Tegas Silfester Matutina Diminta Dieksekusi, Susno Duadji Singgung Tempat Kebanggaan di Penjara

Kasus Silfester Matutina memanas, kini Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna menyarankan untuk dieksekusi.

Editor: Wahyu Septiana
TribunJakarta.com/Annas Furqon Hakim
SILFESTER MATUTINA DIPERIKSA - Ketua Solidaritas Merah Putih Silfester Matutina diperiksa. Kasus Silfester Matutina memanas, kini Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna menyarankan untuk dieksekusi. 

TRIBUNJAKARTA.COM - Kasus yang menjerat Silfester Matutina makin memanas, kini Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna menyarankan untuk dieksekusi.

Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan telah mengundang Silfester untuk dilakukan eksekusi, Senin (4/8/2025).

"Informasi dari pihak Kejari Jakarta Selatan, hari ini diundang yang bersangkutan. Kalau dia enggak datang ya silahkan aja," kata Anang saat ditemui di Gedung Puspenkum Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (4/8/2025).

"Kita harus eksekusi," sambungnya.

Di sisi berbeda, Mantan Kabareskrim Polri, Susno Duadji turut menyinggung jiwa ksatria dan juga tempat khusus di penjara.

Susno menyebut pentingnya hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.

Ia juga melontarkan sindiran pedas tentang adanya ‘tempat kebanggaan’ di penjara bagi para terpidana tertentu.

Susno mengaku menaruh respek dengan sosok Silfester Matutina yang dianggapnya sebagai sahabat. 

Ia meminta agar Silfester segera menjalankan hukuman yang sudah divonis. 

"Kita sangat berharap, dia menjadi seorang ksatria, jangan dijemput jaksa tapi datang kemudian menjalani (hukuman)," kata Susno seperti dikutip dari Kompas TV yang tayang pada Kamis (7/8/2025). 

Dengan menjalani hukuman, Susno meyakini akan muncul simpati terhadap Silfester sehingga terbuka peluang dirinya mendapatkan pengampunan hukuman. 

"Pada saat menjalani, kan orang ada simpati, insya allah kalau Pak Presiden menggunakan hak konstitusionalnya, yang merupakan hak prerogatifnya, bisa diampuni," katanya. 

Susno mengatakan Silfester tak perlu cemas dengan hukuman penjara yang akan dijalaninya. 

Seperi diketahui, Susno juga pernah dipenjara. Namun, ia mengaku hingga kini tak pernah merasa bersalah dengan apa yang dilakukannya. 

"Saya pernah dipenjara kok, enggak susah di situ. Apalagi kalau kita merasa benar gitu di penjara. Justru itu kebanggaan."

"Saya enggak pernah menutupi bahwa saya pernah dipenjara, saya bangga. Saya pernah dipenjara tapi bukan karena sesuatu hal yang tidak disenangi masyarakat. Bagus, jadi jangan takut dengan penjara, kita di situ bisa berbuat yang baik gitu. Membimbing yang lain," katanya. 

Silfester Belum bertemu JK

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI (MenkumHAM), Hamid Awaluddin, mengungkap Silfester Matutina belum pernah bertemu langsung dengan Wakil Presiden RI ke-10 dan 12, Jusuf Kalla.

Silfester Matutina belum ditahan, meski sudah dijatuhi vonis 1,5 tahun penjara pada 2019, terkait perkara dugaan fitnah terhadap Jusuf Kalla.

Ia mengklaim, perkara antara dirinya dengan Mantan Wakil Presiden RI itu sudah selesai dan berakhir damai.

"Saya mau jawab juga mengenai urusan hukum saya dengan Pak Jusuf Kalla, itu sudah selesai dengan ada perdamaian," kata Silfester, seusai diperiksa terkait laporan kepada Roy Suryo c.s. di Polda Metro Jaya, Senin, dikutip dari tayangan KompasTV Live.

"Bahkan saya beberapa kali, ada dua kali, tiga kali bertemu dengan Pak Jusuf Kalla dan hubungan kami sangat baik," tambah Silfester.

Silfester juga mengaku, dirinya telah menjalani proses hukum dengan baik.

Lebih lanjut, ia menyebut penyelesaian proses hukum antara dirinya dengan Jusuf Kalla memang tidak dipublikasikan.

"Dan sebenarnya urusan proses hukum itu sudah saya jalani dengan baik. Memang waktu itu tidak ada diberitakan, karena waktu itu baik saya maupun pihak Pak Jusuf Kalla tidak pernah memberitakan di media," jelas Silfester.

Berbeda dengan pengakuan Silfester Matutina, Hamid Awaluddin menyebut Jusuf Kalla tidak pernah bertemu dengan pengacara kelahiran Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) 19 Juni 1971, tersebut.

Bahkan, menurut Hamid, tidak ada rekonsiliasi damai antara Silfester Matutina dengan politisi senior yang akrab disapa JK itu.

Hal ini disampaikan Hamid Awaluddin dalam acara PrimeTime News yang diunggah di kanal YouTube MetroTV News, Rabu (6/8/2025).

"Pertama, saya ingin tegaskan ulang, Pak JK tidak pernah bertemu dengan Silfester. Pak JK tidak pernah berekonsiliasi secara damai dalam kasus ini, bahwa Pak JK memaafkan Silfester," papar Hamid.

Kemudian, Hamid menceritakan bahwa Silfester Matutina memang pernah meminta maaf ke Jusuf Kalla lewat pengacara.

"Kisahnya sebagai berikut: Waktu di pengadilan, Silfester minta maaf ke Pak JK. Lalu, pengacara Pak JK menyampaikan ke Pak JK permohonan maaf Silfester," kata Hamid.

Namun, Hamid menyebut, Jusuf Kalla memang memberi maaf, tetapi tetap membiarkan perkara hukum berlanjut.

Apalagi, kasus dugaan pencemaran nama baik/fitnah yang dilakukan Silfester Matutina sudah masuk di tahap penuntutan.

"Pada saat mendengar permohonan maaf itu, Pak JK langsung mengatakan, 'Adalah kewajiban saya memaafkan orang yang minta maaf," itu," jelas Hamid.

"Namun masalah hukum itu adalah masalah negara. Apalagi, ketika dia menyampaikan permintaan maaf, itu sudah di level pengadilan, sudah masuk tahap penuntutan. Jadi, bagaimana caranya mau berdamai?" tambahnya.

Kemudian, Hamid menegaskan, perkara laporan pencemaran nama baik ini sudah termasuk hukum pidana.

Kasusnya pidana dan putusan pun sudah inkrah, sehingga Hamid menilai, Silfester Matutina sudah seharusnya menjalani vonis hukumannya.

Perkara pidana, kata Hamid, tidak bisa diselesaikan hanya dengan kalimat, 'sudah berdamai.'

"Dalam konteks ini, ingin saya tegaskan kasus Silfester ini adalah pidana, bukan perdata yang bisa dikompromikan meskipun ada putusan lembaga hukum," ujar Hamid.

"Dalam konteks ini, putusan menyangkut kasus pidana atas diri Silfester sudah inkrah, sudah berkekuatan hukum tetap, karena dari Pengadilan Negeri, kemudian naik banding tetap dihukum kemudian kasasi, diperkuat hukuman itu menjadi satu setengah tahun," tambahnya.

"Nah, berarti kesimpulannya, secara hukum harus dijalani putusan itu," kata dia.

"Tidak boleh ada lagi mengatakan, 'Saya sudah berdamai.' Ini bukan perdata, ini pidana. Tidak ada dalilnya itu pidana mau didamaikan setelah ada putusan inkrah. Tidak ada," tandas Hamid.

(TribunJakarta/Tribunnews)

Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel https://whatsapp.com/channel/0029VaS7FULG8l5BWvKXDa0f.

Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved