
2. Memperjelas indikator anak yang disebut nakal atau bermasalah.
3. Mencegah stigmatisasi, diskriminasi, dan potensi pelanggaran hak anak-anak yang ikut pendidikan di barak militer.
Sikap PDIP
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Ono Surono, kembali menegaskan penolakan tegas terhadap kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengirim siswa nakal ke dalam program barak militer sebagai bentuk pendidikan karakter.
Menurutnya, program tersebut tidak hanya menyimpang dari sistem pendidikan nasional, tetapi juga berpotensi melanggar hak asasi anak.
"Ya tetap ya, kita tolak," kata Ono yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat, di BIJB Kertajati, Majalengka, Senin (19/5/2025).
Ia merujuk pada temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyoroti berbagai persoalan dalam pelaksanaan program ini.
Menurut Ono, KPAI telah menemukan sejumlah pelanggaran di lapangan. Temuan itu mulai dari pemaksaan kepada anak-anak dengan ancaman tidak naik kelas jika menolak ikut program, hingga ketidaknyamanan selama berada di lingkungan barak militer.
"Apalagi KPAI, misalnya, sudah menemukan ada beberapa hal. Yang pertama misalnya menjadi pemaksaan anak-anak dengan ancaman mereka tidak akan naik kelas. Lalu, misalnya, ada ketidaknyamanan anak-anak di barak militer tersebut," ujar Ono.
Ono juga menekankan pentingnya mengedepankan lembaga pendidikan khusus yang memang sudah diatur oleh regulasi, seperti UU Sisdiknas, Perda Pendidikan Jawa Barat, serta Peraturan Gubernur tentang Penyelenggaraan Pendidikan Khusus.
Ia mengkritisi penggunaan pendekatan militer dalam dunia pendidikan.
"Terus ada prinsip-prinsip militer juga yang seyogyanya tidak dijadikan kurikulum dari anak-anak tersebut, karena melanggar Undang-Undang Sisdiknas dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia," ucapnya.
Sebagai bentuk dukungan terhadap perlindungan hak anak, Ono menyatakan akan berdiri bersama KPAI jika lembaga tersebut merekomendasikan penghentian program kepada gubernur.
Ia menilai langkah KPAI sebagai bentuk pengawasan yang sah dan penting untuk menjaga arah kebijakan pendidikan yang berpihak kepada anak.
"Jadi pada saat KPAI yang merupakan lembaga pengawas terkait dengan perlindungan anak menyampaikan seperti itu, ya saya sendiri yang pasti akan mendukung KPAI untuk merekomendasikan gubernur menghentikan," tutur Ono.
Ono menyatakan, pemerintah semestinya mengutamakan penyelenggaraan pendidikan melalui sekolah-sekolah khusus yang telah memiliki dasar hukum yang jelas.
Di antaranya ketentuan tentang pendidikan khusus ini sudah diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, diperkuat oleh Peraturan Daerah Pendidikan Jawa Barat, serta diatur lebih teknis melalui Peraturan Gubernur tentang Penyelenggaraan Pendidikan Khusus.
Menurutnya, skema inilah yang seharusnya menjadi prioritas utama, bukan justru menerapkan pendekatan barak militer yang belum memiliki landasan hukum yang kuat dalam sistem pendidikan.
Anggaran Rp 600 Miliar
Sementara itu, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi memastikan Pemprov akan menanggung seluruh masyarakat prasejahtera untuk dapat bersekolah gratis, baik di negeri maupun swasta.
Hal tersebut disampaikannya saat menanggapi tingginya jumlah murid lulusan SMP yang diprediksi masuk ke sekolah swasta karena daya tampung di SMA/SMK negeri pada Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 yang berjumlah 329.000 siswa.
"Pokoknya begini, pemerintah akan menanggung seluruh masyarakat miskin untuk sekolah gratis," ujar Dedi di Gedung Pakuan, Kota Bandung, Jumat (16/5/2025).
Dedi mengaku, pihaknya sudah menginstruksikan Dinas Pendidikan Jabar untuk mendata jumlah murid dari keluarga pra sejahtera yang masuk ke sekolah swasta pada tahun ajaran baru.
Dia tidak menampik bahwa jumlah ruang kelas di sekolah negeri yang ada di Jabar tidak bisa menampung seluruh anak dari keluarga miskin.
Namun demikian, pihaknya tetap mengupayakan anak-anak dari keluarga kurang mampu tetap mendapatkan haknya untuk bersekolah, meskipun di sekolah swasta.
"Kalau sekolah pemerintah tidak bisa nampung, ya sekolah swasta. Kan kita kerjasama nanti," kata Dedi.
Terkait anggaran, Dedi menyebut dana yang digunakan untuk mendukung program tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mencapai Rp 600 miliar. "Yang sekarang sudah ada existing Rp 600 miliar," ucap Dedi. Sebelumnya diberitakan, jumlah kuota SPMB 2025 di Jabar mencapai 329.000 siswa. Sedangkan calon perserta didik capai dua kali lipat yakni 700.000 siswa.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Disdik Jabar, Deden mengakui, ada ketimpangan antara daya tampung dan peminat masuk ke sekolah negeri.
"Sedangkan calon peserta didik yang akan masuk berdasarkan jumlah lulusan (SMP) itu sekitar 700.000 siswaan, jadi dipastikan semua tidak akan masuk ke sekolah negeri," pungkasnya. (TribunJakarta/Kompas.com)
Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.