TRIBUNJAKARTA.COM, SURABAYA - Siapa yang menyangka, tiga orang yang meretas 600 situs di 44 negara dan menjadi buruan FBI merupakan mahasiswa semester akhir.
Kejahatan mereka cukup menggoncang, karena mereka mengancam para korbannya akan menghancurkan sistem milik mereka jika enggan memberikan tebusan melalui akun PayPal atau Bitcoin.
Demikian disampaikan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono tentang sekilas sepak terjang para tersangka.
"Apabila korban tidak mau membayar maka tersangka akan menghancurkan sistem milik korban," ujar Kombes Argo saat dihubungi Surya pada Selasa (13/3/2018).
FBI memasok data kepada Tim Satgas Cyber Polda Metro Jaya untuk menangkap ketiganya dalam kurun dua bulan.
"Dari situ akhirnya menemukan dugaan akses ilegal dilakukan sekelompok hacker di Surabaya yang menamakan diri mereka sebagai Surabaya Black Hat," imbuh Argo.
Mantan Kabid Humas Polda Jatim ini menjelaskan berdasar bukti yang dimiliki penyidik, kelompok ini sudah bekerja terhadap 3.000 sistem elektronik di seluruh negara termasuk Indonesia.
Selain Indonesia, sistem yang diretas di antaranya Thailand, Australia, Turki, UEA, Jerman, dan Perancis, Inggris, Swedia, Bulgaria, Ceko, dan Taiwan, Tiongkok dan Italia.
Selanjutnya Kanada, Argentina, Pantai Gading, Korea Selatan, Cillie, Kolombia, India, Singapura, Irlandia, dan Meksiko.
Lalu, Spanyol, Iran, Nigeria, Rusia, New Zealand, Rumania, Uruguai, Belgia, dan Hongkong.
Kemudian, Alabania, Dubai, Vietnam, Belanda, Pakistan, Portugal, Slovenia, Kep. Caribian, Maroko, dan Libanon.
"Sesuai pengakuan tersangka, pendapatan yang mereka peroleh dalam kejahatan selama 2017 berkisar antara Rp 50 juta–Rp 200 juta," terang Argo.
Hanya 5 menit
Ketiga peretas asal Surabaya ini tak butuh waktu lama meretas sistem jaringan para korbannya.
Mereka membobol sistem perusahaan hingga pemerintah di 44 negara menggunakan metoda SQL Injection.