Saya pulang seperti membutuhkan alasan kepada anak saya di rumah kenapa muka saya lebam-lebam dan memang sya ditanya kenapa. Saya jawab dipukul orang.
Jawaban pendek itu dalam satu minggu ke depan terus dikorek karena namanya juga anak lihat muka ibunya lebam-lebam saya tidak tahu kenapa dan saya enggak pernah membayangkan terjebak dalam kebodohan ini.
Saya terus kembangkan ide pemukulan itu dengan beberapa cerita seperti diceritakan ada kebenarannya seperti yang saya katakan kepada anak-anak saya.
Jadi selama seminggu lebih sebenarnya cerita itu hanya berputar-putar di keluarga saya dan hanya untuk kepentingan saya berhadapan dengan anak-anak saya.
Tidak ada hubunganya dengan politik, tidak ada hubunganya dengan luar.
Tapi setelah sakit di kepala saya reda, dan saya mulai berhubungan dengan pihak luar, saya nggak tau bagaimana saya memaaafkan ini kelak, kepada diri saya, tetapi saya kembali melakukan kesalahan itu.
Saya kembali dengan cerita itu bahwa saya dipukuli, mohon jangan dikira saya mau mencari pembenaran, enggak.
Ini salah. Apa yang saya lakukan adalah sesuatu yang salah.
Ketika ketemu Fadli Zon datang ke sini cerita itu yang sampai ke dia.
Iqbal saya panggil ke sini cerita itu juga yang berkembang di dalam percakapan.
Dan hari selasa tahu-tahu foto saya sudah beredar di seluruh media sosial. Saya nggak sanggunp baca itu.
Saya ada beberapa peristiwa yang membawa saya ke Pak Djoksan (Djoko Santoso) lalu membawa saya ke Pak Prabowo.
Bahkan di depan Pak Prabowo orang yang saya perjuangkan, orang yang saya cita-citakan memimpin bangsa ini ke depan, mengorek apa yang terjadi pada saya, saya juga masih melakukan kebohongan itu.
Sampai kita keluar dari lapangan polo kemarin saya tetap diam, saya biarkan semua bergulir dengan cerita itu.
Di lapangan polo saya merasa betul ini salah. Waktu saya berpisah dengan Pak Prabowo dan Amien Rais, saya sebenarnya tahu di hati ini salah.
Tapi saya nggak mencegat mereka.
Itu yang terjadi.