Ahli geodesi kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, mengatakan, aktivitas kegempaan di zona tektonik selatan Jawa akhir-akhir ini meningkat.
Ini terutama terdeteksi setelah gempa M 7,8 yang memicu tsunami di Pangandaran pada tahun 2006.
Baca: Pengemudi Mobil Mewah yang Seret Bripda Dimas Ditangkap Polisi, Harga Mobilnya Selangit
Gempa berkekuatan M 7,3 kemudian terjadi di selatan Tasikmalaya pada 2009 dan M 6,9 juga di selatan Tasikmalaya, dan terjadi lagi di Tasikmalaya pada pertengahan Desember 2017 dengan kekuatan M 6,9.
”Kami belum tahu kenapa ada peningkatan aktivitas di zona ini. Namun, dugaan kami ini bukan melepas energi sehingga mengurangi risiko gempa besar di Zona Megathrust selatan Selat Sunda-Selatan Jawa,” kata Irwan.
Ahli gempa bumi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawidjaya, juga mengkhawatirkan semakin aktifnya zona tektonik di selatan Jawa.
”Meskipun lokasi sumber gempanya berbeda-beda, kalau dari aspek mitigasi bencana, yang harus paling diperhitungkan yang Megathrust selatan Jawa,” katanya.
Peta Gempa Bumi Nasional 2017 mencantumkan potensi gempa berkekuatan M 8,7 bisa terjadi di selatan Jabar.
Namun, menurut kajian peneliti gempa ITB, jika segmen gempa selatan Jawa runtuh bersamaan, kekuatannya bisa mencapai M 9,2 atau setara gempa Aceh 2004.
Baca: Beredar Kabar Dini Hari Nanti Terjadi Gempa Lebih Dahsyat, Benarkah?
Danny mengatakan, sekalipun data tentang potensi gempa besar di selatan Jawa semakin banyak ditemukan, belum bisa diprediksi kapan dan di mana gempa akan terjadi.
Apalagi, sebagian besar zona kegempaan di Indonesia belum terpetakan dengan baik.
Meski demikian, kata Danny, gempa kali ini harus menjadi peringatan untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bahaya gempa, termasuk Jakarta.
”Jakarta yang relatif jauh dari zona selatan Jawa ternyata juga terguncang kuat. Ini salah satunya dipicu oleh kondisi tanahnya yang lunak dengan batuan dasar yang sangat dalam sehingga memperkuat dampak guncangan gempa,” katanya.(tribunjakarta/Kompas)