Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas
TRIBUNJAKARTA.COM, CILANDAK - Bangunan Sekolah Luar Biasa Santi Rama tampak telah menua.
Sejak tahun 70an bangunan ini telah berdiri membentang cukup luas di bilangan Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan.
Dadang Kartamihardja (58) kepala sekolah yang menjabat di Sekolah Santi Rama mengatakan kalau dirinya mengabdi karena panggilan untuk mengajar anak berkebutuhan khusus (ABK).
Baca: Diam-Diam Sandiaga Uno Bertemu Jusuf Kalla Kemarin, Bahas Koalisi?
"Saya disini dari tahun 83, sampai sekarang sudah 35 tahun saya bekerja di Santi Rama. Belum diganti, awalnya saya menjadi guru, jadi sudah merasakan bergelut dengan anak anak abk," ungkapnya kepada TribunJakarta.com, Rabu (3/5/2018).
Ia pun mengakui, puluhan tahun bekerja bukan berarti kejenuhan tidak menghampiri, hampir di semua pekerjaan pasti akan sampai ke titik tersebut.
"Bukan berarti engga jenuh selama puluhan tahun, hampir di semua pekerjaan seperti itu. Tapi saya punya komitmen dan selalu merasa terpanggil untuk mengajar dan mengabdi kepada anak abk. Memang terlihat idealis tapi saya sangat ingin mengajar mereka," ujarnya.
Cerita pertemuannya dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) bermula saat dirinya memutuskan untuk sekolah guru pendidikan luar biasa.
"Latar belakang saya Sekolah Pendidikan Guru Luar Biasa di Bandung. Komitmen awal saya ingin mengajar mereka ketika saya melihat sekolah umum atau reguler banyak yang menanganinya sedangkan pendidikan luar biasa tidak demikian. Saya ingin mengabdi yang tidak biasa itu," tuturnya.
Baca: Brand Ini Tawarkan Diskon All Item 50 Persen di Bazar Fashionlink Ramadhan Market
Sebelum ia mengajar di Santi Rama, Dadang pun memulai pendidikannya di Bandung.
"Waktu itu saya punya teman guru SLB di Bandung, kemudian saya melihat cara mengajarnya dan tertarik. Lalu saya melanjutkan sekolah dua tahun di Bandung. Lulus dengan gelar D2," ungkapnya.
Setelah dua tahun mengenal cara mendidik anak berkebutuhan khusus, kemudian Dadang pergi menuju Ibukota untuk belajar di tingkat Universitas.
"Karena hanya D2 saya lanjut ke universitas. Saya melanjutkan di UNJ dulu Ikip, saya ambil spesialisasi tuna rungu. Dari TK hingga SMA saya sudah merasakan pahit getirnya bersama mereka," ujarnya.